Jejak Buram Penyelenggara Pemilu di Aceh Ternoda Pelanggaran?
Font: Ukuran: - +
Foto: Ist
DIALEKSIS.COM | Indepth - Menyandang status Pegawai Negeri Sipil (PNS) memiliki status khusus dimata kebanyakan orang, bahkan impian bagi sebagian banyak orang di republik ini. Sudah jadi alasan mendasar kalau, negara telah menjamin keberlangsungan pendapatan rutin tiap bulannya hingga negara menjamin mereka hingga usia pensiun nanti.
Karena itu, bukan sesuatu yang mengherankan saat pemerintah membuka lowongan PNS, jutaan putra dan putri terbaik bangsa mengular dalam antrian saat mendaftar, rela berpeluh keringat demi memperebutkan sederet nomor induk pegawai (NIP) yang disematkan pada status PNS.
Jika kita cermati selain gaji rutin setiap bulannya, PNS dalam pekerjaannya juga ‘diganjar’ dengan berbagai pendapatan lainnya menurut pangkat, dan jenjang jabatan. Sama halnya berlaku secara nasional termasuk realisasi PNS di Aceh, dimana mereka dapat Tunjangan Prestasi Kerja (TPK) yang nilainya dapat mencapai satu kali gaji.
Sebagai info, jika kita buka Peraturan Gubernur Aceh (Pergub) Nomor 82 Tahun 2015, untuk jabatan setingkat Kepala Bidang (III a) memperoleh TPK sebesar Rp. 7.500.00 setiap bulannya. Belum lagi ditambah dengan keterlibatan PNS (baik struktural maupun fungsional) dalam ‘tim ini itu’ yang dibentuk pada setiap dinas, sehingga menambah pundi-pundi pendapatan PNS setiap bulannya.
Tapi tak mengapa, fasilitas itu memang layak didapat seorang abdi negara melayani masyarakat mengingat kinerja mereka ‘sedemikian lelah’ mengabdikan diri untuk melayani masyarakat luas atas nama negara.
Sebagaimana diketahui, PNS juga berhak menduduki jabatan tertentu pada lembaga nonstruktural negara yang dibentuk atas perintah undang-undang. Seperti keberadaan di Aceh, ada lembaga penyelenggara pemilihan seperti Komisi Independen Pemilihan (KIP) dan Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) atau disebut juga Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).
Selain itu masih ada Lembaga lainnya dapat di isi serta dijabat seorang PNS meliputi; Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Komisi Informasi Aceh, dan institusi yang fokus pada persoalan anak, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Keterlibatan PNS pada lembaga-lembaga itu telah diatur secara rinci melalui PP Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil.
Yang menarik diulas pada aturan di atas adalah penerapan pasal 277 ayat (3), yang berbunyi: "PNS yang diangkat menjadi komisioner atau anggota lembaga nonstruktural diberhentikan sementara sebagai PNS".
Berpedoman pada peraturan diatas, tegas pasal menyebutkan, saat seorang abdi negara diangkat dan menduduki jabatan sebagai komisioner, maka secara otomatis status PNS nya diberhentikan sementara sehingga yang bersangkutan tidak berhak lagi menerima gaji, maupun fasilitas lainnya dari negara terkait kapasitasnya sebagai PNS. Namun, sekali lagi, itu tidak serta merta menghilangkan status PNS nya.
Lalu, pada beberapa institusi nonstruktural yang telah disebutkan sebelumnya, apakah ada PNS yang menduduki jabatan sebagai komisioner? Ya, Ada.
Hasil penelusuran Dialeksis menemukan, beberapa PNS bertugas sebagai komisioner pada KIP Aceh. Sebut saja Syamsul Bahri. Ketua KIP Aceh ini diketahui merupakan PNS pada Universitas Malikussaleh, Aceh Utara.
Lalu Munawarsyah. Komisioner yang membidangi Divisi Teknis Penyelenggaraan Pemilu ini adalah PNS di Kementerian Agama Kabupaten Aceh Besar dan bertugas di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Krueng Barona Jaya, Aceh Besar. Selanjutnya, Ranisah, PNS yang bertugas di Pemko Banda Aceh.
Sedangkan di Panwaslih Aceh terdapat Arief Fadillah, S.Ag. Dia diketahui tercatat resmi sebagai pegawai Kemenag Aceh Besar dengan jabatan terakhir sebagai Penyuluh Agama Pertama pada KUA Kec. Kuta Cot Glie Kabupaten Aceh Besar.
Kembali mengulas para PNS di lembaga penyelenggara apakah tindakannya sesuai pasal 277 ayat (3) PP Nomor 11 Tahun 2017 Tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil. Apakah nama-nama yang disinggung di atas telah menjalankan regulasi tersebut?
Atau, jangan-jangan (dengan tetap mengutamakan azas praduga tak bersalah), selama ini mereka menikmati gaji 'ganda', baik dari statusnya sebagai PNS dan kapasitasnya sebagai anggota komisioner.
Mengomentari hal itu, aktifis antikorupsi sekaligus Koordinator LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Alfian menyebutkan meskipun pimpinan telah memberhentikan seluruh fasilitas, namun secara administrasi negara status ASN yang bersangkutan masih sah.
"Yang kedua, tidak ada status ataupun surat resmi yang menyatakan seharusnya calon komisioner saat pertama mendaftar harus menyerahkan salah satu surat non aktif ASN sesuai dengan UU Pemilu, artinya dia tidak bisa merangkap. Kalau misalnya ada PNS yang aktif di Bawaslu atau KPU, ini bisa dianggap menyalahi aturan KPU dan patut diduga telah terjadi pidana," jelas Alfian.
Kalau ini terjadi, tambah Alfian, secara kelembagaan harus ditata ulang sehingga jangan sampai berpotensi terhadap adanya gugatan dari pihak lain, yang tentunya berimbas pada putusan-putusan yang dihasilkan pada lembaga tersebut, karena dianggap ada komisioner yang cacat prosedural ataupun tidak memenuhi kriteria UU Pemilu untuk posisi komisioner.
"Yang terakhir, kita berharap kalau memang merasa sebagai ASN aktif ya harus mengundurkan diri dan segala kerugian yang sudah ditanggung negara wajib dikembalikan, kalau tidak bisa dipidana karena ini masuk dalam kategori korupsi," tegas Alfian.
Agar tidak menimbulkan narasi liar dan menghindari dugaan-dugaan negatif berkembang ditengah masyarakat, Dialeksis berupaya melakukan pendalaman terhadap polemik memicu persoalan tersebut melalui serangkaian mewawancarai ke pihak-pihak terkait sehingga dapat memberikan kepastian informasi kepada publik.
Mengawali pendalaman ini, Dialeksis berupaya mendapat keterangan dari Kepala Kemenag Aceh Besar H. Abrar Zym, S.Ag. Sebabnya, di institusi ini terdapat dua PNS yang telah diangkat menjadi komisioner pada lembaga penyelenggara pemilihan. Pertama, Munawarsyah dan Kedua Nyak Arief Fadillah.
Saat diwawancarai pada 16 Februari 2022 lalu, Abrar menegaskan sejak Munawarsyah dilantik sebagai komisioner pada lembaga KIP Aceh, yang bersangkutan tidak lagi menerima fasilitas gaji PNS dari negara.
Hal ini dibuktikan dengan Surat Kemenag Aceh Nomor: B.1543/Kw.01.1/2/Kp.01/03/2018 Tanggal 26 Maret 2018 Tentang Usul Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri Sipil Atas Nama Munawarsyah, S.Hi.
“Status PNS masih aktif, tapi gaji PNS nya tidak kita bayarkan lagi. Seperti itu aturannya. Sejak mereka bertugas di sana, kita tidak berikan apa-apa lagi. Kalau tugasnya sebagai komisioner sudah berhenti, mau kembali lagi ya silahkan. Malah saya sarankan berhenti saja, dia lagi pertimbangkan,“ jelas Abrar.
Sementara itu, terhadap Arief Fadillah, Abrar menjelaskan Ketua Panwaslih Aceh itu telah mengusulkan dan mengajukan permohonan pemberhentian sementara sejak 1 Mei 2018.
"Dalam pengusulan itu, yang bersangkutan belum mendapatkan SK Non Aktif dari PNS," jelasnya.
Klarifikasi Arief Fadillah
Berpegang keseimbangan informasi dalam pemberitaan, Dialeksis juga mewawancarai Nyak Arief Fadillah namun disistem Kemenag Aceh tercatat bernama Arief Fadillah. Dalam tanggapannya, Arief mengakui jika dirinya telah mengajukan surat pemberhentian sementara, sejak 1 Mei 2018.
"Saat itu, saya gak tahu bagaimana mekanisme atau ketentuan yang ada.
Rupanya terjadi perubahan mekanisme atau ketentuan di Kemenag, waktu itu belum pak Abrar," terang Arief.
Arief melanjutkan, perubahan ketentuan itu membuat proses surat permohonan usulan dirinya menjadi berlarut-larut. Dia pun menanyakan perkembangan surat usulan itu ke Kemenag Aceh Besar.
"Saat itu, baru saya ketahui ternyata mereka juga kebingungan. Secara administrasi, mereka minta saya untuk mengajukan ulang dan saya sanggupi. Sejak itulah saya bersama pak Abrar terus mengawal surat permohonan pemberhentian sementara saya," jelas dia.
Lalu apakah sejak Mei 2018 hingga 18 November 2020 Nyak Arief menerima gaji PNS?
"Tidak. Saya tidak lagi menerima gaji PNS. Saya ada minta surat keterangan dari Kemenag Aceh Besar jika sejak tahun 2018 saya tidak lagi menerima gaji PNS. Baru saja terbit surat keterangan itu," ungkap dia.
Diterangkan olehnya, proses keterlambatan ini lebih disebabkan oleh faktor transisi pergantian pimpinan Kemenag Aceh Besar menuju Abrar. Diakuinya, tertib administrasi Kemenag Aceh Besar dibawah Abrar lebih tertib dari sebelumnya.
Menurut Arief, proses permohonan pemberhentian sementara ini bisa menghabiskan waktu satu atau dua tahun. Hal ini disebabkan oleh dinamika administrasi yang agak lambat di lembaga Kemenag Aceh Besar. Karena proses nya yang lama, Nyak Arief terus melakukan pengawalan proses permohonan dirinya secara personal.
"Saat surat usulan pemberhentian sementara saya terbit dari Kanwil Kemenag Aceh, saya mengantarnya langsung ke Kemenag RI," kata Arief.
Saat disinggung kenapa tidak mengusulkan lebih awal, semisal awal tahun 2019, Nyak Arief menjelaskan surat permohonan yang telah diajukan sebelumnya sedang dalam proses untuk segera diusulkan ke Kanwil Kemenag Aceh, sehingga tak ada yang bisa dilakukan selain menunggu.
"Surat itu kan sudah kita usulkan, kemudian pihak kantor (Kemenag Aceh Besar) yang mengusulkan proses administrasinya. Saya hanya bisa menunggu," pungkas Arief.
Temuan BPK
Saat keterangan Arief Fadillah dikonfrontir kepada Kemenag Aceh Besar, Dialeksis mendapat penjelasan cukup mengejutkan yang berlawanan dari Kakankemenag Aceh Besar. Ternyata, dari rentang 2018 hingga 2019 Arief Fadillah masih menerima gaji PNS nya. Bahkan, gaji yang diterima oleh Arief menjadi temuan pada pemeriksaan BPK terhadap instansi Kemenag Aceh Besar tahun 2020.
Informasi ini disampaikan langsung oleh Kepala Kemenag Aceh Besar H. Abrar Zym, S.Ag, Senin, 21 Februari 2022.
Dalam keterangannya Abrar menyebutkan pada tahun 2020 Kemenag Aceh Besar mendapat temuan dari BPK berupa gaji PNS Arief Fadillah yang masih terbayar. Menindaklanjuti temuan tersebut, pihaknya mengirim surat usulan pemberhentian sementara PNS Arief Fadillah ke Kanwil Kemenag Aceh pada 18 November 2020.
"Surat usulan kami dibalas oleh Kanwil tanggal 15 November 2021 untuk memenuhi syarat-syarat ini. Yang bersangkutan sudah memenuhi ini. Rekomendasi BPK, bahwa beliau (Arief Fadillah) ada temuan. Dulu, gajinya yang telah terambil dikembalikan. Hingga saat ini pengembalian dari beliau masih lancar," ungkap Abrar.
"Sedangkan kewenangan untuk mendapatkan surat pemberhentian sementara dari Menteri, itu domainya Kanwil Kemenag Aceh. Kita sudah ke Kanwil, dan Kanwil telah menyurati Kemenag RI. Kabar terakhir dari Nyak Arief, katanya draft surat pemberhentian itu sudah ada, tapi belum diteken Pak Menteri," tambahnya.
Saat disinggung soal anggapan Arief Fadillah yang menilai lambatnya proses administrasi terkait usulan pemberhentian sementara dirinya sebagai PNS, Abrar dengan tegas membantahnya.
"Kalau dia menyalahkan Kemenag, itu sebuah kekeliruan. PNS nya lahir melalui rahim Kemenag," kata Abrar.
Dia pun meminta Arief Fadillah untuk mengklarifikasi pada jenjang yang mana soal keterlambatan yang dimaksud.
"Jangan secara umum seperti itu dan mengkambinghitamkan lembaga. Kita tidak terima. Nanti kita panggil dia," tegas Abrar.
Kalau tidak ada pemahaman, atau aspek dinamika administrasi yang lamban pada Kemenag Aceh Besar, Abrar pun membandingkan dengan proses yang dialami Munawarsyah yang menurutnya cepat.
"Kenapa teman lain seperti Munawarsyah cepat dan tepat," tegasnya lagi.
Tanggapan Munawarsyah
Sikap taat hukum ditunjukkan oleh Munawarsyah. Saat dihubungi Kamis, 17 Februari 2022, Munawarsyah menegaskan status PNS dirinya telah berhenti sementara sejak terbitnya Keputusan Menteri Agama Nomor: B.II/3/15278 Tentang Pemberhentian Sementara Pegawai Negeri Sipil Tanggal 16 April 2018.
"Pemberhentian sementara saya dari PNS ini sudah jauh hari sebagai bentuk kepatuhan dan kesadaran, bahkan perhentian ini terhitung sejak saya masih menjabat di KIP Banda Aceh. Saya tidak lagi menerima gaji PNS," terang Munawarsyah.
Beda halnya polemik sosok Ketua KIP Aceh, Syamsul Bahri. Dosen tetap Unimal ini diketahui memiliki kondisi 'setali tiga uang' dengan Arief Fadillah karena SK Pemberhentian Sementara PNS nya masih berproses.
Dialeksis meminta kejelasan dari Rektor Unimal, Prof. Dr. Ir. Herman Fithra. Rektor ini menjelaskan Syamsul dilantik Juli 2018. Seyogyanya sesuai peraturan perundang-undangan yang bersangkutan harus berhenti sementara dari PNS.
Herman Fithra melanjutkan, dirinya menjadi rektor pada 20 Desember 2018, 6 bulan setelah yang bersangkutan dilantik secara resmi.
"Saat saya cek, karena proses pembayaran gaji yang lewat ABPN, tidak melalui KPA, jadi KPA tidak mengetahui apakah masih ada pembayaran gaji yang bersangkutan. Lalu saya panggil Kabiro dan menanyakan perihal ini," jelas Herman Fithra, Kamis, 19 Februari 2022.
"Disampaikan oleh Kabiro, setelah ditanya ke Bendahara gaji, mereka tidak berani memotong tanpa ada dasar karena itu berpotensi akan digugat oleh Pak Syamsul. Kan dia merasa gak nyaman tiba-tiba dipotong tanpa ada dasar. Teman-teman bendahara pembayaran gaji menunggu sampai ada SK," tambahnya.
Karena prosesnya yang lama akhirnya di Maret 2020 pihaknya mengirim surat ke Kementrian untuk memproses usulan pemberhentian sementara PNS Syamsul.
"Memang sampai hari ini, informasi terakhir yang saya peroleh, suratnya belum keluar," ungkap Rektor Unimal ini.
Herman Fithra mengatakan sesuai informasi yang diterima pihaknya dari bendaharawan gaji, sejak Maret 2020 sudah tidak ada pembayaran gaji PNS untuk Syamsul.
"Saya sudah minta ke teman-teman yang mengurus pembayaran gaji untuk menghubungi Pak Syamsul agar ini diselesaikan dengan baik," ujar dia.
Lalu, apakah ini artinya sejak 2018-2019 Syamsul masih menerima gaji PNS nya?
"Sepertinya masih, sepertinya masih. Informasinya seperti itu," terang Herman Fithra.
Terkait hal ini, Dialeksis berupaya mendapatkan penjelasan yang lebih detail dengan meminta keterangan dari Rektor Unimal sebelumnya, Prof.Dr.H. Apridar, SE, M.Si, Kamis, 19 Februari 2022. Saat dikonfirmasi perihal status Syamsul, Apridar mengatakan tidak ingat lagi karena itu terjadi di penghujung masa jabatannya sebagai Rektor.
"Tapi yang saya tahu, waktu beliau sudah dilantik menjadi anggota KIP, tidak ada lagi tunjangan apapun dari Unimal kecuali gaji pokok, mengajar juga tidak ada lagi, dan tunjangan fungsionalnya diberhentikan. Seingat saya seperti itu, itu kan di ujung akhir jabatan saya," beber Apridar.
Pun demikian, Apridar mengakui saat itu Syamsul pernah meminta ijin pada dirinya sekaligus mengusulkan untuk tidak menerima tunjangan lagi.
"Melalui surat resmi. Maksudnya begini, surat itu berbarengan dia minta ijin sekaligus dia juga meminta non aktif itu dari dosen. Kalau gak salah saya begitu," ujar Apridar.
Klarifikasi Syamsul Bahri
Saat dihubungi, Kamis, 19 Februari 2022, Ketua KIP Aceh Syamsul Bahri menegaskan setelah dirinya dilantik menjadi Komisioner KIP, dia sudah mengajukan pengunduran diri untuk dinonaktifkan menjadi dosen.
"Namun, hingga tahun 2020, surat pernyataan nonaktif PNS tak kunjung keluar. Akibat tak keluar-keluar, maka saya pertanyakan, kenapa belum keluar. Karena kalau tidak, akan bermasalah nanti," jelas Syamsul.
Dia melanjutkan, tahun 2020 surat pernyataan nonaktif itu baru keluar, dan satu surat lagi yang dari Biro.
"Namun, yang ingin saya katakan adalah sesudah saya dilantik jadi komisioner KIP, saya sudah mengajukan kepada rektor untuk menonaktifkan saya sebagai PNS. Saya bisa buktikan. lampiran pengajuannya masih ada sama saya, tapi ada di Lhokseumawe. Buktinya bisa saya lampirkan nanti," kata Syamsul.
"Karena waktu itu kita lagi pemilu, lagi sibuk-sibuknya mengurus pemilu, jadi sempat teralihkan untuk saya memastikan keputusan nonaktif dari PNS," tambah dia.
Lalu, apakah dari tahun 2018 hingga surat pernyataan nonaktif PNS nya terbit Syamsul menerima gaji dari status PNS nya?
Terkait hal ini, Syamsul mengakui dua bulan pasca dilantik sebagai Komisioner KIP Aceh, dirinya menerima gaji. Akan tetapi, gaji yang dimaksud bukanlah pemasukan dari status PNS nya, melainkan dari honor-honor mengajar, seperti honor bimbingan dan lainnya.
"Namun, semenjak saya usul nonaktif PNS, sudah saya sampaikan kepada rektor untuk menyetop gaji saya. Pada awal-awal tahun itu, saya tidak tahu apakah ada masuk gaji atau tidak. Karena saya juga sudah beralih ke rekening lain," tutur Syamsul.
Syamsul menambahkan, selama tahun 2020 bukan berarti tidak masuk gaji PNS.
"Semua pada kaget, kenapa bisa masuk. Mungkin karena pergantian rektor. Tapi yang pasti, saya tidak tahu apakah ada masuk gaji atau tidak. Nanti bisa dicek di rekening. Kalau ada masuk, boleh dan bisa kita selesaikan di bank," kata Syamsul.
Peraturan di negeri ini tegas menyebutkan, seorang abdi negara diangkat dan menduduki jabatan sebagai komisioner, maka secara otomatis status PNS nya diberhentikan sementara.
Yang bersangkutan tidak berhak lagi menerima gaji, maupun fasilitas lainnya dari negara terkait kapasitasnya sebagai PNS. Namun, tidak serta merta menghilangkan status PNS nya.
Lantas bagaimana kalau dia sudah menjabat sebagai komisioner masih menerima gaji PNS? Bagaimana kisah selanjutnya dari personil KIP maupun Bawaslu (Panwaslih) Aceh yang statusnya sebagai PNS ini? Kita ikuti saja bagaimana endingnya. Adakah kelanjutan di advokasi lembaga peduli kualitas Pemilu Aceh? Semua akan terjawab pada waktunya yang tepat.