kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Ruislag KONI Aceh yang Tidak Terselesaikan

Ruislag KONI Aceh yang Tidak Terselesaikan

Minggu, 04 Agustus 2019 14:02 WIB

Font: Ukuran: - +

Gedung KONI Aceh usai disegel Kodam IM. 

DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Areal lahan KONI Aceh dan gedung kolam renang yang diberi nama Tirta Raya itu berada dalam satu komplek. Sesuai dokumen terkait keberadaan lahan bermasalah itu, luas lahan gedung kolam renang ± 6.452 m2, sedangkan GOR KONI Aceh ± 2.584 m2. 

Kala Dialeksis.com menyambangi tempat tersebut, Sabtu, (3/8/2019), terlihat kedua fasilitas olah raga itu telah dipagari seng serta disegel dengan pita kuning atau police line

Terlihat beberapa bekas pekerjaan kontruksi yang belum selesai terbengkalai begitu saja. Saat Dialeksis.com mencoba mengambil gambar, beberapa orang yang diduga penjaga gedung tersebut mencoba melarang.

"Gak boleh, Bang, gedung ini sedang bermasalah," ujar salah satu pria berpakaian preman.

Namun, setelah Dialeksis.com berkomunikasi dan menunjukkan identitas jurnalis, pria tersebut akhirnya membolehkan.

Pembangunan rehab gedung KONI yang terletak di Jalan Kesehatan (belakang Pante Pirak swalayan), Kuta Alam, Banda Aceh itu menuai kontroversi setelah pihak pemilik lahan, Kodam Iskandar Muda, menyegel proyek tersebut beberapa waktu lalu. Ada apa gerangan?

Dirangkum dari berbagai informasi, penyegelan itu merupakan akumulasi 'kekesalan' Kodam IM setelah puluhan tahun lahan itu digunakan Pemerintah Aceh untuk kepentingan umum, tanpa ada tindak lanjut komitmen yang telah disepakati sebelumnya.

Berdasarkan dokumen yang diperoleh Dialeksis.com dari berbagai sumber, persoalan carut marut sengketa lahan itu bermula pada tahun 1972 saat Pangdam I/IM kala itu Brigjen Aang Kunaefi meminjamkan tanah itu kepada Baperis (Badan Pembina Rumpun Iskandar Muda) untuk dimanfaatkan, dengan ketentuan status tanah tetap hak milik TNI AD. 

Pada tahun yang sama Gubernur Aceh saat itu, Muzakkir Walad, mengeluarkan keputusan terhitung sejak 17 Agustus 1972 menguasakan kepada Baperis sejumlah gedung dan bangunan, serta kolam renang (pembangunannya belum selesai) yang dibangun diatas tanah milik Kodam I/Iskandar Muda untuk dimanfaatkan sebagai tempat pertemuan/rekreasi. 

Poin berikutnya, dengan penguasaan gedung/bangunan itu, segala bentuk perbaikan, penyempurnaan, perawatan dan pengurusan penggunaannya menjadi tanggung jawab Baperis. 

Naskah serah terima gedung/bangunan diterima langsung oleh Ketua Umum Baperis Kolonel Inf Usman Nyak Gade pada tanggal 18 Agustus 1972.

Pada tahun 1980, Walikota Banda Aceh Djakfar Ahmad mengirim surat permohonan kepada Panglima Kodam I/Iskandar Muda agar dapat melepaskan segala hak yang ada di tanah tersebut untuk pembangunan kolam renang yang representatif untuk masyarakat Kota Banda Aceh.

"Berhubung tanah lokasi kolam renang dalam penguasaan TNI AD maka kami mohon kesediaan Bapak Panglima untuk dapat melepaskan segala hak yang berada di atas tanah tersebut guna kami peruntukkan bagi pembangunan kolam renang yang dimaksud," bunyi surat permohonan bernomor 426.24/2477 tanggal 8 Maret 1980 itu.

Kodam I/ IM menjawab permohonan Walikota Banda Aceh itu dengan respon positif. Melalui surat no B/613/IX/1980 tentang Ruilslag Tanah HMAD Untuk Kolam Renang, Pangdam Brigjen R.A Saleh menyebutkan pada prinsipnya tidak keberatan dan mendukung rencana Walikota Banda Aceh untuk membangun kolam renang di atas tanah milik TNI AD. 

Namun, ia meminta kepada Gubernur Aceh untuk segera membentuk kepanitian daerah/tim penaksir harga guna penyelesaian administrasi sesuai perizinan yang berlaku, sembari menunggu izin Menhankam/Pangab (izin Ruilslag Tanah HMAD merupakan kewenangan Menhankam/Pangab).

Pada bulan dan tahun yang sama, Gubernur Aceh Abdul Madjid Ibrahim kembali mengajukan permohonan penggunaan tanah TNI AD seluas 13.000 m2 (Anjong Mon Mata Pendopo Gubernur Aceh) untuk pembangunan wisma tamu dalam rangka pelaksanaan MTQ Nasional ke-12 di Banda Aceh.

Kodam I/IM kembali "bermurah hati". Setelah mempertimbangkan beberapa hal, termasuk memperhatikan kebijakan pimpinan TNI AD khususnya dalam hal pemutihan/penyelesaian administrasi tanah-tanah hak milik TNI AD yang digunakan Pemerintah Aceh untuk perluasan wisma tamu Anjong Mon Mata di Banda Aceh, melalui surat no B/443/VII/1981 tanggal 13 Juli 1981 yang ditujukan ke Gubernur Aceh, Kodam I/IM membentuk panitia penaksir harga ganti rugi tanah/bangunan HMAD yang telah digunakan Pemerintah Aceh.

Kesepakatan ruislag (tukar guling) yang menjadi komitmen sebelumnya ternyata tidak disanggupi Pemerintah Aceh saat itu. Di sinilah punca sengketa dimulai. 

Ketidaksanggupan Pemerintah Aceh termaktub dalam isi surat yang dikirimkan Gubernur Aceh saat itu, Ibrahim Hasan, kepada Menteri Dalam Negeri yang menyebutkan ketiga lokasi tersebut (gedung Kolam Renang Tirta Raya, gedung Anjong Mon Mata, serta Kantor Golkar) telah dimanfaatkan untuk kepentingan umum.

"Kemampuan keuangan daerah yang terbatas serta tuntutan pembangunan yang semakin meningkat, Pemda Istimewa Aceh sangat tidak mungkin lagi mengganti rugi maupun mengadakan ruilslag terhadap tanah milik Kodam tersebut," tulis Ibrahim Hasan pada surat bernomor 590/19353 tanggal 30 Juli 1988 itu.

Untuk itu, Ibrahim Hasan berharap kepada Mendagri untuk dapat menyampaikan permintaannya kepada Menhankam agar ketiga lokasi itu dapat dihibahkan kepada Pemda Aceh sebagai partisipasi ABRI pada masyarakat Aceh.

Kali ini, Kodam IM tidak bergeming. Representasi lembaga TNI AD di Aceh ini tetap 'keukeuh' bahwa Pemerintah Aceh tetap harus menepati kesepakatan yang telah disepakati sebelumnya untuk ganti rugi (ruislag) seluruh lahan milik TNI AD yang telah digunakan pemerintah Aceh. 

Bahkan, Pangdam IM saat itu, Mayjen R Pramono memutuskan menarik kembali pengelolaan tanah milik TNI AD yang sebelumnya diserahkan kepada Baperis.

"Telah terjadi penyimpangan prosedur yang dilakukan ketua pengurus harian Baperis terhadap penggunaan tanah dan bangunan tersebut," sebut Mayjen R Pramono pada Skepnya yang bernomor Skep/2/1/1993 tanggal 9 Januari 1993.

Hal senada disampaikan oleh Danrem 012/TU Kolonel Inf Rudy Supriatna melalui surat kepada Gubernur Aceh tanggal 23 Juni 1994. 

Dalam surat itu, Rudy menerangkan penggunaan tanah HMAD oleh Pemda Tk I Aceh untuk bangunan Anjong Mon Mata, Kolam Renang Tirta Raya, Gedung Bioskop Gajah, Kantor DPD I Golkar, dan Kantor KONI Aceh telah berlangsung selama 11 tahun. 

Namun, sambung surat itu, sampai saat ini belum ada penyelesaiannya dari Pemda Tk I Istimewa Aceh.

"Sehubungan dengan poin 1, 2 dan 3 di atas, untuk penyelesaian administrasi ruilslag dimohon dapat segera diadakan tindakan penyelesaian dari Pemda Tk I Istimewa Aceh," tegas Kolonel Inf Rudy Supriatna.

Berkenaan hal tersebut, Pemerintah Aceh memiliki niat baik untuk menyelesaikan masalah ini. 

Terbukti, pada tahun 2003 Gubernur Aceh Ir. H. Abdullah Puteh membentuk tim pelaksana tukar guling/ruislag aset Kodam Iskandar Muda di Kota Banda Aceh dan Aceh Besar. 

Tim tersebut akan bertugas mengidentifikasi, mengukur, dan mempersiapkan segala sesuatunya yang berkaitan dengan proses ruislag.

Lantas apa tindak lanjut atau hasil dari tim yang telah dibentuk itu? Hingga berita ini diturunkan, Dialeksis.com menemui kesulitan dalam memperoleh informasi tersebut.

Sembilan (9) tahun berselang, Kodam IM kembali menyurati KONI Aceh untuk mengembalikan tanah yang dipinjam.

"Mengembalikan kepada Kodam IM tanah milik TNI AD, kolam renang seluas ± 6.452 m2, GOR Koni Aceh ± 2.584 m2. Jumlah keseluruhan ± 9.036 m2 yang terdaftar dalam buku I IKN dan terletak di jalan H. Dimurthala. Saat ini menjadi Kantor KONI Prov. Aceh dan kolam renang," tulis Kasdam Brigjen Iskandar M. Sahil pada surat yang bernomor B/238/VII/2012 tanggal 5 Juli 2012.

Hingga kini, permasalahan sengketa lahan itu belum jelas juntrungannya. Teranyar, Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah menyurati Kodam IM pada tanggal 31 Mei 2019 lalu. 

Dalam penjelasan surat tersebut terungkap Pemerintah Aceh saat ini sedang menunggu hasil dari tim yang dibentuk tanggal 28 Maret 2019 yang sedang melakukan penelusuran terhadap 3 (tiga) objek aset milik Pemerintah Aceh  terkait dengan Kodam IM.

"Berdasarkan hasil penelusuran dan pengkajian tersebut, selanjutnya Pemerintah Aceh akan menyampaikan dan mendiskusikan alternatif/solusi penyelesaian aset tersebut dengan Kodam Iskandar Muda," ujar Nova Iriansyah.

Apa yang dijelaskan Nova, merupakan respon Pemerintah Aceh atas permintaan ulang Pangdam Kodam IM Mayjen Teguh Arief Indratmoko terhadap permasalahan tanah TNI AD.

Seperti diketahui, Kodam IM menyegel proyek rehabilitasi Kolam Renang Tirta Raya dan Gedung KONI Aceh. Kodam IM 'berang'. 

Penyegelan itu diambil karena hingga kini Pemerintah Aceh tidak mempunyai itikad baik dalam menyelesaikan permasalah lahan tersebut.

"Sudah dua kali kami menyurati Pemerintah Aceh terkait lahan-lahan kami yang dipakai untuk fasilitas umum," ungkap Kasdam IM Brigjen TNI Achmad Daniel Chardin, Jumat, (2/8/2019), seperti dilansir AJNN.net.

Menurutnya, Pemerintah Aceh melalui Dispora (Dinas Pendidikan dan Olahraga) Aceh selama ini tidak pernah meminta izin Kodam IM untuk membangun Gedung KONI tersebut. 

Ia menegaskan, Pangdam IM mengancam apabila surat ketiga yang dikirimkan juga tidak mendapat respon dari Pemerintah Aceh, TNI akan mengambil langkah tegas untuk menduduki lahan-lahan tersebut.

"Ada 19 tanah kami yang bermasalah, tiga antaranya yang bermasalah adalah Anjong Mon Mata, Kolam Renang Tirta Raya dan Gedung Koni, tanah-tanah kami selama ini dipakai untuk fasilitas umum," ujarnya.

Bukan hanya itu, lanjut Daniel, yang membuat pihaknya semakin berang adalah Pemerintah Aceh ketika disurati malah menjawab akan membentuk tim penelusuran, bahkan sudah beberapa bulan pascasurat itu dibalas juga tidak ada tindak lanjut.

"Di tahun ini (2019) sudah dua kali kami surati. Untuk apa tim penulusuran, kalau perlu datang ke kami saja, disini (Kodam) lengkap surat-surat, dari zaman Belanda juga ada," jelasnya.

Menurutnya, ada catatan yang harus diselesaikan yakni ada proses ruislag atau ganti rugi setelah kegiatan MTQ itu selesai. Namun, faktanya dari tahun 80 hingga sekarang tidak ada proses ruislag itu.

"Nah ketika kami nuntut, malah dibilang akan dibuat tim penelusuran lagi. Alasan dibentuk tim itu karena setahu gubernur sejak tahun 80-an itu adalah fasilitas umum," katanya.

Proses proyek pembangunan kolam renang juga disinyalir sarat masalah. Pasalnya, perusahaan pemenang tender yang ditetapkan Unit Layanan Pelelangan (ULP) Pemerintah Aceh adalah PT Joglo Multi Ayu. Perusahaan ini sendiri sudah masuk daftar hitam atau blacklist.

Baca: Pemerintah Aceh Batalkan PT Joglo

Hal tersebut terungkap melalui surat tertanggal 22 Juli 2019 yang ditandatangani oleh Kepala Dispora Aceh Darmansyah tentang pembatalan hasil pelelangan.

Kini, tanah-tanah milik TNI AD yang digunakan Pemerintah Aceh itu menanti penyelesaian sesegera mungkin. Jika tidak, beberapa gedung yang dibangun di atas tanah itu akan mengalami hambatan dalam persiapan Aceh sebagai tuan rumah PON 2024 bersama Sumatera Utara.(Im Dalisah)


Keyword:


Editor :
Im Dalisah

riset-JSI
Komentar Anda