Minggu, 16 Maret 2025
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Ruh Aceh ada di Arsip Sejarah, Selamatkanlah….!!!

Ruh Aceh ada di Arsip Sejarah, Selamatkanlah….!!!

Sabtu, 15 Maret 2025 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo

Logo Pusat Dokuemntasi dan Informasi Aceh. Foto: Ist


DIALEKSIS.COM | Indepth - Melestarikan sejarah dan identitas Aceh perlu sebuah lembaga yang serius mengurusnya. Karena disana tersemai ruh dan martabat Aceh. Dokumen negeri ujung barat pulau Sumatera ini harus terarsip dengan baik hingga akhir jaman.

Namun sayang lembaga yang diharapkan sebagai pusat dokumentasi dan refrerensi sejarah serta kebudayaan Aceh ini justru dibekukan. Pusat Dokuemntasi dan Informasi Aceh (PDIA) dibekukan semasa Nova Irwansyah memimpin Aceh. 

Akibatnya PDIA kehilangan fungsi strategisnya dan semakin terabaikan, sementara dokumen sejarah terus mengalami degradasi. Apakah keadaan ini dibiarkan? Pihak pihak yang menaruh perhatian besar terhadap sejarah dan kebudayaan Aceh sangat mengharapkan agar lembaga ini kembali difungsikan. 

Namun di Aceh sudah ada lembaga resmi dan menjadi satu satunya lembaga yang diakui negara untuk mengelola arsip statis atau arsip bernilai sejarah di Aceh. Lembaga ini adalah Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Aceh.

Apakah tumpang tindih dengan PDIA? Bagaimana ceritanya, kita simak apa kontra versi soal lembaga yang mengurus dokumentasi sejarah dan kebudayaan Aceh ini. Haruskah PDIA dihidupkan kembali, atau cukup dengan DPK?

PDIA Harus Dihidupkan Kembali

Pertama kita ulas soal PDIA. Mengapa lembaga ini harus difungsikan kembali? Dialeksis merangkum berbagai catatan dan harapan, agar PDIA dihidupkan kembali demi tidak terkuburnya sejarah dan kebudayaan Aceh.

Pernyataan prihatin dan harus eksisnya PDIA disampaikan Almuniza Kamal, S.STP, M.Si. Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Aceh. Ketika dihubungi Dialeksis.com dia mengungkapkan rasa keprihatinanya. Menurut Almuniza, keberadaan PDIA sangat krusial sebagai pusat dokumentasi dan referensi sejarah serta kebudayaan Aceh. 

"Prinsipnya, PDIA harus tetap eksis. Dengan dikelola oleh lembaga pendidikan seperti Universitas Syiah Kuala, PDIA memiliki potensi untuk terus berkembang asalkan mendapat dukungan penuh dari Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah," ujarnya kepada Dialeksis (11/03/2025).

Almuniza juga menekankan peran strategis Pemerintah Aceh melalui Dinas Arsip dan Perpustakaan. Dinas Arsiplah memiliki peran strategis dalam memberikan dukungan anggaran dan fasilitas yang diperlukan agar PDIA dapat berfungsi secara optimal. 

“Ini penting untuk menjaga dan menyebarluaskan khazanah informasi Aceh bagi generasi mendatang," tambahnya.

Demikian dengan Herman RN praktisi kebudayaan dan Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala, dia menilai bahwa langkah untuk memfungsikan kembali PDIA ini harus disertai kajian mendalam. 

"PDIA merupakan garda terdepan dalam melestarikan identitas sejarah dan budaya Aceh. Pembekuan operasional ini perlu segera ditinjau ulang agar tidak menghambat proses dokumentasi dan penyebaran pengetahuan yang berharga bagi masyarakat Aceh,” ungkapnya.

Keputusan pembekuan PDIA di era Gubernur Nova Iriansyah, menurut Herman semua pihak perlu duduk bersama untuk membahas perihal tindaklanjut ke depan. Hal ini penting karena keberadaan PDIA sangat diperlukan untuk mengoptimalkan fungsi dan peran yang melekat secara kelembagaan.

“Dialog multipihak, antara Pemerintah Aceh, Dinas terkait, dan pihak akademisi, diharapkan dapat menemukan solusi yang tepat demi kesinambungan dan kemajuan pengelolaan informasi kebudayaan di Aceh,” demikian Herman berharap. 

Dengan demikian, meski PDIA tengah menghadapi tantangan operasional, harapan agar institusi ini kembali mendapatkan dukungan penuh dan terus berkontribusi dalam melestarikan warisan budaya Aceh tetap tinggi, jelasnya.

Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh (PDIA) dibekukan operasionalnya di era kepemimpinan Gubernur Nova Iriansyah. Langkah tersebut menuai sorotan dan berbagai respons dari pihak terkait, mengingat selama ini PDIA memperoleh pendanaan operasional dari Pemerintah Aceh.

Lembaga ini pasca dibekukan akibat tidak adanya alokasi anggaran operasional sejak tahun 2023. Krisis anggaran mengancam kelangsungan peran strategis PDIA dalam mendokumentasikan dan melestarikan sejarah Aceh yang sangat berharga.

Mantan Kepala PDIA, Drs. Mawardi Umar, M. Hum., M.A dalam keteranganya kepada Dialeksis.com menyebutkan, bahwa selama ini PDIA mendapatkan pendanaan operasional dari pemerintah Aceh. Namun, pada tahun 2023, anggaran tersebut tidak lagi dialokasikan sehingga seluruh staf kontrak tidak menerima honorarium.

"Semua staf PDIA diangkat berdasarkan keputusan gubernur. Tidak mungkin kita meminta mereka bekerja tanpa kompensasi yang layak," ujarnya.

Menurut Mawardi, perubahan skema pendanaan menjadi penyebab utama terhentinya operasional PDIA. Dahulu, lembaga ini menerima dana hibah, namun aturan Kementerian Dalam Negeri melarang pemberian hibah berturut-turut selama tiga tahun. 

Akibatnya, pendanaan dialihkan ke dana operasional yang dititipkan melalui Dinas Arsip dan Perpustakaan Aceh (ARPUS). Sayangnya, kebijakan ini tidak diikuti dengan langkah-langkah konkret untuk menjamin kesinambungan PDIA, sehingga nasibnya tidak jelas dan dibekukan.

Mawardi pada saat itu mempertanyakan upaya serius dari pemerintah, terutama pada masa kepemimpinan Nova Iriansyah, untuk mencari solusi atas permasalahan ini.

"Jika memang ada niat tulus dari pemerintah, pasti ada jalan keluarnya. Ini bukan hanya soal anggaran, tetapi tentang menyelamatkan dokumen dan arsip sejarah Aceh yang tak ternilai," tegasnya.

Ketika itu, dalam upaya menyelamatkan keberadaan PDIA, Mawardi mengungkapkan telah berulang kali berkomunikasi dengan Pemerintah Aceh. Salah satu usulan yang pernah diajukan adalah penyerahan koleksi PDIA kepada Universitas Syiah Kuala (USK) atau langsung kepada Pemerintah Aceh, namun ia menegaskan bahwa lembaga PDIA harus tetap eksis dan tidak sekadar koleksinya yang dipindahkan.

"Saya ingin PDIA tetap ada. Jika hanya koleksi yang diambil, belum tentu dokumen-dokumen tersebut akan dirawat dan dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya," tambahnya.

Mawardi juga menyoroti kesalahpahaman mengenai fungsi PDIA. Menurutnya, PDIA tidak boleh disamakan dengan Dinas Arsip atau Dinas Komunikasi dan Informatika.

"Banyak yang hanya melihat dari namanya, padahal PDIA lebih dari sekadar penyimpanan arsip. Lembaga ini fokus pada koleksi terbitan mengenai Aceh baik dalam bentuk cetak maupun digital serta studi mendalam tentang sejarah Aceh, yang memiliki nilai strategis berbeda," jelasnya.

Kini dengan pergantian kepemimpinan di Aceh, harapan baru pun muncul agar PDIA segera mendapatkan dukungan nyata dari pemerintah dan para pemangku kepentingan.

"Skema awal PDIA, yang mengandalkan dana dari pemerintah daerah serta dukungan teknis dan ilmiah dari USK, sudah terbukti efektif. Langkah pertama adalah memperjelas aturan pendanaan agar tidak mudah bergeser seiring perubahan kebijakan," pungkas Mawardi.

Sementara itu, Din Saja, atau yang dikenal pula dengan nama Ade Soekma dan Fachruddin Basya budayawan sekaligus seniman, menilai bahwa nasib PDIA pasca dibekukan merupakan peringatan keras bahwa dukungan terhadap pelestarian sejarah harus menjadi prioritas.

"Penyelamatan PDIA bukan semata soal pengelolaan anggaran, tetapi juga tentang mempertahankan identitas dan ingatan kolektif bangsa. Kerjasama yang solid antara Pemerintah Aceh dan USK perlu segera diperkuat untuk mengembalikan peran strategis PDIA," ujar Din Saja.

Hingga kini, nasib PDIA masih menggantung. Din Saja berharap Pemerintah Aceh dan USK segera mengambil langkah konkret untuk mengatasi krisis ini agar dokumen dan arsip bersejarah Aceh tetap terjaga dan dapat diakses oleh masyarakat luas, sebagai bukti nyata komitmen terhadap pelestarian sejarah dan identitas bangsa.

Sementara itu, Dr. Teuku Afifuddin, M.Sn, Ketua Dewan Kesenian Aceh, juga menyampaikan perlunya menghidupkan kembali PDIA sebagai aset strategis dalam menjaga sejarah dan budaya Aceh. 

“PDIA adalah penjaga utama sejarah dan budaya Aceh, yang seharusnya dijadikan aset strategis untuk memperkokoh identitas bangsa kita,” ujarnya saat dikonfirmasi Dialeksis (10/03/2025).

Ia menyoroti bahwa sejak tahun 2023, alokasi anggaran operasional PDIA mengalami kekurangan, yang tidak hanya mencerminkan kegagalan pengelolaan keuangan, tetapi juga mengancam kesinambungan fungsi vital PDIA dalam mendokumentasikan dan mengkaji sejarah Aceh secara mendalam. 

"Menghidupkan kembali PDIA harus menjadi prioritas, karena menyerahkan koleksi saja tanpa dukungan penuh akan mengurangi potensi pemanfaatan arsip sebagai sumber pengetahuan dan inspirasi bagi generasi mendatang," tegasnya.

Dr. Teuku Afifuddin mengajak Pemerintah Aceh, institusi akademis seperti USK, dan seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari solusi konkret dalam rangka mengembalikan pendanaan yang berkesinambungan bagi PDIA. 

Menghidupkan kembali PDIA merupakan investasi penting untuk masa depan Aceh yang lebih berbudaya dan berwawasan sejarah.

“Kita harus mengembalikan nyawa PDIA dengan langkah-langkah strategis yang mendukung operasionalnya, sehingga warisan sejarah dan budaya Aceh dapat terus hidup dan menginspirasi,” sebutnya.

Kajian JSI

Dialeksis.com mendapatkan catatan penting dari Jaringan Survey Inisiatif (JSI) tentang Krisis Pengelolaan PDIA, sehingga koleksi sejarah Aceh Terancam Hilang.

Menurut kajian internal JSI, PDIA seharusnya menjadi lembaga utama dalam pelestarian dokumen sejarah Aceh, namun kini berada dalam kondisi tidak terurus dan hampir terbengkalai. 

“Universitas Syiah Kuala dan Pemerintah Aceh sebagai pemegang mandat PDIA tidak lagi memberikan perhatian yang cukup, sehingga berbagai koleksi historis peninggalan kolonial Belanda dan dokumen penting lainnya terancam rusak atau hilang,” demikian kajian JSI ini.

Sampai saat ini paska dibekukan tidak ada kebijakan atau inisiatif konkret untuk memastikan keberlanjutan PDIA sebagai pusat dokumentasi sejarah. Minimnya koordinasi antara lembaga terkait menyebabkan PDIA kehilangan arah dan tidak memiliki sistem pengelolaan yang jelas.  

JSI menilai PDIA kehilangan fungsi strategisnya dan semakin terabaikan, sementara dokumen sejarah terus mengalami degradasi.  

Koleksi Sejarah Aceh terancam rusak dan hilang. Dokumen kolonial Belanda, manuskrip, dan arsip penting lainnya tidak dirawat dengan baik, berisiko rusak akibat kelembaban, jamur, dan faktor usia.  

Tidak ada sistem konservasi dan restorasi yang berjalan, menyebabkan koleksi semakin lapuk. Banyak dokumen yang berpotensi hilang, karena tidak adanya pengamanan dan sistem pencatatan yang terstruktur.  

Menurut JSI, Sejarah Aceh yang terdokumentasi dalam koleksi PDIA bisa hilang selamanya serta mengurangi sumber referensi akademik dan penelitian. PDIA tidak aktif lagi dalam memberikan layanan kepada peneliti, akademisi, dan masyarakat umum.  

Minimnya sosialisasi membuat banyak orang tidak mengetahui keberadaan dan pentingnya PDIA. Tidak ada platform digital atau publikasi yang mempermudah akses terhadap koleksi sejarah. Sehingga PDIA menjadi semakin tidak relevan dan kehilangan fungsinya sebagai pusat dokumentasi sejarah bagi masyarakat Aceh dan dunia akademik.  

Selian itu, hasil kajian JSI, dokumen-dokumen PDIA masih dalam bentuk fisik dan belum terdigitalisasi, sehingga sulit diakses dan berisiko hilang tanpa cadangan digital. Tidak ada katalog daring atau database yang mempermudah pencarian dokumen, membuat koleksi PDIA tidak bisa dimanfaatkan secara luas.  

Minimnya investasi dalam teknologi informasi dan perpustakaan digital, menyebabkan PDIA tertinggal dibandingkan lembaga dokumentasi lainnya. Implikasinya, koleksi sejarah Aceh tidak dapat dimanfaatkan secara maksimal oleh peneliti dan generasi muda yang membutuhkan akses digital.  

JSI juga melakukan pengkajian Pemerintah Aceh dan Universitas Syiah Kuala tidak mengalokasikan anggaran yang cukup untuk operasional dan pengelolaan PDIA. Tidak ada kebijakan daerah yang memastikan PDIA tetap berjalan dan berkembang sebagai pusat dokumentasi resmi.  

Minimnya perhatian dari pemangku kepentingan, menyebabkan PDIA hanya bergantung pada inisiatif individu tanpa dukungan sistematis. PDIA kehilangan potensi untuk berkembang menjadi pusat arsip sejarah Aceh yang modern, karena kurangnya pendanaan dan dukungan regulasi.  

Harus diselamatkan, demikian inti dari kajian internal JSI. Universitas Syiah Kuala dan Pemerintah Aceh harus segera mengambil tindakan konkret untuk menyelamatkan PDIA dari keterpurukan.  

Perlu ada kebijakan yang memastikan keberlanjutan PDIA, termasuk alokasi anggaran dan perencanaan jangka panjang. Segera dilakukan upaya konservasi dan restorasi dokumen historis untuk mencegah kerusakan permanen.

Selain itu JSI juga berharap percepatan digitalisasi koleksi agar dokumen sejarah dapat diakses secara lebih luas dan aman dari risiko kehilangan. Membangun sistem layanan perpustakaan dan sosialisasi yang lebih aktif agar masyarakat dan akademisi dapat memanfaatkan koleksi PDIA.

“Jika dibiarkan tanpa tindakan, sejarah Aceh yang tersimpan di PDIA akan terus mengalami degradasi hingga hilang selamanya, ini artinya menghilangkan jejak penting dari perjalanan intelektual dan kebudayaan Aceh,” tulis JSI tentang kajian internal mereka.

Sejarah Kearsipan Aceh dan PDIA

Bagaimana dengan Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Aceh, apakah akan tumpang tindih dengan PDIA, mengapa DPK menjadi satu satunya lembaga resmi yang diakui negara dalam mengelola arsip bernilai sejarah?

Menurut Dr. Edi Yandra, S.STP, MSP, Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh,| menyebutkan, bahwa Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Aceh resmi menjadi satu-satunya lembaga yang diakui negara untuk mengelola arsip statis atau arsip bernilai sejarah di Aceh. 

Hal ini ditegaskan Dr. Edi Yandra, S.STP, MSP, Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh, dalam penjelasanya menjawab Dialeksis.com.

“Berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan, hanya Lembaga Kearsipan Aceh, dalam hal ini DPK Aceh, yang memiliki legal standing untuk mengelola arsip statis bernilai sejarah. PDIA tidak lagi relevan secara hukum,” tegas Dr. Edi Yandra saat dihubungi Dialeksis, Jumat (14/03).

Dr Edi mulai bercerita terkait sejarah kearsipan di Aceh berawal dari Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1971 tentang Ketentuan Pokok Kearsipan, yang membentuk tiga tingkat organisasi kearsipan.

Unit kearsipan di pemerintah daerah (Kantor Arsip Daerah), Arsip Nasional Pusat, dan Arsip Nasional Daerah. Namun, hingga 1991, Provinsi Aceh belum memiliki Arsip Nasional Daerah.

Baru pada 1992, Arsip Nasional Daerah Aceh berdiri dengan cakupan wilayah Aceh, Sumatera Utara, dan Riau. Lembaga ini kemudian berubah nama menjadi Arsip Nasional Republik Indonesia Wilayah (ANRIWil) Aceh pada 1999, jelasnya.

Namun, status ANRIWil yang berada di bawah pemerintah pusat membuat kolaborasi antara Pemerintah Aceh dan Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) melalui PDIA tetap diperlukan saat itu.

Perubahan signifikan terjadi pasca-otonomi daerah melalui UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Otonomi Khusus Aceh Nomor 18 Tahun 2001. ANRIWil Aceh dialihkan menjadi aset daerah melalui hibah, dan namanya berubah menjadi Badan Arsip Provinsi Daerah Istimewa Aceh berdasarkan Perda Nomor 38 Tahun 2001.

“Pada 2006, integrasi urusan kearsipan dan perpustakaan dimulai melalui UU Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006 dan Qanun Aceh Nomor 5 Tahun 2007. Inilah cikal bakal Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh,” jelas Edi Yandra.

Dengan terbitnya UU Nomor 43 Tahun 2009 tentang Kearsipan dan PP Nomor 28 Tahun 2012, struktur kearsipan nasional dipertegas: Arsip Nasional RI (ANRI) sebagai lembaga kearsipan nasional, dinas/badan kearsipan provinsi sebagai lembaga kearsipan daerah, dan dinas/badan kearsipan kabupaten/kota sebagai lembaga kearsipan lokal.

“Sejak 2016, melalui Qanun Aceh Nomor 13 Tahun 2016 dan Pergub Aceh Nomor 124 Tahun 2016, DPK Aceh resmi menjadi lembaga kearsipan provinsi dengan tugas menyusun kebijakan, mengelola arsip in-aktif (retensi 10+ tahun) dan statis, serta melakukan pembinaan,” papar Edi.

Meski PDIA sempat berperan sebelum 2009, keberadaannya kini dinilai tumpang tindih. “Regulasi kearsipan saat ini tidak mengakui dualisme. Hanya DPK Aceh yang berwenang mengelola arsip statis. PDIA tidak memiliki dasar hukum setelah UU 43/2009 berlaku,” tegas Edi.

Ia menambahkan, DPK Aceh telah membangun sistem preservasi arsip berstandar nasional, termasuk ruang tahan api dan metode preservasi preventif-kuratif sesuai pedoman ANRI. Sementara, PDIA dinilai tidak memiliki kapasitas serupa, termasuk dalam hal anggaran dan legalitas.

Pada 2023, DPK Aceh meluncurkan Diorama Arsip Aceh sebagai pameran permanen sejarah Aceh melalui arsip. Diorama ini terbagi dalam tiga tema: Aceh Jameun (masa lalu), Aceh Jino (kini), dan Aceh Ukeu (masa depan).

“Ini bukti komitmen kami menjadikan DPK Aceh sebagai pusat rujukan sejarah. Arsip bukan sekadar dokumen, tapi memori kolektif bangsa,” ujar Edi.

Dengan penguatan regulasi dan infrastruktur, DPK Aceh siap menjadi garda terdepan pelestarian warisan sejarah Aceh. Sementara, PDIA dipastikan tidak lagi memiliki pijakan hukum dalam pengelolaan arsip statis. 

“Kami terbuka untuk kolaborasi, tetapi harus sesuai koridor hukum yang berlaku,” pungkas Edi Yandra.

Kini bagaimana sikap pemerintah Aceh? Akankah PDIA dihidupkan kembali atau berkolaborasi dengan PDIA demi menyelamatkan arsip sejarah di bumi ujung barat Swarnadwipa ini? Atau cukup dengan DPK Aceh. 

Satu yang pasti, arsip bernilai sejarah di Aceh harus diselamatkan selama bumi ini masih berputar. Arsip itu menunjukan penduduk di ujung barat pulau Sumatera ini memiliki catatan sejarah yang cukup panjang. ** BG

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
ultah dialektis
bank Aceh
dpra
bank Aceh pelantikan
pers