Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Plt Gubernur “Membelah Bambu” Soal Pertambangan

Plt Gubernur "Membelah Bambu" Soal Pertambangan

Rabu, 24 April 2019 20:06 WIB

Font: Ukuran: - +

 foto ilustrasi

ADA tetesan darah yang disumbangkan Amanat, ketika mereka melakukan aksi penolakan tambang PT MLR di bumi Gayo. Korban terpaksa dilarikan ke RSU. Tak lama setelah itu, aksi besar-besaran berlangsung di Banda Aceh.

Isu yang diusung sama, menolak eksplorasi pertambangan di Aceh. Namun sayangnya gaung yang disampaikan pejuang lingkungan di Gayo, seperti tidak bersambut saat dilangsungkan demo di Banda Aceh. Mereka lebih terfokus pada PT EMM.

Sepertinya para pendemo di Banda Aceh, "lupa" di bumi Gayo juga ada penolakan pertambangan, bukan hanya PT EMM yang melakukan eksplorasi pertambangan di Aceh. Demo besar- besaran di Banda Aceh, mendapat respon Plt Gubernur.

Nova Iriansyah "mengamini" keinginan publik yang melakukan demo. Izin PT. Emas Mineral Murni dicabut. Rakyat Gayo yang melakukan demo tergabung dengan Amanat (Aliansi Masyarakat Adat Menolak Tambang), tersentak dengan sikap Plt Gubernur.

Mengapa Nova hanya mengamini penolakan PT EMM, mengapa Plt Gubernur tidak mencabut izin PT Linge Mineral Resource yang beroperasi di Aceh Tengah? Lupa atau terlupakan? Seperti membelah bambu, sebelah diangkat, sebelah lagi terinjak.

"Kita tinggal kapal, padahal sebelum aksi akbar di Banda Aceh, kita duluan sudah melakukan penolakan," sebut Maharadi, koordinator Jaringan Anti Korupsi Gayo (Jang-ko). "Namun beda kekuatan, kita yang berada di pedalaman Aceh ini, seperti dilupakan".

Tokoh tokoh lingkungan hidup di Aceh yang juga melakukan aksi demo di Banda Aceh, mungkin saat itu mereka tidak minum kopi Gayo, sehingga mereka melupakan jeritan anak negeri di Bumi Linge.

Seharusnya pemerintah Aceh juga mengakomodir keinginan masyarakat Gayo, yang mencintai dan ingin menyelamatkan negerinya dari kerusakan lingkungan. " Ah sayang, perjuangan kita masih panjang, seperti tidak disahuti oleh mereka yang mengambil kepentingan," sebut Maharadi, yang nyaris menitikan air mata, saat bercerita dengan Dialeksis.com.

Lelaki lajang ini menuturkan kisah, PT. Linge Mineral Resources tidak mematuhi peraturan perundang-undangan berdasarkan admnistrasi, teknis, lingkungan dan finansial. RTRW Kecamatan Linge Kabupaten Aceh Tengah, sudah menetapkan kawasan ini bukan daerah pertambangan. Ini jelas sudah menyalahi aturan, katanya.

Walau melanggar aturan, PT LMR memiliki kekuatan, mereka mengantongi izin usaha pertambangan (IUP). Melalui keputusan kementrian ESDM Nomor 530/2296/IUP-EKSPLORASI/2009, perusahaan ini memiliki luas area 98.143 hektare, di Kecamatan Linge dan Bintang Aceh Tengah.

Izin ini awalnya diterbitkan Bupati Aceh Tengah. Dari luas areal ini, 19.628 hektar berada di kawasan KEL dan HL. Sementara sisanya 78.514 hektare merupakan hutan produksi. PT. LMR sudah menerbitkan pengumuman rencana usaha atau kegiatan dalam rangka studi Amdal. Rencana usaha penambangan dan pengelohan bijih emas Dmp, luasnya 9.684 hektare. Produksi maksimal 800.000 ton/tahun.

Lokas proyek Abong berada di  Desa Lumut, Desa Linge, Desa Owaq dan Desa Penarun, Kecamatan Linge, Aceh Tengah. Linge adalah kawasan bersejarah di Gayo, dari Bumi Linge terlahir cikal bakal kerajaan terkemuka Aceh.

Masyarakat yang tergabung dalam Amanat saat melakukan aksi penolakan kehadiran PT MLR, tidak mau hutan dan alam tempat mereka mengantungkan hidup menjadi hancur. Mereka tidak mau situs bersejarah di Aceh ini juga ikut hancur. Bagi mereka Linge adalah tempat sakralnya urang Gayo.

Tuntutan Amanat diterima Bupati Aceh Tengah Shabela Abubakar. Bupati ahirnya merekomendasikan moratorium pertambangan yang sudah pernah diterbitkan pemerintah Aceh.

Demikian dengan DPRA, mereka lantang menyahuti penolakan PT EMM. Namun mereka melupakan ada pertambangan lainya di bumi Aceh. Nurzahri, ketua Komisi II DPRA dalam laporanya menyebutkan, izin usaha pertambangan PT EMM, bertentangan dengan kewenangan Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2006.

Apakah PT LMR tidak bertentangan dengan kewenangan Aceh? Komisi II DPRA meminta Gubernur Aceh, membentuk tim khusus yang melibatkan DPR Aceh. DPRA ingin melakukan upaya hukum terhadap izin usaha pertambangan operasi produksi yang dikeluarkan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal.

Sikap tegas dewan yang patut diacungi jempol. Bahkan DPRA menyakini PT EMM sudah melakukan "penipuan" data tentang luas area. Dalam dokumen Amdal bukan lagi 3.620 hektar, namun sudah mencapai 10.000 dan bukan lagi berada di Nagan Raya, namun sudah masuk ke Kabupaten Aceh Tengah.

Menurut komisi II DPRA, PT. EMM tidak pernah melaporkan hasil atau kemajuan terkait eksplorasi, kepada Gubernur Aceh. Padahal salah satu syarat untuk meningkatkan izin eksplorasi produksi. harus melaporkan ke Gubernur Aceh.

PT. EMM secara sengaja tidak menghargai kekhususan Pemerintah Aceh sesuai dengan UUPA pasal 156 dan 165, serta Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2013 Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara dan Qanun nomor 7 tahun 2016 tentang Kehutanan.

Bagaimana DPRA melihat PT LMR yang beroperasi di Aceh Tengah? Apakah komisi II DPRA juga akan mengatakan izin usaha pertambangan PT LMR, bertentangan dengan kewenangan Aceh sebagaimana diatur dalam Undang-undang No. 11 Tahun 2006?

Untuk PT EMM, DPRA akan melakukan upaya hukum dan meminta Gubernur membentuk tim khusus. Bagaimana sikap DPRA tentang PT LMR? Apakah DPRA juga akan mengatakan, PT LMR secara sengaja tidak menghargai kekhususan Aceh? 

Sesuai dengan UUPA pasal 156 dan 165, serta Qanun Aceh Nomor 15 Tahun 2013 Pengelolaan Pertambangan Mineral dan Batubara dan Qanun nomor 7 tahun 2016 tentang Kehutanan.

Nova Iriansyah sudah menyebutkan, Pemerintah Aceh telah mencabut rekomendasi Gubernur NAD, no 545/12161 tertanggal 8 Juni 2019, tentang PT EMM. Apakah Nova juga akan mencabut rekomendasi tentang PT. LMR?

Bukankah lokasi PT LMR yang berada di dua kecamatan, Aceh Tengah juga merupakan bagian Aceh? Bila PT EMM rekomendasinya dicabut, mengapa PT MLR tidak disentuh? Apakah memang harus ada perbedaan perlakuan, seperti membelah bambu?

Sikap DPRA dalam persoalan tambang di Aceh, sangat dinantikan masyarakat dalam pelukan gunung ini. Masyarakat di negeri atas awan ini juga sangat mengharapkan rasa kasih sayang dari seorang pemimpin (Plt Gubernur).

Bukan mengabaikan permintaan mereka, sementara permintaan pihak lainya dalam kasus yang sama justru diterima. Nova tidak harus membelah bambu dalam menentukan kebijakan  untuk negeri ini. (Bahtiar Gayo)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda