kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Korupsi Lagi, Kali Ini Soal Peremajaan Sawit di Aceh Barat

Korupsi Lagi, Kali Ini Soal Peremajaan Sawit di Aceh Barat

Rabu, 26 Juli 2023 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo


Ilustrasi


DIALEKSIS.COM | Indept - Persoalan merugikan negara oleh ulah manusia yang ingin mengeruk keuntungan sulit dihindari. Walau sudah banyak contoh yang mendekam di “hotel” prodeo, namun aksi Tipikor masih meraja lela di bumi Pertiwi.

Kali ini soal program peremajaan sawit rakyat (PSR) di Aceh Barat. Pihak penyidik Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh sudah menetapkan dua tersangka, namun terbuka peluang akan ada tersangka tambahan.

Kini giliran mantan Bupati Aceh Barat, Ramli MS diminta keteranganya sebagai saksi. Pejabat yang pernah menjadi orang nomor satu di negeri Teuku Umar ini kooperatif memenuhi panggilan Jaksa untuk memberikan keterangan.

Sebelumnya, pihak penyidik sudah melakukan penyitaan uang senilai Rp17,6 miliar dari 10 rekening koperasi. Selain uang, penyidik juga menyita aset berupa dua unit mobil beserta surat-suratnya. Menyita rumah dan tanah dengan luas 225,5 meter persegi dan seluas 1.307 meter persegi, di Kecamatan Johan Pahlawan, Kabupaten Aceh Barat.

Selain itu, pihak penyidik juga menerima pengembalian uang dari bantuan program peremajaan sawit rakyat senilai Rp247,5 juta. Ramai juga. Bagaimana awalnya pekerjaan ini hingga menjadi kasus korupsi?

Kegiatan program peremajaan sawit rakyat (PSR) berawal ketika Koperasi Produsen Mandiri Jaya Beusare pada 2017 mengajukan proposal. Proposal diajukan kepada Badan Pengelola Dana Peremajaan Sawit melalui Dinas Perkebunan Kabupaten Aceh Barat. 

Gayung bersambut. Dialeksis.com memiliki catatan untuk kegiatan ini. Proposal yang diajukan disetujui, ada 10 progam kegiatan secara bertahap dalam rentang waktu 2018 hingga 2020, total anggaran Rp75,6 miliar lebih. 

Jumlah petani program peremajaan sawit rakyat ini terbilang banyak mencapai 1.207 orang dengan luas lahan mencapai 2.831 hektare. Apakah program ini berjalan sesuai dengan ketentuan? Ini yang menjadi persoalan.

Berdasarkan laporan identifikasi Fakultas Pertanian Universitas Syiah Kuala menggunakan citra satelit serta pemeriksaan lapangan tim penyidik Kejati Aceh, sebagian lahan itu kondisinya masih hutan, tidak pernah ditanami tanaman sawit.

Padahal, syarat untuk mendapatkan dana program PSR harus ada tanaman sawit yang berusia 25 tahun, serta produktivitasnya di bawah 10 ton per hektare. Namun faktanya sebagian lahan itu masih hutan.

Selain hutan, ada lahan lainya yang diajukan juga masih semak belukar, serta lahan kosong yang belum ditanami. Tidak sampai disitu, lahan perkebunan sawit dari hak guna usaha (HGU) perusahaan juga dimasukan sebagai penerima program PSR.

Mulailah tercium aroma tidak sedap, ada permainan dalam PSR di Aceh Barat. Banyak pihak menyampaikan kritikanya dan meminta pihak penyidik untuk serius mengulik dugaan korupsi program PSR.

Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat yang mengetahui adanya permaian dalam program replanting sawit ini mealporkan ke Kejati Aceh lengkap dengan melampirkan dokumen. Menurut GeRAK, bukan hanya dugaan tindak pidana korupsi, namun juga Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Barat, Edy Syahputra, kepada media, Minggu ketiga Juli 2023, memberikan penjelasan. Pihaknya terus mendukung upaya penegakan hukum dalam kasus PSR yang kini ditangani pihak pihak Kejaksaan Tinggi (Kejati) Provinsi Aceh.

Menurutnya, dari informasi yang diperoleh GeRAK, Tim Jaksa Penyidik Kejaksaan Tinggi Aceh telah melakukan penyitaan uang sebesar Rp 17,6 miliar, serta penyitaan barang berharga lainya, serta menerima pengembalian uang dari tersangka.

“Kami akan terus melakukan advokasi atas kasus ini, dan publik berkewajiban melakukan pemantauan terhadap jalannya proses penegakan hukum tersebut. Sehingga benar-benar terungkap siapa penikmat aliran dana PSR ini,” ujarnya.

Pihaknya juga mendapat informasi, via dokumentasi surat pemanggilan dari Kejati Aceh, yang memanggil seorang oknum anggota Polres Aceh Barat atas nama Bripka HM.

“Dari informasi yang kami dapatkan, disebutkan bahwa oknum anggota Polres Aceh Barat tersebut diketahui sebagai pelaksana lapangan (rekanan) dan ini sebagaimana disebutkan oleh yang bersangkutan,” kata Edy Syahputra.

Atas hal tersebut, pihaknya menduga bahwa keterlibatan oknum polisi tersebut sebagai rekanan dalam program replanting sawit tersebut akan menimbulkan konflik of interest dalam jabatannya sebagai aparat penegak hukum.

GeRAK menduga, keterlibatan oknum polisi tersebut tidak hanya sebatas sebagai rekanan semata. Tetapi diduga punya andil besar dalam menjalankan berbagai progress pekerjaan replanting sawit dilapangan.

“Bukti dokumentasi yang kami temukan, oknum tersebut diduga juga sebagai bagian dari keanggotaan koperasi KPMJB,” jelasnya.

Ia menambahkan, bahwa GeRAK akan menyurati pihak oknum institusi terkait atau melaporkannya secara resmi ke institusi Polri.

Pihaknya juga menduga ada pihak atau oknum yang mempunyai peranan lebih besar selain dari dua orang tersangka yang telah ditahan oleh pihak Kejati Aceh.

“Apalagi dalam proses penyidikannya, diketahui bahwa pihak Kejati Aceh juga telah memeriksa mantan Bupati Aceh Barat sebagai saksi dalam perkara tersebut,” terang Edy.

Selain itu, pihaknya juga akan meneliti proses secara administrasi tentang kelayakan koperasi KPMJB untuk mendapatkan program replanting sawit. Apa ada intervensi dari pihak tertentu agar koperasi KPMJB adalah pihak yang mengelola dana sawit rakyat tersebut.

Berdasarkan data dokumen yang diperoleh GeRAK, total anggaran penarikan untuk pelaksanaan kegiatan program replanting sawit tersebut berjumlah Rp 23,2 miliar dimulai dari tahun 2018, 2019 dan 2020.

“Seluruh dokumen ini telah resmi kami berikan dan melaporkan kepada Kepala Kejati Aceh pada September 2020 lalu dan diterima langsung oleh Kajati Aceh, Muhammad Yusuf saat itu,” jelas Edy GeRAK Aceh Barat.

Lebih rinci lagi Edy menjelaskan, dari dokumentasi dan fakta di lapangan, misalnya seperti kontrak pekerjaan tumbang chipping dengan anggaran Rp 900 juta lebih, tahun anggaran 2018. Pelaksana PT NJB (Tjut Agam sebagai ketua dan Drs. Zamzami sebagai sekretaris).

Dalam dokumen kontrak tersebut adanya pengajuan tagihan pencairan pekerjaan tumbang chipping yang ditujukan kepada Bank Mandiri Syariah tertanggal 7 Januari 2019 sebesar Rp 183 juta. Uang tersebut diantaranya dipakai untuk DP 20 persen pekerjaan tumbang chipping seluas 142,4273 hektar dengan nilai total sekitar Rp 161 juta.

Dalam dokumen itu dijelaskan, tahapan pekerjaan memotong atau chipping pohon sawit yang ditumbang dengan ketebalan maximum 15 cm. Kemudian pelepah dipotong menjadi 3 bagian dan buah sawit yang tersisa di chipping.

“Faktanya, kami menemukan batang sawit yang ditebang atau dirobohkan masih utuh dan tidak ada proses pencincangan sebagaimana disebutkan dalam dokumen kontrak,” jelas Edy.

“Kami menduga bahwa pekerjaan tersebut fiktif dengan artian bahwa pekerjaan tersebut tidak sepenuhnya dilaksanakan 100 % sebagaimana dalam dokumen kontrak,” sebutnya.

Pihak GeRAK juga mempertanyakan keaslian bibit sawit dan harga bibit sawit yang nilai kontrak totalnya mencapai Rp 9,1 miliar. Dimana rinciannya pada tahun 2018 anggaran untuk kontrak bibit sawit mencapai Rp 1,1 miliar dengan luas area mencapai 142 hektare lebih dan pelaksana pekerjaan dengan inisial CV MRP.

Dilanjutkan 2019 dengan nilai kontrak Rp 2,2 miliar untuk 311 hektare lahan sawit dengan lokasi lahan yaitu Panteu Ceureumen. Masih ditahun yang sama, kembali diadakan pengadaan bibit sawit dengan nilai Rp 1,9 miliar untuk luas lahan 273 hektar lebih dan pengelola pekerjaan dengan inisial CV IJ.

Masih ditahun yang sama, dengan nilai kontrak Rp 3,8 miliar untuk luas lahan 540 hektar lebih dan pelaksana pekerjaan juga CV IJ.

Pihaknya juga meminta pemeriksaan oleh pihak Kejati Aceh atas asal muasal bibit benih sawit dan juga dokumen dari balai benih terkait keaslian bibit sawit tersebut. Bukan hanya pekerjaan tumbang chipping dan pengadaan bibit sawit. Selain itu juga dilakukan pemeriksaan pengadaan pupuk, dan upah para pekerja di koperasi KPMJB, diduga tidak sesuai dengan nilai kontrak.

Tersangka dan Penyitaan

Tim penyidik Kejati Aceh menunjukan “taringnya”, mereka serius mengungkapkan kasus dugaan korupsi PSR Aceh Barat. Dua tersangka sudah ditetapkan dan ditahan, penyitaan juga dilakukan, bukan hanya uang, namun sejumlah asset berharga lainya.

Menurut Kepala Kejati Aceh, Bambang Bachtiar, pihaknya sudah menetapkan dua tersangka Drs. ZZ dan Ir. SM, kasus ini terus didalami, pemeriksaan saksi masih dilakukan ,agar dugaan korupsi ini bisa diselesaikan.

Menurut Bambang dalam keteranganya kepada Dialeksis.com, Minggu (23/7/2023), para tersangka telah dilakukan penahanan, di Rutan Kelas II B Banda Aceh selama 20 hari terhitung mulai tanggal 20 Juni 2023-09 Juli 2023. 

Selanjutnya dilakukan perpanjangan penahanan oleh Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Aceh untuk paling lama 40 hari terhitung mulai tanggal 10 Juli 2023-18 Agustus 2023.

Pihak penyidik juga telah dilakukan penggeledahan Kantor Dinas Perkebunan dan Peternakan Kabupaten Aceh Barat, dan Koperasi Produsen Mandiri Jaya Beusaree. Juga telah dilakukan penyitaan uang senilai Rp 17 miliar.

Selain itu, pihak penyidik juga telah melakukan penyitaan berupa; Satu unit mobil Merk Honda HR-V beserta STNK dan BPKB. Satu unit Mobil Merk Chevrolet Colorado beserta STNK.

Satu rangkap fotocopy Sertipikat Hak Guna Usaha nomor 40 a.n. PT. Gading Bhakti. Juga telah disita satu lembar fotocopy Peta Bidang Tanah Nomor 05/2000 Kec. Kawai XVI, Desa /Kelurahan Baro Paya.

Juga telah disita satu rangkap surat asli Akta Jual beli No. 109/2019.Sebidang tanah seluas 225,50 M2 dan bangunan berupa rumah di Jalan Keperawatan Lorong Masjid No.3 Dusun Pinang Hijau Desa Suak Ribe Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.

Juga telah disita sebidang tanah seluas 1,307 M2 sesuai sertifikat hak milik No. 3274 atas nama Cut Desi Agustina yang terletak di Desa Seunebok Kecamatan Johan Pahlawan Kabupaten Aceh Barat.

Selain melakukan penyitaan, Tim Jaksa Penyidik juga telah menerima pengembalian uang bantuan PSR sebagai keuntungan yang tidak sah yang telah diterima oleh Mitra/Rekanan Koperasi Produsen Mandiri Jaya Beusaree sejumlah Rp247.548.000.

Bukan hanya sampai disitu, pihak penyidik juga telah melakukan pemblokiran terhadap 2 sertifikat hak milik atas nama Agus Salim, dan Cut Desi Agustina (Dalam proses pemblokiran oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Barat)

Juga melakukan pemblokiran 10 rekening Koperasi Produsen Mandiri Jaya Beusaree yang tersebar di beberapa bank, yaitu BSI Cabang Meulaboh dan Bank Aceh Cabang Meulaboh, jelasnya.

Kasus korupsi di negeri ini bagaikan penyakit kanker yang terus merambat kemana-mana. Satu persatu tersangka dijebloskan ke jeruji besi, namun itu bagaikan tidak menjadi pelajaran buat pihak yang lain. Masih bermunculan para pelaku korupsi di berbagai penjuru negeri. Kali ini soal sawit di Aceh Barat.

Para tersangka tidak terpikir bagaimana masa depan keluarga kalau mereka masuk jeruji besi. Setelah menikmati sesaknya hotel prodeo baru muncul penyesalan, itu juga bagi yang insaf. Sebelum mengenakan baju pink, mereka masih memburu uang negara untuk kepentingan pribadi.

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda