Mengusut Tabir Gelap Aliran Dana 108 M
Font: Ukuran: - +
Reporter : Im Dalisah
DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Dalam dua hari terakhir, publik Aceh digegerkan dengan informasi r tentang pencairan kredit yang diperoleh seorang pengusaha berinisial M, dari sebuah lembaga keuangan ber plat merah, Bank Aceh.
Pengusaha yang disebut-sebut 'dekat' dengan penguasa ini mendapat pembiayaan sebesar Rp 108 milyar, sebuah angka yang begitu fantastis, bahkan dianggap diluar batas kewajaran oleh sebagian pihak.
Rumor tersebut terus menggelinding bak bola salju, bahkan kian membesar menjadi fakta yang tidak terbantahkan setelah pihak Polda Aceh mengkonfirmasi telah 'mencium' adanya aroma 'tidak sedap' pada perkara itu.
"Statusnya masih dalam penyelidikan," terang Kabid Humas Polda Aceh AKBP Ery Apriyono kepada Dialeksis.com, Jumat, (13/3/2020) siang.
Jawaban singkat salah satu penjabat teras Polda Aceh itu dikuatkan oleh Bank Aceh melalui humas nya Muslim, Jumat, (13/3/2020) malam.
"Sebenarnya tidak sebesar itu. Itu kan sudah setahun dua tahun yang lalu. Setau saya di Bank Aceh belum ada kredit di atas 100 milyar ke atas. Apa mungkin ada beberapa rekening, saya belum cek sampai disana. Memang kreditnya pembiayaan istilahnya, bukan kredit lagi. Angsuranya pun masih lancar, sudah setahun lebih, belum ada masalah," jelas Muslim.
Walaupun Muslim tidak mengakui bahwa kredit itu bermasalah dan nilainya tidak sebesar seperti yang mencuat ke permukaan selama ini, namun secara ekplisit penjelasannya telah menyiratkan adanya 'masalah' pada persoalan itu. Apalagi bahkan beberapa petinggi bank Aceh dan pihak yang terlibat pada proses pencairan kredit tersebut telah dipanggil pihak kepolisian untuk dimintakan keterangannya.
"Kalau penyidikan saya belum tau sampai dimana prosesnya, artinya kemarin kita memang sudah dipanggil untuk diminta keterangan. Dan keterangan kita semua normatif, sesuai prosedur," tutur Muslim.
Ketika disinggung mengenai agunan (jaminan) kredit yang disinyalir bermasalah, Muslim menegaskan pihak Bank Aceh telah menggunakan syarat dan ketentuan yang sudah sesuai prosedur pengajuan kredit.
"Sudah sesuai standar (agunan). Kalau lihat pabrik saat ini, sudah lebih malah kalau dilihat hari ini. Kalaupun bermasalah bisa diklarifikasi lagi. Sesuai prosedur menurut internal bank," tegas dia.
Siklus Ekonomi Aceh Bisa Terganggu
Kasus yang sedang hangat-hangatnya dan dibicarakan hampir disetiap sudut warung kopi. membuat pengamat ekonomi Aceh Rustam Effendi angkat bicara. Menurutnya, pembiayaan dan kredit yang diberikan kepada seorang nasabah merupakan sesuatu yang wajar.
Karena, hal tersebut merupakan salah satu strategi pihak bank untuk mendapatkan pendapatan alias keuntungan. Namun, Rustam tetap mengingatkan prosedur pengajuan permohonan kredit harus sesuai dengan ketentuan dan memenuhi unsur-unsur persyaratan lainnya.
"Tentunya ini harus dilakukan secara objektif, apalagi angkanya yang begitu besar. Karena kalau itu salah nanti, pertama dia (Bank Aceh) tentu tidak mengikuti sistim lembaga keuangan yang ada. Karena lembaga keuangan ini kan sangat ketat aturannya. Ini kan ada ketentuannya, nah, ini yang jangan sampai dilanggar," jelas Rustam kepada Dialeksis.com, Jumat, (13/3/2020) sore.
Pun demikian, dia tetap memberi warning kepada Bank Aceh agar bersikap profesional terhadap siapapun yang menggunakan jasa layanannya. Dia berharap Bank Aceh juga memikirkan pelaku ekonomi lainnya dan menghindari perilaku nepotisme.
"Masalahnya Aceh juga butuh uang sebanyak itu yang justru juga kita pikirkan yang lain. Jangan sebab beliau dekat dengan penguasa, sehingga dibantu tanpa memikirkan yang lain. Jangan sampai Bank Aceh itu jadi bank 'kampungan', bank yang penuh dengan unsur politis. Jadi gak sehat kalau seperti itu," tandas Rustam.
Dia menjelaskan, sebagai bank yang sebagian besar sahamnya dimiliki pemerintah daerah mempunyai tanggung jawab besar untuk membangun ekonomi masyarakat Aceh. Salah satu unsurnya, kata dia, adalah azas 'pemerataan' dimana banyak pelaku ekonomi mikro yang harus diperhatikan, bukan hanya terpaku pada pengusaha besar.
"Direksi dan dewan pengawas Bank Aceh jangan sampai ketakutan berhadapan dengan pemegang saham. Mentang-mentang misalnya saya dekat dengan Gubernur, atau Sekda, lalu saya tidak penuhi itu, itu jangan. Bagaimana Bank Aceh itu harus benar-benar profesional, jangan sampai ada unsur politis dan taat azas. Kalau ini jadi temuan, dan menggangu proses ini, dan ini akan mengancam kredibilitas dan kepercayaan publik," terang Rustam.
Dia menyebutkan, sentralisasi pendanaan dalam jumlah besar yang diperuntukkan bagi pengusaha kelas kakap sangat mengganggu distribusi dan perputaran ekonomi di Aceh.
"Pasti sangat mengganggu. Kita umpamakan dengan dengan dana sebanyak itu membuka kebun sawit, coba bandingkan dengan angka sebesar itu kita tumbuhkan yang kecil-kecil, berapa banyak pengusaha yang dapat kita bantu sehingga jika secara akumulatif bisa memacu ekonomi Aceh menjadi lebih bagus, apalagi saat ini akses modal masih sangat sulit bagi pengusaha mikro," katanya.
Dalam amatannya, masih banyak ditemui pihak-pihak lain yang mencoba mengambil keuntungan dari situasi sulitnya akses modal bagi pengusaha mikro.
"Saya ke lokasi dan pasar-pasar, masih ada 'bank 47', calo-calo dan tengkulak yang memberikan pinjaman dengan bunga yang sangat tinggi kepada pedagang kecil," imbuh dia.
Rustam menekankan semangat 'menggenjot' perekonomian masyarakat harus dimiliki oleh Bank Aceh. Menurutnya, penekanan ini menjadi sebuah hal yang wajar mengingat saham yang ada di Bank Aceh didominasi oleh pemerintah daerah.
"Semangat ini harus ada pundak di Bank Aceh, karena itu saham Pemda. Saham pemda itu kan uang publik. Jadi kalau yang ditangkap itu satu pengusaha, walau itu teman saya, itu tidak boleh. Berarti bank seperti itu bank yang tidak profesional, bank kampungan, bank yang tidak mengacu pada Good Coorporate Governance (GCG). Padahal itu ada ketentuan. Ini yang tidak dipahami oleh teman-teman di Bank Aceh," ungkapnya.
Dia menilai, polemik kredit ratusan milyar ini setidaknya telah menggambarkan kentalnya 'unsur politis' dalam setiap pengurusan yang diajukan ke Bank Aceh, dan jauh dari aspek profesionalitas.
"Jadi ketakutan mereka ya, ada memo pejabat. Ini sesuatu yang tidak baik. Ada semacam situasi tersandera secara politik, jelas itu. Jadi direksi itu gak boleh ngomong macam-macam. Masih tunduk pada penguasa itu. Jadi saya pikir OJK harus betul-betul fair lah. Kalau salah, ya salah. Siapapun yang ikut bermain, tangkap saja. Diusut lah, supaya publik itu percaya," jelas dia.
"Bank Aceh ini kebanggaan masyarakat Aceh, tapi jangan dikelola secara 'kampungan'. Saat ini, cobalah melihat pada pengusaha mikro. Saya ketemu dengan penjual pisang. Sudah daya beli tidak ada, modal juga susah didapat. Kan kasihan itu. Jadi, kita sudah jatuh, tertimpa tangga lagi," tambah pengamat ekonomi Aceh ini.
Pada akhir keterangannya, dia berharap situasi seperti ini jangan dibiarkan berlarut-larut. Selain akan mengganggu siklus ekonomi, kata Rustam, juga akan berdampak terjadinya 'depresi ekonomi'.
"Mana sehat siklus ekonomi seperti ini ketika disatu sisi ada usaha yang harus dibantu, tapi modal tidak ada. Ketika kita sudah menghasilkan, yang beli tidak ada. Misalnya saya mau nanam pisang, modal tidak ada. Saat saya sudah ada, mau saya jual tidak ada yang beli. Ini pukulan berganda, dan itu bahaya untuk ekonomi. Nanti bisa-bisa ekonomi kita akan mengalami satu situasi yang 'depresi' (tertekan).
Ini yang saya lihat ya, bank-bank yang pemilihan nya tidak bebas. Unsur pimpinan daerah seperti walikota, bupati, gubernur itu menentukan di bank itu. Jadi kalau ada memo, ya biasa lah. Itu fakta, memo, semua memo laku," ucap pengamat ekonomi Aceh Rustam Effendi. (Im)