DIALEKSIS.COM | Indepth - Habis terang, muncul gelap. Begitulah nasib tenaga kesehatan (nakes) di lingkungan Pemerintah Aceh.
Pasalnya, dahulu nakes mendapatkan Jasa Pelayanan, sekaligus Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP).
Dengan dukungan keduanya, kerja berat menjaga kesehatan masyarakat tidak begitu dipikirkan.
Tapi, sejak Januari 2025, Pergub 15/2024 yang dikeluarkan Bustami Hamzah sebagai Pj Gubernur Aceh “mengikat” nakes pada pilihan, memilih hanya Jasa Pelayanan dan melepas TPP, atau sebaliknya.
Bagi nakes itu bukan pilihan, melainkan ikatan. Ikatan yang membuat nakes jadi sulit dalam memenuhi kebutuhan hidup, yang selama ini terus mencekik.
Untuk itulah Abdurrahman, Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Provinsi Aceh meminta agar Pergub 15/2024 ditinjau ulang.
“Saya berharap Gubernur Aceh bisa meninjau kembali Pergub 15/2024 itu,” ujarnya kepada Dialeksis (8/3).
Reaksi keras terhadap Pergub 16/2024 juga datang dari Wakil Ketua Bidang Hukum & Pemberdayaan Politik Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Kota Banda Aceh.
“Jika bukan karena Pergub Aceh Nomor 15 Tahun 2024, kami seharusnya tetap bisa menerima keduanya," kata Fahmy M Ali Asyi dalam surat terbukanya kepada
Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh yang baru. Harapannya agar Muzakir Manaf (Mualem) dan Fadhlullah (Dek Fad) dapat mencabut Pergub 15/2024.
Menurutnya, kebijakan ini menjadi pukulan berat bagi tenaga kesehatan yang selama ini tetap bekerja di garis depan, bahkan saat pandemi Covid-19.
"Kami diberikan pilihan oleh Pergub tersebut untuk memilih salah satu antara TPP atau Jasa Pelayanan. Padahal sebelumnya hingga tahun 2024 kami masih menerima keduanya. Ini adalah ketidakadilan bagi kami yang telah mengabdikan diri dalam pelayanan kesehatan," tulisnya.
Disampaikan, pada masa kampanye Pilgub 2024, Mualem pernah bertemu dengan nakes di masa kampanye Pilgub 2024 di Kantor PPNI Kota Banda Aceh.
Dikatakan, pertemuan itu terjadi pada 23 September 2024. Mualem disebut merespons positif kegelisahan nakes.
“Kini, hak kami untuk menerima TPP dan Jasa Pelayanan juga dihilangkan. Ini seperti sudah jatuh tertimpa tangga," tutup Fahmy.
Jika dihitung sejak Januari hingga Maret ini, artinya sudah tiga bukan nakes tidak menerima TPP. Padahal lebaran tinggal sepekan lagi.
Dengan nada lirih, seorang pegawai di RSUD menegaskan bahwa TPP dan Jasa Layanan adalah nafas bagi semua yang terkait dengan pelayanan kesehatan di RSUD khususnya yang berstandar BLUD.
“Dari situ kami membiayai kebutuhan harian, sekolah anak, hingga persiapan lebaran,” ujarnya saat berbincang dengan Dialeksis (20/3).
Masry SpAn, Wakil Sekretaris Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Aceh menegaskan bahwa TPP dan Jasa Layanan bukan sekedar insentif melainkan hak yang dijamin dengan UU maupun Peraturan Pemerintah.
Dokter spesialis anestesi sekaligus praktisi kesehatan ini mengingatkan pemerintah agar tidak abai. Undang Undang mengatur dan karena itu wajib dijalankan.
Mekanisme TPP Tidak Jelas
Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Aceh. Menurut Safrizal Rahman menyampaikan kekuatirannya terhadap ketidakjelasan mekanisme pemberian TPP bagi nakes.
Dijelaskan, TPP merupakan penghasilan tambahan yang diberikan kepada Pegawai Negeri Sipil (PNS), calon PNS dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Sedangkan renumerasi adalah imbalan atau balas jasa atas kontribusi serta kinerja tenaga medis dalam memberikan layanan.
“Penjelasan diharapkan dapat menajamkan pemahaman mengenai kedua istilah tersebut agar kebijakan yang diterapkan lebih tepat sasaran,” ujarnya.
Untuk itu, menurutnya, sangat penting dialog antara Pemerintah dan nakes. Dirinya juga menyarakan agar selalu mendahulukan dialog dengan IDI dan PPNI sebelum dihadirkan kebijakan.
Namun begitu, sejauh ini belum ada penjelasan resmi baik dari Gubernur Aceh, dan juga dari Ketua DPR Aceh. Padahal, untuk memastikan pencabutan atau revisi Pergub 15/2024 mereka adalah tokoh kunci. []