kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Kemana Arah Dana Desa 2020?

Kemana Arah Dana Desa 2020?

Senin, 07 Oktober 2019 12:33 WIB

Font: Ukuran: - +

Salah satu pekerjaan di Gampong Tibang, Kecamatan Syiah Kuala, Kota Banda Aceh, yang bersumber dari Dana Desa 2019. Foto direkam, Minggu (6/10/2019). [Foto: Sara Masroni/Dialeksis.com]

DIALEKSIS.COM - Dua pria memasang keramik putih pada lantai sebuah tribun lapangan bola kaki di Gampong Tibang, Kota Banda Aceh. Itu salah satu dari empat unit tempat duduk penonton berukuran 3 x 6 meter yang dibangun di lapangan milik klub bola setempat, Persakti.  

Reporter Dialeksis.com mendatangi stadion milik klub bola yang diperkuat Martunis "anak angkat Cristiano Ronaldo" itu, Minggu (6/10/2019) sore. Tak jauh dari posisi pekerja, terpampang papan informasi proyek.

Pekerjaan: Pembangunan Tribun Lapangan
Anggaran: Rp 232,993,670,000
Sumber Anggaran: Dana Desa dan Alokasi Dana Gampong 2019 

Proyek senilai Rp 232 juta lebih itu menurut Sekretaris Desa Gampong Tibang Anwar, sebagai salah satu langkah mewujudkan kemandirian gampong—yang pernah hancur dihantam gelombang tsunami 2004—pada tahun 2023 kelak.

"Target kita, tahun 2023 Gampong Tibang sudah mandiri dengan penghasilan Rp200-300 juta," ujar Anwar kepada Dialeksis.com.

Dia menambahkan, "Sekarang untuk lapangan bola sudah masuk tahap pembangunan tribun dan rumput. Stadion ini nantinya bisa kita sewakan dan uangnya jadi pendapatan gampong itu sendiri."

Anwar mengatakan, Gampong Tibang mengoptimalkan keberadaan Badan Usaha Milik Gampong (BUMG) semenjak adanya Dana Desa dari Pemerintah Pusat. Aparatur gampong setempat berharap BUMG bisa menghasilkan dan memandirikan desa.

Gampong Tibang pun memberdayakan warga sendiri dalam setiap pekerjaan. "Masyarakat dilibatkan untuk semua pembangunan di gampong ini, kecuali beberapa hal yang tidak bisa dikerjakan seperti buat atap tribun, baru kita serahkan ke orang lain," kata Sekdes.

Menuju sebuah desa yang mandiri, pihaknya tak hanya fokus membangun infrastruktur bersifat fisik, tetapi juga membangun sumber daya manusia-nya.

"Kita buat pelatihan setiap tahunnya seperti merias pengantin bagi remaja atau pelatihan memproduksi bakso dari ikan tangkapan gampong. Itu semua dilakukan agar masyarakat berdaya dan punya keterampilan yang bernilai jual," jelas Sekretaris Gampong Tibang.

Salah satu produk gampong yang tengah digenjot adalah usaha kulit tiram. Melalui dana desa ini, masyarakat difasilitasi mulai dari pelatihan, pemasaran hingga penampungan kulit tiram.

Tribun Lapangan Persakti yang dikerjakan menggunakan Dana Desa 2019 di Gampong Tibang, Minggu (6/10/2019). [Foto: Sara Masroni/Dialeksis.com

"Kulit tiram dikelola langsung BUMG untuk produksi pupuk dan bahan pencampur pakan ternak agar lebih cepat bertelur," kata Anwar saat diwawancara di ruang kerjanya, Jumat (4/10/2019).

Dana Desa Melimpah

Tahun 2015, awal bagi seluruh desa di Indonesia mendapat "jajan" Dana Desa (DD) dari Pemerintah Pusat. Amplop berisi ratusan juta rupiah per tahun diterima desa setiap tahun.

Total hingga Desember 2018, Rp 187 triliun dana yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional (APBN) itu mengalir ke berbagai penjuru desa di Tanah Air.

Kegamangan sempat merongrong benak aparatur desa yang belum pernah mengelola uang besar. Sehingga, ada sejumlah oknum aparatur desa yang berujung ke ranah hukum akibat salah kelola DD, termasuk di Aceh.

Pemerintah Aceh menyebut, selama empat tahun terakhir (2015 - 2018), Pemerintah Pusat telah menyuntik DD untuk Aceh sebesar Rp 14,8 triliun. Angka ini menduduki ranking tiga besar nasional setelah Jawa Timur dan Jawa Tengah.

Ironisnya, jumlah penduduk Aceh saat ini 5,2 juta jiwa, jauh di bawah populasi Jawa Timur dan Jawa Tengah yang mencapai 40 - 45 juta jiwa.

Hal itu dipaparkan Pemerintah Aceh pada acara Rapat Koordinasi Program Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakata Desa se-Aceh, di Amel Convention, Kota Banda Aceh, 6 November 2018.

"Dengan dana desa yang besar tersebut seharusnya bisa menurunkan jumlah penduduk miskin di Aceh secara signifikan di bawah 15,50 persen serta memberikan kesejahteraan dan kemakmuran kepada pengrajin, usaha mikro dan kecil, petani, nelayan tradisional, dan lainnya," kata Asisten I Setda Aceh M Jafar, mewakili Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah.

Tahun depan, Pemerintah Pusat sudah mengalokasikan Rp 72 triliun Dana Desa untuk seluruh desa di Indonesia. Aceh sendiri mendapat alokasi DD sebesar Rp 5,05 triliun. Naik satu digit dari sebelumnya yang mencapai Rp 4,9 triliun.

"Ini jumlah terbesar bagi Aceh semenjak Dana Desa pertama kali disalurkan pemerintah," kata Kepala Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Gampong (DPMG) Aceh, Azhari, melalui Kepala Bidang Pemberdayaan Ekonomi dan Masyarakat Gampong, T Zul Husni, kepada Dialeksis.com, Jumat (4/10/2019).

DPMG Aceh menjadi leading sector pemanfaatan DD di Aceh. Zul Husni menerangkan, alokasi DD yang diterima Aceh terus meningkat berikut serapan aggarannya juga menunjukkan tren positif.

Pada 2015, Aceh menerima DD senilai Rp 1,7 triliun yang dibagikan kepada 6.474 desa dengan serapan 99,36 %. Berikutnya, Aceh dapat Rp 3,8 T alokasi DD diberikan kepada 6.474 desa, serapannya 99,71 %.

Kantor DPMG Aceh, di Jl Tgk Syech Mudawali, Kampung Baru, Kec. Baiturrahman, Banda Aceh. [Foto: Ikbal Fanika/Dialeksis.com]

Kemudian pada 2017, jelas Zul, DD Aceh berjumlah Rp 4,8 T yang disalurkan kepada 6.497 desa; serapannya 99,88 %. Pada 2018, jumlahnya Rp 4,4 T, sedikit menurun namun serapannya meningkat menjadi 99,9 % yang ditransfer kepada 6.497 desa.

Tahun ini, Aceh dapat Rp 4,9 triliun diberikan kepada 6.497 desa. Realisasinya hingga 27 September lalu hampir mencapai 60 %.

"Data yang kami miliki sampai hari ini, 57,8 persen serapannya," ungkap Zul.

Dia berharap hingga Desember nanti, serapan DD Aceh tahun 2019 setidaknya bisa menyamai angka tahun lalu: mendekati 100 persen.

Pengelolaan Tidak Tepat

Pengamat ekonomi Aceh Rustam Effendi menilai program DD yang digulirkan sejak kepemimpinan Jokowi-JK suatu hal positif untuk membangun pedesaan. Namun pemanfaatan di desa belum tepat sasaran atau tepat guna.

Pemerintah memang anjurkan setiap desa dapat memanfaatkan DD sesuai kebutuhannya masing-masing. 

Namun menurut Rustam Effendi, masyarakat lebih banyak menggunakan DD untuk pembangunan fisik. Sedikit yang menyentuh non-fisik, apalagi jika berbicara soal ekonomi gampong.

"Lebih banyak digunakan untuk hal-hal yang fisik. Misalnya dibuat drainase, got, jalan, dan itu pun tidak menggunakan tenaga lokal," kata Dosen Fakultas Ekonomi Universitas Syiah Kuala itu kepada Dialeksis.com, Minggu (29/9/2019).

Ekstremnya, di sebagian kecil desa di Aceh, ada penyelewangan anggaran DD oleh aparatur gampong, sehingga salah satu dampaknya, upaya menyejahterakan masyarakat gampong terhambat.

Penyelewengan itu terjadi menurutnya, bisa jadi karena kurangnya pembinaan dari pemerintah. Bisa pula pendamping desa yang ditugaskan dinas terkait di setiap desa tidak mampu bekerja profesional.

Kesuksesan Bur Telege

Kampung Hakim Bale Bujang, sebuah desa di tepi Danau Lut Tawar dan Bukit Bur Telege, Takengon, Aceh Tengah, menghadirkan inspirasi keberhasilan penggunaan dana desa.

Kini, dari buah tangan perangkat desa setempat, wisatawan dapat menikmati hamparan pesona Kota Dingin itu, dari ketinggian 1.250 meter di atas permukaan laut; dari Bukit Bur Telege—nama aslinya, yang sebelumnya bukit ini dinamai Bur Gayo.

Objek wisata Bur Telege di Takengon, Aceh Tengah. [Foto: Dok. Dialeksis.com]

Jika wisatawan berada di seputaran Kota Takengon, pasti akan kelihatan sign besar bertuliskan "Gayo Highland" di puncik bukit itu, layaknya sign "Hollywood" di Gunung Santa Monica, California. Itulah lokasi destinasi wisata Bur Telege yang cukup populer dalam dua tahun terakhir.

Keuchik atau Reje Hakim Bale Bujang, Misriadi (50), yang menggagas pengembangan objek wisata itu semenjak 10 tahun lalu, sebelum ia menjadi kepala desa. Awalnya ia berhasil membangun warung desa bersama masyarakat setempat.

Dia kemudian terpilih sebagai keuchik pada 2015. Dua tahun berikutnya, 2017, dia mulai memanfaatkan DD untuk membuat Bur Telege lebih baik.

Kawasan Bur Telege dibangun di tanah negara (hutan lindung). Semua proses pembangunannya dikelola secara swadaya bersama masyarakat setempat. Pemerintah meminjamkan tanah pegunungan seluas 208 ha. Namun baru sekitar 2 ha yang sudah dikemas menjadi objek wisata favorit di Tanah Gayo.

Misriadi kepada reporter Dialeksis.com, Selasa (16/7/2019), mengatakan, setelah mendapat perhatian masyarakat secara serius, destinasi ini mendapat bantuan DD dalam 2 tahap: pertama Rp 110 juta, berikutnya menerima Rp 69 juta di tahap kedua.

Dengan dana sebesar Rp179 juta rupiah itu, Masriadi dan masyarakat membangun fasilitas-fasilitas menarik di situs ini. Salah satunya "Sajadah Aladin" yang fotonya cukup viral di lini masa media sosial di Aceh.

Pengunjung rata-rata 500-800 orang per hari jika hari biasa dan mencapai dua kali lipat di hari libur. Pengelola hanya pasang tarif sekali masuk Rp 2.500/orang. Ekonomi kreatif pun hidup di sekitar Bur Telege. Masyarakat setempat kemudian meraup keuntungan.

Di luar Aceh pun, ada beberapa desa yang sukses meraup untung dengan memanfaatkan DD. Desa Umbul Ponggok di Klaten, Jawa Tengah, misalnya, menggunakan dana desa untuk mengembangkan potensi wisata dan kemudian memperoleh keuntungan bersih Rp 14 miliar per tahun.

Lalu, Desa Nglanggeran, Gunung Kidul, Yogyakarta yang juga dikembangkan dari DD. Desa ini mampu menghasilkan pendapatan Rp 8 miliar per tahun.

Tak mesti dari sektor wisata, DD juga bisa salurkan untuk membangun pendidikan desa. Cerita menarik terjadi di Gampong Blang Krueng, Kecamatan Baitussalam, Aceh Besar.

Blang Krueng salah satu desa yang "bersih" disapu tsunami, tak lagi menyisakan satu pun bangunan sekolah, sehingga anak-anak setempat harus sekolah ke desa lain.

Mulai 2014, memanfaatkan DD, perangkat desa di sini sepakat membangun Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT) Hafizul Ilmi, yang dijadikan pusat penanaman karakter anak. Pendanaan untuk membangun sekolah ini disalurkan melalui BUMG setempat.

"Dengan semangat implementasi UU Desa No 6 tahun 2014, alhamdulillah salah satu gebrakan Desa Blang Krueng dengan adanya dana desa berupa pembangunan sekolah milik gampong itu terwujud," kata Dewan Pengawas BUMG Blang Krueng Teuku Badlisyah, seperti dikutip detikcom, Kamis (19/9/2019).

Tentu saja, Gampong Tibang di Banda Aceh contoh menarik. Meski baru memulai, proyek pembangunan empat tribun di Lapangan Persakti dan usaha lain di desa nelayan itu, hanya menunggu waktu untuk memetik hasil.

Namun, di balik segelintir desa berprestasi itu, ada sejumlah batu terjal membubui kisah Dana Desa. Misal diakui Sekdes Gampong Tibang kepada Dialeksis.com, ada beberapa kebutuhan penting masyarakat yang tidak bisa menggunakan DD, karena terhalang regulasi.

"Seperti misalnya gaji guru TPA dan pembangunan masjid, sebenarnya ini sangat dibutuhkan. Tapi karena tidak dibenarkan oleh regulasi, makanya kita kesulitan membangun SDM di sektor ini," tutur Anwar.

Sekdes Gampong Tibang, Anwar. [Foto: Sara Masroni/Dialeksis.com]

Dia berharap, ke depan pemerintah pusat lebih memberikan keleluasaan bagi desa dalam mengelola DD. "Semoga ada perubahan ke depan," harapnya.

Kebijakan DD 2020

Anggaran dari Pusat makin banyak masuk ke Aceh. Selain DD, Aceh juga menerima dana otsus sejak 2008 hingga 2027. Namun dana bantuan yang diterima setiap tahun, tak mampu melepaskan masyarakat Aceh dari jerat kemiskinan.

Seperti kata Rustam Effendi di atas, Dana Desa dapat dimanfaatkan untuk mengurangi angka kemiskinan di Aceh. Karena menurut analisisnya, saat ini, Aceh hanya mampu mengentaskan kemiskinan 2-3 KK saja/tahun. Sangat miris.

Baca: Dana Desa Bertambah, tapi Aceh Hanya Mampu Entaskan Kemiskinan 2-3 KK per Tahun

Agar pemanfaatan DD dapat mendongkrak kesejahteraan masyarakat, sarannya, Pemerintah Daerah bisa membuat kebijakan khusus dalam pemanfaatan DD yang lebih fokus pada pengembangan ekonomi desa. 

"Misalnya begini, harus ada persentase khusus tentang ekonomi, ditetapkan saja misalnya. Aceh juga bisa membuat kebijakan khusus. Misalnya Pak Gubernur menyampaikan masukan membuat semacam juknis sekian persen untuk ekonomi," ujar Rustam Effendi.

Mungkin, sambungnya, Gubernur melaui SKPA terkait misalnya membuat juknis tersebut, lalu diinstruksikan ke SKPD di tingkat dua.

"Gubernur ajak bupati, ajak walikota," ucapnya, "supaya dibuat kesepakatan, uang desa itu mau kita apakan, kan begitu. Sehingga betul-betul ada pedomannya oleh pihak perangkat desa selaku aparatur gampong."

Kebijakan tersebut juga salah satunya untuk menekankan setiap gampong agar mengoptimalkan Badan Usaha Milik Gampong (BUMG/BumDes). Tujuan akhirnya, masyarakat bisa mandiri dengan perputaran uang dari DD di desanya sendiri.

Selain itu, menurut Sudarman Alkatiri Puteh, mantan Sekjen Forum LSM Aceh, Pemerintah Aceh perlu mengubah kebijakan pengelolaan DD mulai tahun 2020. Untuk itu, ada empat hal yang harus diperhatikan.

Pertama, kata Sudarman, alokasi DD dari Pusat meningkat setiap tahunnya. Tahun 2019, alokasi APBN untuk DD sejumlah Rp. 69,8 triliun. Tahun 2020, pemerintah pusat meningkatkan alokasinya menjadi Rp 72 triliun.

Kedua, metode penghitungan alokasi DD berubah. Jika tahun 2019, alokasi ditentukan dengan metode penghitungan berdasarkan: alokasi dasar, alokasi formula dan alokasi afirmatif; maka tahun 2020, pemerintah pusat menambahkan satu parameter tambahan, yaitu alokasi kinerja.

Kemungkinan, dia menganalisis, (formula yang lebih pasti akan diatur oleh PMK/Peraturan Menteri Keuangan yang akan keluar pada bulan Oktober 2019), penghitungan formulasinya sebagai berikut: alokasi dasar (69%), alokasi formula (28%), alokasi afirmatif (1,5%) dan alokasi kinerja (1,5%).

"Prediksi saya, alokasi kinerja akan terus meningkat persentasenya ke depan, sama halnya dengan alokasi dana insentif daerah (DID)," kata Sudarman dalam wawancara dengan Dialeksis.com, Minggu (29/9/2019).

Ketiga, dia melanjutkan, penyempurnakan kebijakan pengalokasian DD tahun 2020 tetap memperhatikan aspek pemerataan dan keadilan, meningkatkan porsi penggunaan dana desa untuk pemberdayaan masyarakat dan pengembangan potensi ekonomi.

Sudarman Alkatiri Puteh, mantan Sekjen Forum LSM Aceh. [Foto: IST]

Selanjutnya juga harus mengoptimalkan peran Aparat Pengawas Intern Pemerintah (APIP) pemerintah daerah dalam pengelolaan dan penyampaian laporan penyaluran dan penguatan kapasitas SDM perangkat desa dan tenaga pendamping desa, serta penguatan monitoring dan evaluasi Dana Desa.

"Keempat, DAU Tambahan untuk dukungan pendanaan atas kebijakan penyetaraan penghasilan tetap kepala desa dan perangkat desa yang dialokasikan sebesar Rp 3,7 triliun," ujarnya.

Alokasi tambahan ini menindaklanjuti amanat PP 11/2019 terkait penyetaraan penghasilan tetap (siltap) kepala desa dan aparatur desa. Untuk Aceh, sebutnya, hanya 13 Kabupaten yang memperoleh alokasi tambahan tersebut.

Dia merincikan. Mulai tahun 2020, besaran penghasilan tetap kepala desa paling sedikit Rp 2.426.640,- atau setara 120% dari gaji pokok PNS golongan ruang II/a, sekretaris desa paling sedikit Rp 2.224.420 atau setara 110% dari gaji pokok PNS golongan II/a, dan perangkat desa lainnya paling sedikit Rp 2.022.200,- atau setara 100% dari gaji pokok PNS golongan II/a.

"Besaran Siltap ini diluar hitungan tunjangan yang diterima sesuai kebijakan masing-masing kabupaten/kota," ungkapnya.

Fokus Perekonomian Desa

Selain kebijakan baru itu, Presiden Joko Widodo sebelumnya meminta aparatur desa agar mulai tahun 2019, alokasi DD dapat difokuskan ke pembangunan non-infrastruktur, terutama membangun perekonomian desa.

Hal itu diakui DPMG Aceh saat diwawancara Dialeksis.com pekan lalu. Pemanfaatan DD dari 2015 - 2017 lebih difokuskan untuk membangun infrastruktur desa. Karena banyak desa-desa di sejumlah daerah kekurangan fasilitas.

"Tapi sejak 2018 hingga 2020 nanti, penggunaan Dana Desa lebih diprioritaskan ke pemberdayaan SDM dan perekonomian desa," ucap Kepala Bidang Pemberdayaan Ekonomi dan Masyarakat Gampong DPMG Aceh, T Zul Husni.

Namun tambahnya, pemerintah tak melarang jika desa tetap membangun infrastruktur dengan DD, selama pembangunan fisik itu dapat memberikan dampak kepada pembangunan ekonomi masyarakat.

"Misal pembangunan irigasi untuk kemudahan petani," ujarnya.

Dia menyebutkan pengelolaan DD di Hakim Bale Bujang Takengon salah satu desa yang dapat ditiru dalam pemanfaatan DD, sama halnya dengan Gampong Tibang dan Blang Krueng.

 SD-IT Hafidzul Ilmi di Gampong Blang Krueng, Baitussalam, Aceh Besar, yang dikerjakan dengan menggunakan Dana Desa. Foto direkam, Minggu (7/10/2019). [Foto: Sara Masroni/Dialeksis.com]

Mentoring dari Pemerintah

Aliran DD di Aceh, mulai 2020, sebaiknya memang diarahkan ke sektor-sektor produktif. Demikian menurut Kepala Bank Indonesia (BI) Perwakilan Aceh, Zainal Arifin Lubis. Tujuannya, untuk memperbaiki tingkat kesejahteraan masyarakat dalam menurunkan angka kemsikinan.

Bentuknya antara lain, dana dukungan untuk pengembangan usaha kolektif. Misal di desa yang punya karakteristik dan masyarakatnya punya mata pecaharian atau alamnya cocok untuk pertanian, perikanan atau sejenisnya.

Jika desa itu berpotensi di sektor pertanian, maka bagusnya dijadikan usaha kolektif untuk sektor pertanian yang beskala mikro. 

Usaha tersebut pun harus saling terkait dari kabupaten, kecamatan dan desa yang bersangkutan. Setiap desa yang memanfaatkan DD untuk sektor produktif harus punya link ke kecamatan dan kabupaten.

"Kenapa link? karena masalahnya nanti untuk akses pasar," ujar Zainal Arifin Lubis kepada Dialeksis.com, Minggu (29/9/2019).

Dia meyakini, kalau akses pasar diserahkan ke pihak desa, tidak akan mampu. Contohnya nilam. Di beberapa daerah di Aceh punya lahan yang dulunya biasa dipakai menanam nilam atau serewangi. Tapi kemudian karena harga nilam dan serewangi berfluktuatif, lalu masyarakat tak ada yang bimbing, mereka jadi berhenti.

"Nah, desa dengan potensi seperti itu sekali untuk menggunakan dana desa."

Pun menurutnya, DD tidak mesti diserahkan ke masing-masing individu, tapi bisa melalui kelompok. Lalu ketika usaha kolektif berjalan, harus ada pembinaan dari kabupaten ke kecamatan dan desa.

"Kalau tidak, saya tidak yakin berfungsi dengan baik," kata Kepala BI Aceh.

Namun begitu, dia menilai, sejauh ini pengelolaan DD sudah bagus. Hanya saja, kualitas pendamping desa dan dukungan dari dinas terkait kurang memadai.

"Karena dinas terkait ini punya anggaran dan bidang tugasnya. Persoalannnya adalah keseriusan dan kesungguhan. Oleh karena itu, perangkat desa harus aktif, jangan tunggu dari dinas harus datang atau apa, perangkat desa harus aktif," kata Zainal Arifin Lubis.

Selain itu, pembinaan juga bisa melibatkan dari kalangan profesional atau praktisi di usaha terkait.

Agar tata kelola DD bisa menjadi daya ungkit perekonomian desa, sebaiknya saran Kepala BI Aceh, ada klasifikasi terhadap keunggulan daerah, berdasarkan keterampilan penduduknya dan sumber daya alam yang potensial di daerah tersebut.

"Kemudian perangkat desanya harus aktif, tidak harus menunggu fungsi dinas terkait," imbuhnya.

Jika dinas terkait kurang aktif, perangkat desa harus ambil inisiatif mengajak keterlibatan semua unsur di tingkat kabupaten. Pola ini dapat diadaptasi dari dari desa-desa yang sudah berhasil.

"Jadi domainnya dari pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten, cari dimana ada desa yang berhasil, baik kabupaten di desa yang ada di Aceh maupun luar Aceh, boleh untuk pembelajaran yang baik," tutupnya.

DPMG: BUMG Harus Aktif

DPMG Aceh bukan tak bertanggungjawab soal pengelolaan DD di Aceh. Setiap tahunnya instansi ini melakukan sosialisasi ke aparatur desa maupun melalui petugas pendamping desa. 

DPMG Aceh melalui Kepala Bidang Pemberdayaan Ekonomi dan Masyarakat Gampong DPMG Aceh, T Zul Husni, mengatakan, pihaknya setiap tahun membina aparatur desa terkait penggunaan DD. Pendamping desa disebar ke setiap daerah.

"Bahkan sejak 2017, kita mengadakan pelatihan untuk BUMG setiap gampong," ujar Zul.

Pengurus BUMG dibekali ilmu manajemen usaha hingga pemasaran produk berbasis potensi ke gampong. Guna mengikuti Revolusi Industri 4.0, kata Zul, pihaknya pernah mengundang pelaku e-commerce nasional semisal Bukalapak untuk membimbing BUMG di Aceh.

T Zul Husni, Kepala Bidang Pemberdayaan Ekonomi dan Masyarakat Gampong DPMG Aceh, Zul Husni. [Foto: Ikbal Fanika/Dialeksis.com]

"Sekarang kan untuk pemasaran gampang sekali, hanya perlu smartphone, produk-produk gampong dapat dipasarkan di Bukalapak," ucap Zul.

Dia menegaskan, pemerintah Aceh melalui DPMG Aceh dan instansi terkait sudah membina. Tinggal kab/kota yang harus aktif mengelola gampong-gampong. Pun pihak gampong sendiri, terutama BUMG, yang harus proaktif membangun ekonomi desa dengan DD.

DPMG Aceh pun menyarankan tiga hal berikut kepada setiap desa agar pengelolaan DD bisa tepat sasaran, tepat manfaat, dan tepat guna.

Pertama, perencanaan pembangunan harus partisipatif dengan melibatkn semua unsur pemerintah gampong, masyarakat dan pemangku kepentingan di gampong.

"Kedua, usulan kegiatan yang akan didanai melalui APBDes harus mampu memjawab kebutuhan sesuai potensi gampong termasuk masyarakatnya," kata Zul Husni.

Selanjutnya, harus ada penyelarasan rencana kerja pembangunan (RKP) gampong dengan rencana kerja pembangunan daerah (RKPD) kabupaten/kota. 

Hal ini juga harus mempedomani prioritas penggunaan DD yang setiap tahun diterbitkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, serta instruksi dari Perbup/Perwal masing-masing kab/kota.

DPMG Aceh pun mendorong pemerintah kab/kota agar DD dapat disalurkan tepat waktu sesuai PMK No. 193 tahun 2018. Hal ini sebagai salah satu upaya memperbaiki pengelolaan DD di Aceh.

Berikutnya, sebut Zul Husni, kab/kota mesti lebih aktif memfasilitasi gampong dalam pengelolaan DD dan secara terus-menerus mendorong agar DD benar-benar bermanfaat bagi masyarakat gampong.

"Terakhir, memastikan agar prinsip-prinsip pengelolaan dana dilaksanakan oleh semua gampong yaitu transparasi, akuntabel, partisipatif, tertip dan disiplin anggaran," ujarnya saat ditemui di kantor DPMG Aceh.

Gampong Tibang, Hakim Bale Bujang, dan Blang Krueng, dan desa-desa dengan konsep serupa, sepertinya cukup menjadi teladan bagaimana Aceh seharusnya mengelola Dana Desa mulai tahun depan.(Makmur Emnur & Sara Masroni)


Keyword:


Editor :
Makmur Emnur

riset-JSI
Komentar Anda