kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Mendaur Ulang Eksistensi Perempuan Aceh (Bagian 3)

Mendaur Ulang Eksistensi Perempuan Aceh (Bagian 3)

Senin, 12 Maret 2018 15:07 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Ampuh Devayan
Ilustrasi. (Ist)

DIALEKSIS.COM | Keterlibatan perempuan Aceh dalam ranah publik itu bukan suatu yang asing dan baru. Bukti sejarah menyebutkan, ketika perempuan milenium Indonesia masih berjuang menegakkan kesamaan haknya – yang terinspirasi oleh "gerutuan" R.A. Kartini, tujuh abad lalu para perempuan Aceh telah menikmati hak-haknya sebagai manusia yang setara tanpa perdebatan.

Sejak dulu perempuan Aceh dikenal gigih berjuang mempertahankan harkat dan martabat bangsanya dari tangan penjajah. Sebut saja ada Pahlawan Nasional, Cut Nyak Dhien, Cut Mutia, Laksamana Malahayati dan sederet tokoh pejuang lainnya.

Mereka perempuan-perempuan perkasa karena perjuangan heroiknya melawan Balanda. Di antaranya, sudah difilmkan adalah Cut Nyak Dhien yang diperankan artis Christine Hakim. Hal yang mengagumkan Kerajaan Aceh pada masa kejayaannya juga pernah dipimpin empat ratu.

Jauh sebelum isu emansipasi dikembangkan, perempuan Aceh sangat menentukan perjalanan bangsanya, baik pada masa prakolonial maupun setelah Aceh menjadi bagian dari Indonesia. Mereka menjadi panglima, memimpin ribuan laskar di hutan dan di gunung-gunung. Bahkan ada laskar wanita yang disebut Inong Bale.

Mereka ini para janda yang menuntut kematian suaminya. Para perempuan Aceh berani meminta cerai dari suaminya bila suaminya berpaling muka kepada Belanda. Kaum pria Aceh pun bersikap sportif. Mereka dengan lapang hati memberikan sebuah jabatan tertinggi dan rela pula menjadi anak buahnya. Di antaranya mereka yang amat dikenal bahkan melegenda, seperti Cut Nyak Dhien, Laksamana Kumalahayati, dan sebagainya.

Belum banyak referensi mengenai perempuan Aceh di masa prakolonial, kecuali secara terfragmentasi dan ditulis dalam setting sosial Aceh menjelang kedatangan Belanda. Namun demikian, terdapat literatur yang khusus mendedikasikan dirinya pada bahasan tentang peran perempuan pada masa prakolonial.

Anthony Reid menunjukkan peran perempuan di Asia Tenggara, salah satunya Aceh yang menjadi gudang pejuang perempuan di Nusantara. Reid juga memperlihatkan variasi situasi perempuan di masa itu dalam beberapa lokus sosial –perkawinan, perdagangan, diplomasi, pejuang, dan penguasa. Kesetaraan perempuan dan laki-laki dalam konteks arena yang memungkinkan keduanya bersaing secara langsung.

Menurut Reid, di masa prakolonial, relasi antarseks dimanifestasikan dalam konsep hubungan saling melengkapi antara laki-laki dan perempuan, terutama dalam praktik ekonomi. Praktik ekonomi yang dimaksud termasuk memanen padi, menenun, dan berjualan. Perempuan Aceh di abad ke-16 dan ke-17 digambarkan memiliki otonomi, bahkan mampu menjalankan dua peran sekaligus, misalnya sebagai perempuan politisi/ibu atau pedagang/ibu.

Hal ini ditemukan dalam berbagai peran ekonomi, sosial, dan politik yang dijalankan oleh perempuan dalam posisi mereka di keluarga dan masyarakat yang lebih luas. Situasi masyarakat prakolonial saat itu telah mengenal mobilitas ekonomi melalui jalur pelayaran antarkawasan di Asia Tenggara.

Reid (1988) lebih lanjut mengatakan: "the women who occupied the thrones of Aceh, Jambi, and Indragiri in the seventeenth century similarly traded and speculated at least as vigorously as their male counterparts." (Pada abad ke-17 para perempuan yang berdiam di Aceh, Jambi, dan Indragiri, juga melakukan perdagangan dan spekulasi yang sama hebatnya dengan para prianya).

Terdapat catatan bahwa perempuan Aceh di masa prakolonial juga aktif melakukan transaksi ekspor timah dengan orang Belanda yang datang ke Aceh. Bagaimana dengan perempuan dalam politik kekuasaan di masa Iskandar Muda? Menurut Reid, situasi seperti di Aceh ditemukan juga di Pattani, sebelah selatan Thailand, di mana dari empat perempuan yang berkuasa, dan hanya penguasa perempuan pertama berasal dari keturunan yang memiliki kualifikasi sebagai ratu.

Di Aceh, empat ratu yang memerintah berturut-turut pada tahun 1641-1699 berada dalam situasi penurunan kekuatan militer dan pengaruh politik setelah turunnya Iskandar Muda (1607-1636). Meski demikian, Aceh tetap merupakan pelabuhan yang merdeka dan penting di kawasan perairan Asia Tenggara di masa itu.

Satu hal yang penting disebutkan oleh Reid –William Marsden juga mencatat hal ini dalam kronik perjalanannya ke Aceh – pemerintahan di bawah perempuan adalah cara baru dari sebuah pemerintahan aristokrat yang berorientasi perdagangan. Hal tersebut dilakukan untuk membatasi kecenderungan despotis dari para raja terdahulu, dan mengakibatkan wilayah negara aman untuk perdagangan internasional (Reid, 1979: 408-12).

Jadi, representasi perempuan penguasa sekaligus pedagang, menurut kesimpulan para saudagar di masa itu adalah sosok yang adil. Hal ini direkam oleh Ar Raniri, penasihat Sultan Aceh, di masa pemerintahan Shafiatuddin Shah. Saat itu keadaan ibukota sangat ramai, makmur, makanan harganya murah, dan setiap orang hidup dengan damai. Bahkan pencurian diganjar dengan setimpal di bawah pemerintahan ratu, dan hak-hak milik dihormati. Orang-orang kaya merasa bisa memerintah bersama-sama dengan ratu secara merdeka dan berdaulat.

Mungkin penting untuk diketahui bahwa Anthony Reid, Snouck Hurgronje, dan William Marsden –dalam posisi politik yang berbeda– telah mencatat kondisi sosiologis Aceh, serta mendeskripsikan beberapa fragmen perempuan Aceh terkait dengan struktur sosial di masa itu.

Snouck mendapatkan beberapa kisah tentang perempuan melalui kumpulan cerita lisan rakyat (folk) yang sering disebut haba jameun yang berisi kumpulan hikayat, pepatah, atau hadih maja. Dari laporan etnografi Snouck tersebut diketahui struktur sosial masyarakat Aceh yang berbasis pada territorial genealogi di gampong. Struktur sosial tersebut mengutamakan identitas perempuan Aceh sebagai ibu, dan memperlihatkan pola pembagian kerja seksual dengan siklus peran perempuan sejak perkawinan, kelahiran, mengasuh, membesarkan anak-anak, dan kematian.

William Marsden, etnolinguis Inggris menulis tentang ‘Achin’ yang dikategorikannya sebagai orang Melayu di abad ke-16. Meskipun di satu sisi ia menggambarkan orang Achin sebagai "orang purba sebelum kedatangan Portugis," di sisi lain ia uraikan secara detil bagaimana setting sosial di tahun 1635 –menjelang meninggalnya Sultan Iskandar Muda– sebuah era baru dimana kekuasaan Achin berada di tangan perempuan.

Di masa ini dalam konteks negara yang selalu siaga dari serangan kekuatan luar, sudah menjadi hal umum jika Sultan dilengkapi dengan ratusan atau ribuan pengawal, baik sebagai pengawal kerajaan maupun pengawal pribadi sultan. Mengutip pengamatan Jendral Perancis, Beaulieu, dikisahkan bagaimana kekayaan Iskandar Muda yang memiliki tiga ribu perempuan sebagai pengawal bagian dalam istana.

Penguasa Achin setelah Iskandar Muda yang naik takhta tahun 1641 adalah seorang perempuan, Taju Al-Alum (ejaan ala Marsden). Ia naik tahta setelah Mughayat Shah meninggal dunia. Marsden memperlihatkan reaksi orang-orang berpengaruh di istana terhadap pemerintahan di bawah ratu yang mencerminkan persepsi kaum elit tentang penguasa perempuan.

Hal tersebut senanda dengan apa yang dikatakan Reid mengenai impresi mereka terhadap gaya pemerintahan ratu. Tetapi Marsden melihat, meskipun ratu memerintah ia tidak mempunyai otoritas, sebab negara mempunyai sistem kekuasaan oligarkis. Sebuah sistem kekuasaan dimana aspek ekonomi negara ditangani oleh twelveorang kayas, empat dari mereka lebih superior dari yang lain, dan di antara keempatnya terdapat maharaja/chief/ ‘gubernur dari sebuah kerajaan.’ Mungkin dalam hal ini yang dimaksudkan oleh Marsden adalah uleebalang.


Meskipun demikian, tampaknya orang kaya bukan saja cenderung ‘tentram’ dengan pola pemerintahan ratu yang tenang tetapi tegas, namun juga karena penampilannya yang businesslike. Di masa Ratu Shafiatuddin, ‘gangguan’ armada Belanda mulai menguasai sebagian jalur perdagangan di Selat Malaka, dan Achin tidak aktif dalam politik luar negeri.

Mundurnya ratu terakhir, Kemalat Shah, di tahun 1699 yang memerintah selama 11 tahun dari takhta, disebabkan oleh fatwa ulama yang tidak setuju terhadap pemimpin perempuan. Bisa dikatakan, gambaran Marsden cukup lengkap melihat potret pimpinan perempuan dalam konteks sosial Aceh yang saat itu dilanda kompetisi politik dan perdagangan internasional. Episode sejarah Aceh yang mengakui kekuasaan perempuan di satu sisi mencerminkan kenyataan tentang otonomi perempuan Aceh dalam ruang kekuasaan.

Masuknya Islam membawa pengaruh besar dalam praktik sosial termasuk hukum perkawinan, perceraian, dan waris. Demikian juga dengan pembagian peran sosial di ranah publik dan privat, antara laki-laki dan perempuan Aceh yang bersumber dari interpretasi ajaran Islam. Kondisi di atas berkembang semakin kompleks, seiring dengan perkembangan zaman, pengetahuan, pola migrasi, dan bertumbuhnya aktivitas ekonomi masyarakat yang mengubah tatanan dan praktik-praktik sosial.

Pasca perang kemerdekaan setelah Aceh menjadi bagian dari Indonesia, di masa pemerintahan Sukarno identitas Aceh diakomodasi dalam bentuk status Daerah Istimewa –keistimewaan menjalankan Syariat Islam– namun berbeda dengan kerajaan Islam, Aceh Darussalam. Sukarno memberikan kompensasi Daerah Istimewa untuk ‘membeli’ loyalitas Daud Beureueuh beserta pasukannya.

Namun di masa selanjutnya, setting negara Orde Baru yang menitikberatkan pada kontrol politik melalui apparat militer untuk menstabilkan proyek pembangunan. Orde baru terus menerus ‘menjinakkan’ potensi kritisisme Aceh melalui kooptasi terhadap elit-elit lokal (agama, birokrasi), serta ‘memfasilitasi’ Aceh dalam pengiriman mahasiswa-mahasiswa ke Jawa untuk ‘menjadi’ Indonesia.

Muncullah lapisan elit baru Aceh yang sangat berbeda dengan generasi terdahulunya, di mana, mereka cenderung dekat dengan kekuasaan. Wibawa kaum ulama mulai berkurang. Formalisasi peran ulama di Aceh dimulai dengan pendirian MPU dengan otoritas tertinggi dalam urusan keagamaan, namun tetap dalam bingkai kontrol Jakarta. Ulama-ulama dayah ‘pinggiran’ tidak mendapat tempat, sekolah-sekolah dayah pun tertinggal. Praktik adat yang mencerminkan demokrasi asli semakin punah, sumberdaya ekonomi dibajak besar-besaran untuk kepentingan investasi asing dengan patronase politik dari Jakarta melalui kepanjangan tangan politisi lokal Aceh.

Membaca sejarah adalah membaca representasi. Representasi ulang identitas perempuan Aceh terus berlanjut.  Dengan merujuk sejarah Aceh, bahwa telah banyak memunculkan perempuan yang berkiprah dalam dua ranah sekaligus baik domestik maupun dalam ranah publik, seperti pemimpin perempuan (Sulthanah)— di mana kedudukan mereka saat itu memiliki karisma dan supremasi yang sangat membanggakan.

Keberadaan mereka telah memberi andil besar bagi kemajuan Aceh hampir di segala bidang. Dalam fase sejarah berikutnya Aceh juga telah banyak melahirkan para pejuang perempuan yang dengan gigih dan berhati baja melawan berbagai macam bentuk penindasan terutama kaum imperialis. Antaranya, laksamana Malahayati, Cut Nyak Dien, Cut Meutia. Hakikatnya mereka merupakan sosok penting dalam percaturan dinamika pembangunan di Aceh baik masa penjajahan maupun setelah kemerdekaan Republik Indonesia.


Jalan ke masa depan

Fakta sejarah Aceh pernah mengalami masa kejayaan dalam kepempinan kaum perempuan. Mulai kepemimpinan seorang panglima perang di darat, laksamana di laut, sampai kepada kesultanan di bawah kendali ratu (sultanah). Fakta sejarah ini adalah modal bagi Aceh yang dapat dibaca sebagai kesetaraan laki-laki dan perempuan bukanlah sesuatu hal yang patut menjadi sumber kegaduhan.

Tentu, realitas hari ini tentu tidak serupa dengan apa yang telah berlaku di masa lalu. Namun suatu pembelajaran, bahwa bagi Aceh keterlibatan perempuan dalam ranah publik bukan suatu hal baru. Pelajaran kesetaraan inilah mestinya mendapatkan posisinya yang berimbang untuk dikemukakan kembali pada zaman kini. Inilah tantangan. Tantangan bagi perempuan dan laki-laki!

Belajar dari sejarah itu, maka perempuan Aceh sekarang juga harus tampil berperan dalam ranah yang lebih luas untuk membangun Aceh yang lebih baik terutama dalam bidang politik, agama, ekonomi, pendidikan, sosial kemasyarakatan dan lainnya. Tentunya dengan satu tujuan menjunjung tinggi harkat martabat rakyat Aceh yang berkeadilan dan islami.

Secara hukum Islam, Undang-undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006, dan kultur telah memberi peluang kepada perempuan Aceh untuk berkedudukan sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai sisi pembangunan. Dalam artikel singkat ini saya akan menjelaskan tiga landasan bagi perempuan Aceh untuk kembali memposisikan dirinya dalam berperan dan beraktivitas di ranah publik.

Bila masih ada anggapan yang sudah mengkultur seperti "setinggi-tinggi pendidikan perempuan, toh akhirnya kembali ke dapur juga" belum sepenuhnya hilang, sebenarnya itu sarat dengan makna gender---karena mengecap pendidikan bagi perempuan dan memprakteknya seluas-luasnya dalam masyarakat adalah kiprahnya dalam ranah publik dan "kembali ke dapur" merupakan kiprahnya dalam ranah domestik.

Ajaran Islam secara luas menjelaskan kedudukan kaum perempuan. Di antanya ditegaskan dengan firman Allah swt dalam surat At-taubah ayat 71: "Orang-orang yang beriman laki-laki dan perempuan sebagian mereka menjadi penolong kepada sebagian yang lain, menyuruh yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mematuhi Allah dan Rasulnya."

Dalam ayat ini Allah menyebutkan ciri-ciri orang yang beriman lelaki dan perempuan, yaitu melakukan amar ma’ruf nahi mungkar. Dalam ayat yang lain Allah menjelaskan sifat-sifat orang munafik, lelaki dan perempuan, Surat At-taubah ayat 67  :"Orang-orang Munafik laki-laki dan perempuan antara satu dengan lainnya adalah sama. Mereka menyeru yang mungkar dan melarang dari yang ma’ruf."

Penjelasan tersebut telah mematahkan anggapan kalangan barat pada masa ini yang begitu lihai dalam menghembuskan isu tentang perempuan. Mereka dengan berang menuduh Islam dengan klaim yang tidak benar.   Misal, bahwa Islam telah memenjarakan perempuan dan menghambat potensi dan bakat mereka.

Dalam modernisasi dengan arus globalisasi yang semakin tajam, menuntut semua kita (laki-laki dan perempuan) untuk bahu membahu, saling bantu membantu dalam melakukan tugas apapun. Dalam hal ini kaum perempuan diberi tugas dan beban syariah serupa dengan kaum laki-laki. Mereka ditugaskan untuk beribadah kepada Allah swt, melaksanakan kewajiban-kewajiban yang ditentukan Allah, tidak melampaui batas peraturan yang telah ditetapkan Allah dan menyeru manusia untuk mematuhi perintah Allah.

Islam juga mengatur tugas pembentukan dan pengaturan masyarakat secara bersama-sama, saling bantu membantu kepada kaum lelaki dan perempuan untuk membina dan memperbaiki kehidupan masyarakat baik politik, keagamaan, ekonomi, maupun pendidikan. Pada zaman Nabi Muhammad saw, kaum perempuan telah menunjukan status mereka yang mulia. Malah orang pertama yang menyatakan keimanannya kepada Nabi saw, dan bertekad mendukung perjuangannya ialah seorang perempuan bernama Sayyidah Khadijah.

Bagi perempuan Aceh, sejak Undang-undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006 disahkan, secara formal keberadaan peran dan fungsi perempuan sangat besar. Setidaknya dalam 4 bidang utama. Pertama: Politik, pasal 75 UUPA menyatakan pendirian dan pembentukan partai politik lokal (parlok) keharusan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurangnya 30 persen dan yang lebih penting Pasal 75 (5) UUPA keterlibatan mereka dalam pengurus parlok minimal 30 %. Kedua: Keulamaan, pasal 138 UUPA. Ketiga: Ekonomi, pasal 154 (3) UUPA. Keempat: Pendidikan, dalam pasal 215 (2) disebutkan bahwa pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen masyarakat termasuk kelompok perempuan melalui peran serta dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengendalian mutu layanan.

Berdasarkan UUPA tersebut keberhasilan pembangunan baik politik, agama, ekonomi, pendidikan maupun sosial kemasyarakatan tidak bisa terlepas dari keikutsertaan kaum laki-laki dan perempuan. Namun realita menjelaskan bahwa keterlibatan laki-laki dalam pembangunan jauh lebih besar daripada perempuan. Padahal dari segi Sumber Daya Manusianya, laki-laki kadang-kadang bisa terkalahkan dari perempuan.

Indikasi ini lebih disebabkan oleh kurang maksimalnya kesempatan yang diberikan kepada perempuan untuk berkarya atau untuk memperoleh pendidikan yang lebih tinggi. Sebagaimana amanah Undang-undang untuk memartbatkan kembali perempuan Aceh maka perempuan Aceh mesti diberikan peluang yang lebih maksimal untuk berkreasi dan berkarya dalam rangka memajukan pembangunan Aceh yang bermartabat.

Tidak ditemukan adat Aceh yang membelenggu hak-hak perempuan. Permasalahannya sekarang adalah hilangnya semangat dan keberanian dalam jiwa perempuan Aceh. Dalam kultur kekeluargaan Aceh khususnya ada sebuah peluang untuk perempuan dalam berkreasi, karena budaya lokal kita masih menganut sistem parental artinya garis keturunan tidak hanya ditarik dari ayah juga sekaligus dari pihak ibu.

Dengan sistem kekeluargaan seperti itu yang berlaku di Aceh, memberikan sebuah peluang besar untuk diapreasiasikan oleh inong Aceh dalam berkiprah dalam segala segi kehidupan pembangunan Aceh yang bermartabat. Di samping itu dalam tugas ke rumah tangga, bukanlah kewajiban istri semata-mata karena perkawinan. Tugas tersebut adalah bagian dari pembagian kerja antara suami istri, sehingga mereka mempunyai saham dalam hareuta seuhareukat, harta yang diperoleh selama perkawinan. Kerana itu sekiranya mereka berpisah, baik karena perceraian atau kematian, maka harta itu akan dibagi dua.

Dalam kegiatan dan tugas-tugas publik (aktivitas di luar rumah) , adat Aceh relatif memberi status dan kedudukan kepada perempuan untuk berkiprah secara penuh, tidak ada larangan dan pembatasan.

Para perempuan Aceh pernah menjadi sultan—fase berikutnya muncul Cut Nyak Dhien berjuang tanpa pembatasan kultur lokal, dan pada tahap selanjutnya muncul di Aceh perempuan menjadi tabib, guru, pedagang adalah hal biasa, malah mereka sangat dihargai tidak ada yang meleceh dan merendahkan mereka.

Artinya, setelah hukum Islam, UU-PA dan Kultur local telah menjadi landasan atas peluang besar bagi perempuan Aceh untuk beraktivitas dalam ranah yang lebih luas. Tinggal lagi keberanian dan tekad yang mesti dimiliki perempuan Aceh. Tekad dan keberanian perempuan Aceh harus jadi teladan dan mewarnai pentas politik perempuan Indonesia. (Sekian)

Keyword:


Editor :
Sammy

riset-JSI
Komentar Anda