Menang Jadi Arang, Kalah Jadi Abu (bagian 4)
Font: Ukuran: - +
Kisruh antara DPRA dengan Pemerintah Aceh saban tahun telah menjadi citra daerah yang terkesan "buruk". Sayangnya jangan berubah jusru makin terperosok dalam lubang yang sama. Memalukan!
Cocok apa yang disatir Apa Karya seeperti dilansir Serambinews.com, "Menang Jadi Arang, Kalah Jadi Abu".
Ketika diminta memberikan pendapat berkait tolak-tariknya pembahasan APBA 2018, Zakarya Saman, tidak menjawab secara detail. Karena saat ini dia bukan lagi bagian dari Pemerintahan Aceh, baik eksikutif maupun legislative.
"Keupeu tajak komennyan, loen gubernur kon, anggota dewan pih kon. (Untuk apa kita komen, saya gubernur bukan, anggota dewan juga bukan)," kata tokoh eks Gerakan Aceh Merdeka (GAM) itu.Pesan singkat mantan Menteri Pertahanan GAM itu memiliki makna yang berpendar dan menukik. Seharusnya dapat diterjemahkan secara cerdas oleh pihak legislatif dan eksikuif dapat merenungkannya, sehingga masing-masing tidak "gagal paham" dan menelaah angaran untuk perbaikan nasib rakyat Aceh itu.
Masing-masing pihak mampu memahami posisinya dan mau melecut diri untuk berubah. DRPA selaku yang mewakili rakyat mestinya bertindak untuk menilai secara cermat dan objektif, apakah harga dan peruntukan yang telah direncanakan oleh pihak Pemerintah Aceh (Eksekutif) itu sudah tepat dan sesuai? Jika tepat dan sesuai, luluskan pendanaannya. Jika tidak, coret dan jangan danai kegiatannya.Seharusnya dihindari terjadinya benturan kepentingan atau konflik saat melakukan penilaian tersebut. Ini yang belum disadari. Apalagi adanya isu setiap pembahasan anggarann selalu saja ada kepentingan para "penumpang gelap" yang menitipkan proyek pada APBA. Para pemburu rente atau pencari keuntungan dari proyek proyek APBA telah menjadi momok menakutkan dan tekah berakibat kerugian secara langsung kepada masyarakat.
Kesadaran pihak eksikutif dan legislative yang penting digugah saat ini. Sehingga mereka tidak gagal paham dalam menelaah fungsi dan tanggungjawabnya kepada rakyat. Bila dianalogikan dengan dunia muge, pihak Legislatif adalah pihak pembeli terhadap harga-harga yang ditawarkan oleh Eksekutif (Gubernur/SKPA).DPRA bukan justru jadi pedagang yang menjual proyek/ kegiatan kepada Gubernur/SKPA. DPRA juga bukan pihak yang berperan sebagai Agen/Perantara antara Pemerintah Aceh dan Rakyat Aceh. Bila posisi DPRA telah berubah (maaf) menjadi "agen", maka di sinilah punca masalahnya. Tentu, tanpa niat memburukkan profesi Agen, peran yang model begini biasanya lebih terjurus pada meraup kepentingan pribadi.
Demikian pula dengan tanggung-jawab Eksekutif (Gubernur dan perangkatnya). Eksekutif harus membuat kebijakan anggaran yang memuat kondisi kekinian yang sesuai dengan kebutuhan rakyat dan pembangunan Aceh. Karenanya, dalam meramu kebijakan umum anggaran, dihindari kebiasaan melakukan "copy and paste", agar tidak terjadi pengelabuan situasi dinamika yang terjadi. Peran pihak Perencana program/proyek yang dipelopori Bappeda (juga bidang/bagian penyusunan program di SKPA lain), dalam hal ini sangat strategis dan menjadi penentu. Usahakan agar program/proyek yang akan dibiayai benar-benar yang menjadi prioritas daerah. Hindari memunculkan proyek/kegiatan yang sifatnya konsumtif, mubazir, atau sia-sia.Menjadi ironis, karena yang diperdebatkan sama sekali tidak menyentu hal-hal berkait kepentingan rakyat itu. Justru memperdebatkan soal yang remeh-temeh. Rakyat menjadi gerah. Seperti diakui anggota dewan Bardan Sahidi, masing masing pihak habis energy berdebat dan saling menyalahkan angka-angka yang terdapat pada RAPBA yang sedang dalam pembahasan padahal ketika KUA dibuat ada pembicaraan antara anggota komisi dengan perangkat SKPA.
Nah, jika kedua pihak ini (Eksekutif dan Legislatif) mau menyadari kedudukannya masing-masing, tentu tidak akan ada hal yang mengganggu, sehingga pengesahan RAPBA saban tahun selalu jadi "pembasahan" di arena media publik.Bardan Sahidi menyayangkan keterlambatan pembahasan oleh Banggar DPRA itu. Dampaknya terkendalanya banyak program kepentingan rakyat yang dibiayai dari dana Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) tersebut. Seharusnya pihak legislatif dan ekskutif harus ambil sikap.
Dalam sebulan terakhir ini, anggota DPRA fraksi PKS itu, biaya untuk rumah sakit seperti makan-minum pasien yang menjalani rawat inap di rumah sakit; biaya makan minum anak-anak yatim di panti-panti asuha, sudah habis, dan tidak bisa dikompromikan.
Begitu juga dana alokasi untuk tenaga pegawai honorer yang bergantung dari APBA, baik profesi guru, tenaga kesehatan dan tenaga administrasi lain. "Semua menggantungkan harapan pada penerapan APBA," imbuhnya.
Masing-masing pihak harus menjadikan kepentingan rakyat yang lebih mendesak. Karena hajat hidup rakyat Aceh bergantung dari APBA. Maka keberpihakan kepada rakyat merupakan keniscayaan. Itu sebabnya, dalam menentukan haruslah menghitung sumber pendapatan dan belanja.Urutan prioritas dalam menentukan pendapatan dan belanja itu penting. "Kalau keinginan kita tidak terbatas, tapi kemampuan saja yang membatasi kita. Makanya perlu menentukan urutan prioritas pendapatan dan belanja," papar Bardan Sahidi.
Perlu menentukan skala prioritas karena saat ini, dari sumber Pendapatan Asli Daerah (PAD) tidak berharap banyak. Satu-satunya harapan dari dana bagi hasil, migas, dana Opsus dan Dana Alokasi Umum (DAU). Dana itu tidak bisa diutak-atik karena sudah punya patron untuk peruntukannya, seperti untuk pendidikan, kesehatan, syariat Islam, dan infrastruktur.Program itu seharusnya itu sudah dilaksanakan tidak perlu berlama-lama karena jelas patronnya. Namun dalam penyusunan dokumen anggaran 2018 lemah juga akibat pengaruh kinerja dinas-dinas teknis jajaran pemerintahan Aceh.
Belum berpihaknya kepada rakyat dan tidak jalannya program, terutama melalui dinas-dinas terkait, sebagai pengaruh dari pejabat SKPA yang saat ini galau dan ragu. "Ragu, kalua nanti saya susun, apakah saya akan terpilih lagi atau tidak," imbuh Bardan seraya menambahkan karena hasil uji fit and propertis yang baru baru ini dilakuklan, tak kunjung diumumkan.Pembahasan APBA merupakan tahapan akhir dari rangkaian kegiatan perencanaan tahunan yang meliputi penyusunan rencana kegiatan pembangunan daerah (RKPD) berisi program, pembahasan, kesepakatan dan penandatanganan KUA dan PPAS. Selanjutnya pembahasan Raperda APBA dan persetujuan nota keuangan dan Perda APBA.
Sharing strategi penyusunan APBA yang diakukan oleh Banggar DPRA agar didapat hasil efektif atau sesuai dengan alokasi anggaran sesuai dengan dokumen perencanaan, dan pelaksanaan APBA mencapai target kinerja pembangunan yang sesuai yang juga sesuai dengan dokumen perencanaan RPJM sebagai kinerja makro, dan RKPA sebagai indikator kinerja makro.Tidak tercapainya kesepakatan antarpihak (legislatif dengan eksikutif) karena tidak terakomodasinya usulan program dan kegiatan masing-masing pihak dengan besaran anggaran tertentu dalam pembahasan sebelumnya.
Mungkin identik dengan apa yang disebut Otto Syamsuddin, sebagai "politik bagi tumpok" sehingga APBA seperti lomba tarik tambang—satu ujung dipegang DPRA, di ujung lainnya ditarik oleh Gubernur. "Persis sebuah gelanggang tarik-menarik kekuasaan. Tragisnya, kekuatan mereka masih seimbang, sehingga belum ada pihak yang menang. Publik pun terus menonton, dengan tangan menekan perutya masing-masing karena sudah mulai lapar," ketus Otto (opini, dialeksis.com, 26 Januari 2018).Informasi yang sampai ke public, belum ada titik temu antara DPRA dan Gubernur, anyalah perihal yang bersifat teknis, tarik tambang politik anggaran. Masing-masing jaga tumpok. Pihak DPRA, jaga tumpok aspirasinya. Pihak Gubernur, jaga tumpok pembelian pesawat. Suara mereka tentang kebijakan pembangunan untuk kesejahteraan tidak terdengar oleh publik. Seakan mereka membisu untuk membincangkan bagaimana strategi untuk mengatasi kemiskinan.
Dalam bahasa Permendagri, publik bisa bertanya: Apakah skala prioritas untuk pembangunan tahun ini? Apakah DPRA dan Gubernur sudah mempertimbangkan skala prioritas program pembangunan untuk kesejahteraan rakyat? Apakah penyusunan platfon anggaran untuk masing-masing program sudah mempertimbangkan untuk mengatasi ketidaksejahteraan rakyat?Masing-masing duduk di kursi politiknya sendiri. Mereka bukan duduk bersama seperti sebuah panitia mak meugang yang duduk di meunasah untuk membahas bagaimana caranya membagi besaran tumpok agar semua warga mendapatkan tumpok mak meugang, sekalipun lembunya semakin besar. "Itu semua, sungguh merupakan sebuah gelanggang politik -yang mempertunjukkan bahwa politik anggaran adalah politek tumpok-- yang sama sekali tidak keacehan," pungkas Otto. ***