kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Jejak Preman di Bisnis Parkiran Kota Banda Aceh

Jejak Preman di Bisnis Parkiran Kota Banda Aceh

Sabtu, 15 Oktober 2022 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Pengendara sedang membayar biaya parkir ke juru parkir. [Dok. Tim Investigasi]

Retribusi Parkir Sebagai Sumber PAD

Retribusi parkir di pinggir jalan umum merupakan salah satu sumber untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kota Banda Aceh. Apabila pengelolaannya tidak benar, inilah yang menyebabkan kebocoran.

Lalu bagaimana dengan kondisi pengelolaan retribusi parkir di Kota Banda Aceh saat ini?

Dalam Qanun Kota Banda Aceh nomor 3 tahun 2021 tentang retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum dan tempat khusus, dijelaskan struktur dan besarnya tarif retribusi pelayanan parkir di tepi jalan umum pada lokasi tertentu, yaitu roda dua Rp2.000, roda empat Rp4.000, dan bus 10.000 sekali parkir.

Di sini, petugas wajib memberikan karcis kepada pengendara yang memarkirkan kendaraannya, jika tidak maka akan berdampak terhadap minimnya PAD dari retribusi parkir pada lokasi tertentu karena Pemko akan melihat PAD yang masuk melalui karcis yang telah disediakan.

Berbeda dengan tarif retribusi parkir di tepi jalan umum. Di tempat ini, untuk kendaraan sepeda motor roda dua dan tiga hanya sebesar Rp1.000 sekali parkir, kendaraan roda empat Rp2.000, dan Rp6.000 untuk bus.

Dalam aturannya, hanya menerapkan bagi hasil antara juru parkir dengan dinas terkait setempat, sesuai target setoran dalam setiap harinya.

Di Banda Aceh, salah satu lokasi pelayanan parkir di tepi jalan umum pada lokasi tertentu berada di Jalan Pangeran Diponegoro, Kampung Baru, Kecamatan Baiturrahman, tepatnya di depan gedung Pasar Aceh baru.

Pengamatan tim investigasi, pada Kamis 15 September 2022, di lokasi ini masih banyak pengendara enggan menerima karcis yang diberikan oleh petugas. Sebaliknya, beberapa petugas di sana juga ada yang sengaja tidak memberikan karcis kepada pemilik kendaraan.

Kejadian seperti ini dikhawatirkan dapat berdampak terhadap minimnya PAD dari retribusi parkir pada lokasi tertentu. Apalagi tahun 2022, Pemko Banda Aceh menargetkan retribusi parkir sebesar Rp10,1 miliar.

MD, salah seorang juru parkir di gedung Pasar Aceh baru, mengatakan satu rol karcis parkir yang diterimanya dari petugas Dinas Perhubungan Kota Banda Aceh sebanyak 100 lembar. Namun jumlah itu biasanya tidak habis dalam satu hari, bahkan bisa sampai satu minggu karena banyak pengendara yang tidak mau menerima.

Pantauan Tim Investigasi pada Kamis 7 Oktober 2022 malam, beberapa juru parkir di lokasi Pasar Aceh tampak tidak memberikan karcis ke pengendara dan pengendara juga tidak meminta. Bagaimana Pemko Banda Aceh menentukan nilai PAD dari retribusi parkir di tepi jalan pada lokasi tertentu?

Kepala Bidang Perparkiran Dinas Perhubungan Banda Aceh, Mukhlizar, menjelaskan pemasukan PAD dari parkir dihitung bukan dari jumlah karcis namun berdasarkan target harian. “Uang PAD dari retribusi parkir yang masuk ke kas daerah berdasarkan laporan mingguan yang dilaporkan pihak Dinas Perhububungan Banda Aceh, sekalian dilakukan evaluasi,” jelasnya.

Selain itu, kata Mukhlizar, tarif parkir roda dua dan empat termasuk dalam PAD dari bagi hasil pendapatan retribusi, yakni 35 persen ke kas daerah dan 65 persen ke juru parkir. “Ini berdasarkan Qanun Kota Banda Aceh Nomor 3 Tahun 2021 Tentang Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum dan Tempat Khusus,” kata Mukhlizar, Kamis 13 Oktober 2022.

Di ujung wawancara, Mukhlizar tak menampik keberadaan bos juru parkir atau berstatus juru parkir pembantu di Kota Banda Aceh. “Semua tetap melalui regulasi dari Dinas Perhubungan. Ini demi kelancaran setoran retribusi parkir yang ditargetkan untuk setiap harinya ke kas daerah apabila juru yang bersangkutan berhalangan hadir,” katanya.

Lalu, bagaimana dengan kuasa preman yang masih leluasa bermain di sektor perparkiran?

Ketua Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten (DPRK) Banda Aceh, Irwansyah, mengatakan bahwa banyak faktor yang menyebabkan realisasi PAD dari retribusi parkir tidak pernah tercapai hampir setiap tahunnya, tetapi dugaan yang paling kuat adalah sistem perparkiran di Banda Aceh yang masih sangat tradisional.

Menurut dia, Banda Aceh sebagai ibu kota Provinsi Aceh seharusnya lebih modern dalam segala hal, termasuk dalam mengenai penagihan perpakiran dengan cara transaksi nontunai.

Irwansyah melihat sistem perpakiran di Banda Aceh yang saat ini dilaksanakan dengan cara manual, hand to hand, dan panjang prosesnya. Biasanya, proses seperti ini menimbulkan banyak kemungkinan potensi terjadinya kebocoran dana parkir. "Kalau itu yang terjadi maka target tidak akan pernah tercapai karena mencatat pendapatannya tidak sesuai potensi," katanya.

Ketua Komisi III DPRK Banda Aceh, Irwansyah. [Dok. Tim Investigasi]Ketua Komisi III DPRK Banda Aceh, Irwansyah. [Dok. Tim Investigasi]

Sebelumnya, kata Irwansyah, sudah pernah dilakukan survei untuk menggali besaran sebenarnya potensi PAD yang bisa didapatkan dari retribusi parkir di Banda Aceh, namun sepertinya belum terlalu serius. Sehingga sampai saat ini belum ada survei secara keilmuan yang bisa mempertanggungjawabkannya.

Menurutnya, survei tersebut seharusnya bisa dilakukan oleh lembaga eksekutif pemerintah secara reguler karena sepanjang jalan tepi umum telah tersedia tempat parkir.

Di samping itu, menurutnya upaya pemerintah untuk mencapai target PAD dari retribusi parkir juga belum serius, masih dilakukan secara manual dengan sistem patok. Petugas Dinas Perhubungan menagih ke juru parkir secara langsung di lapangan. "Sistemnya main patok saja, padahal harus dicari lagi betul tidak pendapatannya sebesar yang ditetapkan itu, mungkin pendapatannya lebih besar," kata Irwansyah.

Irwansyah juga menjelaskan dalam regulasi yang ditetapkan Dinas Perhubungan Kota Banda Aceh, pendapatan dari retribusi parkir yang ditetapkan adalah pemerintah 65 persen dan juru parkir 35 persen. Kata dia, apabila pemerintah menetapkan setoran di daerah tertentu Rp18 ribu dengan pendapatannya Rp500 ribu per shift, berarti ada 25 sepeda motor yang parkir dengan biaya Rp2 ribu per sepeda motor. "Perlu dipastikan apakah betul sampai 25 sepeda motor, jangan-jangan jumlahnya sampai 100," katanya.

Kemudian saat diambil oleh Dinas Perhubungan, tidak ada yang bisa memastikan kebenaran setoran yang dikumpulkan oleh petugas pengutip retribusi parkir. Selanjutnya, dana yang dikutip lalu disetor ke bendahara dinas terkait. “Dalam proses ini ada potensi dana yang diserahkan belum tentu real dan sesuai yang disetor oleh jukir. “Siapa yang bisa memastikan karena tidak ada transpransi dan juga alat ukurnya," tanya Irwansyah.

Karena itu, DPRK Banda Aceh selalu mendorong bahkan telah membuat Qanun yang mengatur agar sistem perpakiran di Banda Aceh dilaksanakan secara non tunai sehingga bisa terdeteksi dan transparan. "Jadi jukir harus dibekali HP, nanti ada barcode sehingga kita cuma tempel-tempel barcode aja dan semua sistemnya nanti tersentralisasi ke Dishub, jadi siapa bisa bohong?" ungkapnya.

Dengan cara tersebut, menurut Irwansyah proses pembayaran parkir menggunakan sistem non tunai juga akan mengecilkan potensi kebocoran dana parkir. Kalau yang saat ini menggunakan sistem manual, kebocorannya jadi berjenjang. "Berapa pintu masuk uang itu sampai ke Dinas Perhubungan," katanya.

Makanya, lanjut Irwansyah, targetnya walaupun diturunkan dari Rp10 miliar menjadi Rp7 miliar dan seterusnya, tidak akan pernah tercapai kalau sistemnya seperti itu dan peluang kebocoran juga akan semakin besar. "Masih banyak oknum-oknum yang bisa sangat mudah memanipulasi data-data dari sektor parkir," tambahnya.

Selain itu, ia juga menyoroti tidak ada kawasan parkir yang tertib khususnya di Banda Aceh. "Mana sistem parkir yang bisa kita jual dari Aceh, rata-rata semrawut semua menimbulkan kemacetan,” ucap Irwansyah.

Mengenai masalah ini, DPRK mendorong Dinas Perhubungan setempat utnuk membuat kawasan parkir yang dibangun dari jarak Izin Mendirikan Bangunan (IMB) lapak bangunan toko, seperti yang telah dibangun di sepanjang jalan T. Nyak Makam, Jalan Prof Ali Hasyimi-Pango.

Sistem seperti itu, kata dia, bisa membantu modernisasi pungutan parkir atau istilah lainnya disebut parkir meteran. Menurut Irwansyah, pembangunan kawasan parkir itu juga sekaligus menjaga agar pengusaha tidak menyalahi aturan IMB, sehingga meluaskan bangunan toko sampai ke halaman jalan dan berdirinya bangunan toko secara liar. "Kemudian, membuat parkir menjadi semakin tertib karena jumlah kendaraan yang masuk tercatat di sistem,” tutup Irwansyah.

Selanjutnya »     Target dan Realisasi PAD dari Pelayanan ...
Halaman: 1 2 3
Keyword:


Editor :
Akhyar

riset-JSI
Komentar Anda