kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Kostelasi Politik di DPRA (Bagian 2)

Kostelasi Politik di DPRA (Bagian 2)

Selasa, 30 Januari 2018 19:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Jaka rasyid, OSI, benny


Konstelasi politik serta pihak kalah pilkada 2017 menguasai parlemen hingga sulit rasanya RAPBA disahkan oleh pemimpin parlemen. Apalagi kisruh antara dewan dan eksikutif sepertinya sudah jadi fenomena. Istilah kids jaman Old, "Manuang Tanoh". Aceh tanoh mulia tapi ureueng jih beulaga".

Buktinya, saban tahun pembahasan APBA selalu ricuh dan lambat. Tercatat hanya satu kali APBA yang disahkan sebelum tahun anggaran berjalan yang disetujui 20 Dsember 2013. Itu terjadi saat pengesahan APBA 2014 (masa pemerintahan Zaini Abdullah-Muzakkir Manaf).

Bila dirunut, kostelasi politik di DPRAitu sebagai efek dari Pilkada 2017 lalu.  Satu episode dari dendam "sejarah" cara politik di Aceh. Apalagi saat ini, anggota DPRA masih dikuasai Partai Aceh yang diketuai oleh Muzakir manaf yang memenangkan pemilu legislatif 2014 lalu. Namun gubernur Irwandi yang memenangi pemilu kepala daerah 2017 berasal dari Partai Nasional Aceh yang dipimpin oleh Irwandi sendiri.

Tampak nya itulah yang memantik perseteruan antara pihak pemenang pilkada dari PNA dengan yang kalah pilkada dari partai PA yang menguaai parlemen. Secara sederhana dapat dikatakan biarpun pilkada 2017 sudah selesai yang dimenangkan Irwandi namun perseteruan masih terus berlanjut di parlemen. Akibatnya adalah RAPBA engan disahkan menjadi APBA oleh parlemen yang dukuasai oleh Muzakir manaf.

Jadi, APBA 2018 masa kepemimpinan gubernur Irwandi Yusuf – Nova Iriansyah, sesunggughnya hanya episode dari pengulangan. Mengingatkan pada masa pemerintahan Irwandi-Nazar, sebelumnya. Ketika itu APBA baru disahkan mendekati pertengahan tahun anggaran berjalan.  

Dendam sejarah pemenang pemilu legislatif dengan pemenang Pilkada kembali dipertontonkan, Padahal pemerintah pusat melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) jauh-jauh hari sudah mengingatkan agar seluruh daerah dapat mengesahkan APBD 2018 selambat-lambatnya pada 30 November 2017. Ini sesuai dengan ketentuan Pasal 312 ayat (1) UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang menegaskan bahwa Kepala Daerah dan DPRD Wajib menyetujui bersama Rancangan Perda (Qanun) tentang APBD paling lambat 1 (satu) bulan sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun.

Hal ini diperkuat lagi dengan Surat Edaran (SE) Mendagri tanggal 7 November 2018 No.188.34/7941/SJ yang ditujukan kepada para Gubernur dan SE Mendagri No.188.34/8012/SJ kepada Ketua DPRD seluruh Indonesia tentang Percepatan Kesepakatan Bersama Rancangan KUA-PPAS dan Persetujuan Bersama Rancangan Perda (Qanun) APBD 2018. Namun melihat perkembangan mutakhir, pihak Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) dan DPRA seakan tak ambil peduli dengan tuntutan UU dan SE Mendagri tersebut.

Seperti diketahui, Banggar DPRA tidak membahas karena TAPA belum memberikan dokumen KUA PPAS perbaikan sebagaimana permintaan Banggar DPRA. Perlu perbaikan dokumen karena banyak usulan program dan kegiatan reses anggota DPRA belum dimasukkan ke dalam dokumen KUA dan PPAS 2018. Termasuk juga di dalamnya 15 program unggulan Gubernur.

Nah, inilah yang menjadi pangkal sehingga pengesahan APBA tertundah.

Sebagaimana dilansir media, DPRA tetap bertahan dengan sikap bahwa APBA harus disahkan melalui Qanun. Sebagaimana dikatakan Ketua DPRA, Tgk. Muharudin, hasil pertemuan dewan dengan Dirjen Keuangan Kementerian Dalam Negeri beberapa waktu lalu, sudah disepakti bahwa APBA 2018 dalam bentuk Qanun.

Sedang pihak pemerintah Aceh telah menyampaikan tenggat waktu pembahasan APBA 2018 adalah tanggal 4 Februari. Karenanya dia pihak Dewan diharapkannya untuk segera melakukan pengesahan.

Namun, Ketua DPRA Muharuddin menanggapi bahwa tenggat tersebut merupakan itu deadline versi TAPA (Tim Anggaran Pemerintah Aceh). "Kalau versi kita, RAPBA yang diserahkan ke DPRA tahun 2017 lalu itu belum sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Belum sesuai dengan mekanisme penyusunan anggaran itu sendiri," tandasnya.

Idealnya, kata Muharuddin, RAPBA diserahkan TAPA setelah ada persetujuan bersama antara Pemerintah Aceh dan Banggar mengenai Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA PPAS). Tapi dokumen KUA PPAS belum selesai, sudah disodorkan RAPBA.

Tidak dibahasnya oleh DPRA, karena SOP dijadikan pedoman bagi TAPA untuk membuat dokumen Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA PPAS) yang diajukan ke Banggar DPRA, tidak akomodatif. Karena banyak usulan masyarakat tidak bisa ditampung dalam RAPBA 2018. "Seharusnya dikasih tahu dulu DPRA sebelum penyerahan dokumen KUA dan PPAS 2018," ujarnya

Seperti diketahui, rapat Banggar dengan TAPA dilakukan pada Rabu (13/12), tidak membuahkan hasil yang konkrit. Kondisi itu terjadi karena TAPA belum memberikan dokumen KUA PPAS perbaikan sebagaimana permintaan Banggar DPRA.

Tim Banggar meminta perbaikan dokumen karena banyak usulan program dan kegiatan reses anggota DPRA belum dimasukkan ke dalam dokumen KUA dan PPAS 2018. Termasuk juga di dalamnya 15 program unggulan Gubernur. Karena itulah, begitu TAPA datang menyerahkan RKA RAPBA 2018, tim Banggar langsung menolaknya.

Selanjutnya, rapat Banggar DPRA distop karena banyak usulan program dan kegiatan reses anggota DPRA belum dimasukkan ke dalam dokumen KUA dan PPAS 2018.

Karenanya, Ketua DPRA itu mengaku pihaknya sudah melaporkan pada Dirjen Keuangan Kemendagri dan sepakat APBA dibahas bersama dan diputuskan melalui Qanun. "Apakah benar KUA PPAS belum kita sepakati lalu mereka menyerahkan R-APBA, ini juga sudah kita laporkan kepada Dirjen Keuangan Daerah," ujarnya.

DPRA juga memanggil Gubernur dan Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) hari ini, Senin (29/1/2018). Kedua pihak akan mendiskusikan kembali masalah RAPBA 2018. Pemanggilan tersebut sebagai tindak lanjut pertemuan DPRA dengan Dirjen Bina Keuangan Daerah Kemendagri di Jakarta pada Jumat (26/1/2018). Duduk bersama antara legislatif dan eksikutif itu, membahas rincian-rincian uang yang dirancang untuk dibelanjakan. Diharapkan juga bisa mengembalikan rasa kepercayaan masyarakat Aceh. 

Berikutnya, Gubernur melayangkan surat jawaban bahwa rancangan APBA yang berada di tangan DPRA tidak sesuai dengan Permendagri 13/2006, khususnya merujuk pada Pasal 87, tentang a. menentukan skala prioritas untuk urusan wajib dan urusan pilihan; b. menentukan urutan program untuk masing-masing urusan; dan c. menyusun plafon anggaran sementara untuk masing-masing program.

Namun rapat antara TAPA dengan DPRA untuk membahas kembali Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (R APBA) 2018, pada Senin (29/1)) yang langsung dipantau dialeksis.com, ternyata kembali ditunda karena Gubernur Irwandi Yusuf, tidak hadir.

Rapat akan dilanjutkan sampai Gubernur Aceh Irwandi Yusuh bisa hadir ke DPRA. "Rapat kita tunda dan kita lanjutkan sampai Gubernur Aceh mempunyai waktu untuk bisa hadir dalam ruangan Banggar DPRA," kata Ketua DPRA, Tgk Muharuddin saat melakukan jumpa pers usai menunda rapat, Senin (29/1).

Tgk Muharuddin tetap pada pendapatnya bahwa R-APBA yang diserahkan kepada DPRA oleh eksekutif belum sesuai dengan ketentuan serta mekanisme penyusunan anggaran yang berlaku. Idealnya R -APBA itu diberikan setelah mendapatkan persetujuan bersama terhadap Kebijakan Umum Anggaran dan Priorotas Platfon Anggaran Sementara (KUA PPAS) antara gubernur dengan DPRA, baru kemudian diserahkan, maka menjadi aneh disaat KUA PPAS belum disepakati langsung disodorkan R-APBA. 'Hari ini kita ingin mereka hadir untuk mengambil kebijakan," tambahnya

Sementara, Jubir Pemerintah Aceh, Suaful Abdul Gani, mengatakan pemerintah Aceh menyerahkan qanun RAPBA 2018 pada 4 Desember 2017 lalu, seharusnya tidak dikembalikan ke eksekutif dengan catatatn berbunyi, "diserahkan kepada kebijakan gubernur untuk selanjutnya".

Gubernur sendiri belum mengambil kebijakan karena menunggu kebijakan pembahasan. Tetap diambil dan diupayakan disahkan melalui qanun Aceh. Lalu, DPRA yang sudah mengundang TAPA (Tim Anggaran Pemerintah Aceh) untuk kembali membahas, dan pak Gubernur tidak bisa hadir, seharusnya tidak menjadi alasan. Sebab, sebenarnya Gubernur bisa diwakili, ada TAPA yang ditunjuk sebagai perpanjangan tangan gubernur untuk membahas RAPBA 2018 dengan DPRA.

Menurutnya, pihak TAPA sebagai tim yang ditunjuk gubernur dapat membahas dengan Banggar DPRA, bukan dtunda, dan menyerahkan kebijakan kepada gubernur untuk menindaklanjutinya.

Dijelaskan, saat ini pembahasan RAPBA dan bahkan seluruh Indonesia sudah ketat dan di-insert langsung ke KPK. Aceh juga salah satu fokus pengawasan KPK sejak tahun 2015 yang lalu.

Itulah kemudian Gubernur meminta usulan dewan berkait alokasi dana aspirasi dewan, harus diproses sesuai mekanisme dan aturan perundang-undangan. Namun, pihak dewan merasa kecewa dengan alasan, banyak aspirasi masyarakat tidak terakomodir.

Kekecewaan ini berbuntur dengan pengembalian dokumen RAPBA (KUA dan PPAS Aceh) yang diajukan TAPA TAPA (Tim Anggaran Pemerintah Aceh) yang diserahkan pada 31 Juli lalu.

Dokumen itu dikembalikan pada tanggal 4 Desember 2017, dan selama tiga bulan dokumen itu tidak dibahas. Padahal ketika pembahasan itu disepakati, bukan malah dikembalikan kepada eksekutif dengan alasan banyaknya usulan-usulan masyarakat yang belum terakomodir.

Sebenarnya, Pemerintah Aceh bukan tidak mengkomodir usulan dari DPRA itu, tapi kebanyak usulan tidak sesuai aturan SOP yang sudah ditetapkan oleh Undang-undang. Misal, bantuan bansos yang sudah ada regulasi yang mengaturnya.

SOP (Standard Operating Prosedure) yang diterbitkan oleh TAPA tidak dipublikasikan atau tidak disepakati dengan dewan, sebagaimana dipahami babwa SOP bukan alat untuk mengalahkan aturan-aturan yang sudah ada.

Selama ini dianggap ada benturan kepentingan, Padahal ini hanya sinkronisasi antara pembahasan dengan regulasi yang ada agar tidak berbenturan. Misalnya jalan yang diusulkan tidak diakomodir karena terkadang bukan status jalan Provinsi (tidak termasuk 81 ruas jalan provinsi). Begitu juga terkait tentang efektifitas dan efisiensi. Misalnya, pengadaan buku sudah ada diusulan sebelumnya harus ada dokumen yang harus dilengkapi, sehingga tidak langsung harus diakomodir.

Usulan lain berkait bantuan modal usaha yang tidak boleh atau tidak dibenarkan diperuntukkan perorangan, tetapi kepada kelompok atau lembaga. Jadi, bukan tidak diakomodir tapi itu sudah punya standar sendiri dan ketentuan yang sudah diatur dalam peraturan perundang-undangan.

Terkait SOP, itu hanya aturan main (instrumen kerja) yang sudah diatur dan alat kerja TAPA dalam melihat kriteria usulan masyarakat terutama bansos. Jadi, SOP itu bukan undang-undang baru, akan tetapi instrumen ini yang dipakai. Maka ada muncul tanda "merah" (tidak boleh) dan "hijau" boleh. Tanda "merah" bisa saja menjadi hijau kalau sudah dilengkapi dengan dokumen pendukung. Sebaliknya jika "hijau" ke merah berarti ada ketidak-sesuaian dengan SOP. Misalnya, bansos (bantuan social) untuk perorangan. Seharusnya kepada kelompok atau lembaga.   **

Keyword:


Editor :
HARIS M

riset-JSI
Komentar Anda