Senin, 07 Juli 2025
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Tanah Blang Padang Harus Kembali Ke Pangkuan Masjid Raya Baiturahman!

Tanah Blang Padang Harus Kembali Ke Pangkuan Masjid Raya Baiturahman!

Sabtu, 05 Juli 2025 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo
Ilustrasi. Polemik status tanah Blang Padang. [Foto: desain dialeksis.com]

DIALEKSIS.COM | Indepth - Tanah seluas 8 hektar lebih ini merupakan wakaf Sultan Iskandar Muda kepada Pengurus Masjid Raya Baiturahman Banda Aceh. Namun mengapa dikuasai militer? Akankah tanah ini dikembalikan militer sesuai dengan amanah Sultan Iskandar Muda?

Status tanah Blang Padang sudah lama digaungkan akan dikembalikan sesuai dengan amanah pemberi wakkaf untuk dikelola nazir Masjid Baiturahman, Banda Aceh. Namun sampai kini tanah itu masih dikuasai TNI.

Akankah tanah ini kembali ke pangkuan Masjid Baiturahaman (Oemong Sara)? Relakah TNI melepaskan asset yang selama ini sudah mereka kuasai. Dialeksis.com merangkumnya dalam sebuah tulisan.

Dikuasai TNI

Berdasarkan penelusuran sejarah, telaah yuridis, dan aspirasi masyarakat serta tokoh agama, tanah ini secara hukum Islam dan adat Aceh terbukti merupakan tanah wakaf yang seharusnya dikelola oleh nazhir Masjid Raya Baiturrahman.

Dalam buku Van Langen disebutkan bahwa tanah Blang Padang adalah tanah wakaf dari Sultan Iskandar Muda kepada pengurus Masjid Raya Baiturrahman.

Namun mengapa tanah ini sampai saat ini dikuasai TNI? Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Jenderal TNI Maruli Simanjuntak memberikan penjelasan terkait polemik status tanah wakaf Masjid Raya Baiturrahman di Aceh yang dikelola oleh TNI AD.

Menurutnya, TNI memiliki surat dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu) untuk menggunakannya. "Kita kan sudah punya suratnya dari Kementerian Keuangan untuk boleh menggunakan," kata Maruli, di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Rabu (2/7/2025) kepada media.

Maruli mengatakan, jika memang ada sesuatu yang harus diluruskan, maka mereka mesti duduk bersama untuk membicarakannya. Dia menekankan, yang memiliki kewenangan untuk memberikan status mengenai tanah tersebut adalah Kemenkeu, bukan TNI AD.

“Jadi gitu, enggak. Bukan kita yang punya kewenangan bisa ngasih saja. Enggak bisa. Kalau memang ada kepentingan yang lebih, dia punya hak, silakan saja sesuai mekanisme hukum," ujar dia.

"Tapi, kami kan di situ duduk, ada juga surat kami dari legalitasnya dari Kementerian Keuangan selaku pemilik kekayaan negara," imbuh Maruli.

Sementara itu Kepala Dinas Penerangan Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen Wahyu Yudhayana menjelaskan asal usul tanah Blang Padang di Kota Banda Aceh, Provinsi Aceh, yang sedang menjadi perbincangan publik.

Menurut Wahyu, pada 1945 ketika masa perjuangan, Badan Keamanan Rakyat (BKR) menguasakan dan menggunakan tanah lapangan Blang Padang di Banda Aceh sebagai tempat pemusatan pasukan.

Kemudian, pada 1950, pemerintah Belanda melalui KNIL melaksanakan penyerahan seluruh sarana dan prasarana (sarpras) militer yang berada di atas tanah Blang Padang dan sekelilingnya kepada militer Indonesia.

"Dan beberapa dokumen tersimpan di TNI AD terkait hal tersebut," kata Wahyu dalam siaran pers Selasa, 1 Juli 2025.

Selanjutnya setelah melalui beberapa tahapan tahapan administrasi yang telah berjalan, kemudian Menteri Keuangan (Menkeu) selaku Pengelola Barang (PB) mengeluarkan Surat Keputusan Nomor KMK-193/KM.6/WKN.1/KNL.01/2021 tanggal 24 Agustus 2021 tentang Penetapan Status Pengguna (PSP) kepada Kementerian Pertahanan (Kemhan).

Hal itu berdampak Kemhan adalah sebagai Pengguna Barang (PB). Baca Juga Gubernur Aceh Minta Presiden Kembalikan Tanah Blang Padang Jadi Wakaf Masjid Raya Tahapan berikutnya, menurut Wahyu, Kemhan selaku Pengguna Barang menyerahkan pengelolaan tanah tersebut kepada TNI AD selaku Kuasa Pengguna Barang (KPB).

"TNI AD merawat dan menggunakan lapangan tersebut untuk berbagai kegiatan, seperti upacara, sarana olahraga prajurit dan masyarakat, fasilitas umum untuk warga serta memfasilitasi berbagai kegiatan yang dilaksanakan oleh berbagai fihak termasuk pemda/pemprov," ucap Wahyu.

Dia pun menekankan, apabila Pemerintah Provinsi (Pemprov) Aceh akan menggunakan atau mengalihkan status lahan tersebut, tentunya TNI AD tidak akan mempermasalahkannya. Namun, hal yang harus dipedomani adalah bahwa perubahan tersebut perlu dilaksanakan sesuai prosedur yang berlaku.

"Secara mekanisme dan prosedur, tentunya TNI AD tidak bisa serta merta menyerahkan kepada Pemprov Aceh," ujar Wahyu.

Dia menerangkan, prosedurnya adalah Pemprov Aceh dapat berkomunikasi dan berkoordinasi kepada Menkeu selaku pengelola barang untuk dapatnya mengubah PSP yang menetapkan Kemhan selaku Pengguna Barang.

Setelah itu, kata Wahyu, Kemenkeu tentu dapat melaksanakan beberapa mekanisme terkait penilaian maupun pertimbangan-pertimbangan lainnya.

“Apabila kemudian diputuskan oleh Kemenkeu untuk mengubah penerbitan PSP dari Kemhan menjadi kepada Pemprov Aceh", tentu Kemhan selaku Pengguna Barang akan memerintahkan TNI AD sebagai Kuasa Pengguna Barang untuk menyerahkan kepada Pemprov Aceh," kata Wahyu.

Sekali lagi, Wahyu menegaskan, TNI AD tidak mempermasalahkan jika Pemprov Aceh akan mengelola tanah tersebut. Tetapi, semuanya harus dilakukan melalui prosedur berlaku. "Tentunya setelah ada perubahan PSP, karena sebenarnya TNI AD juga sudah cukup banyak menerima bantuan tanah dari pemda di wilayah melalui mekanisme yang berlaku," ujar Wahyu.

Sengketa

Ada sebuah tulisan yang menarik, mengupas persoalan sengketa tanah Blang Padang yang ditulis Farhan Fajar dalam jurnalnya yang dipublikasi di “Jurnal Wahana Bhakti Praja”, Volume 6 Edisi 2, 2016.

Tulisan itu berjudul Upaya Dalam Penyelesaian Konflik Pertanahan (Studi kasus Konflik Penguasaan tanah Blang Padang Kota Banda Aceh Provinsi Aceh). Farhan Jafar menuliskan konflik saling klaim berlanjut tahun 2006 yang ditandai dengan pemasangan plang kepemilikan tanah oleh TNI-AD.

Farhan dalam artikel itu menulis panjang lebar tentang Blang Padang. Dia mengawalinya tentang pemasangan plang kepemilikan oleh TNI dipicu, oleh isu akan dibangunnya mall di atas tanah tersebut.

Selanjutnya pada tahun 2009, Pemerintah Aceh mendaftarkan tanah Blang Padang ke Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh guna mendapatkan sertifikat hak pakai atas tanah tersebut.

Beberapa upaya telah dilakukan demi mencari jalan keluar atas saling klaim tersebut, tapi seluruhnya mengalami jalan buntu.

Farhan menyebutkan, konflik tanah Lapangan Blang Padang yang terjadi antara Pemerintah Daerah Aceh dengan Pihak TNI-AD C.q. Kodam Iskandar Iskandar Muda merupakan salah satu kasus konflik dari sekian banyak konflik pertanahan yang terjadi di Aceh.

Dalam kasus konflik perebutan hak penguasaan atas tanah Blang Padang, pemerintah telah berupaya melakukan fasilitasi antara pihak terkait untuk mencari solusi pemecahannya, mengingat masalah ini telah terjadi dalam jangka waktu yang lama.

Konflik ini sendiri dimulai pada saat mulai berdirinya Kodam Iskandar Muda pada tahun 2003, ditandai dengan adanya saling klaim antara pihak Kodam IM dengan Pemerintah Kota Banda Aceh. Menurut masing-masing pihak merasa memiliki bukti untuk memiliki sertifikat hak pakai atas lahan tersebut.

Pihak Kota Banda Aceh melakukan permohonan pensertifikatan atas tanah tersebut sebagai upaya mengamankan aset Pemerintah Kota Banda Aceh secara legal. Di sisi lain, TNI juga melakukan upaya yang sama dalam melindungi aset mereka dengan memasangkan plang bertuliskan “tanah ini milik TNI” dengan tujuan membatasi klaim pihak lain.

Akan tetapi, secara hukum kedua belah pihak belum mempunyai acuan dasar kepemilikan yaitu berupa sertifikat.Sampai saat ini tanah tersebut masih berstatus quo, karena belum keluarnya sertifikat dari BPN.

Setelah dilakukan beberapa kali mediasi antara kedua aktor yang terlibat di dalam konflik tersebut, belum menghasilkan keputusan apapun.

Pada tahun 2008 Pemerintah Daerah Aceh menarik permasalahan tanah Blang Padang untuk menjadi wewenangnya dari Pemerintah Kota Banda Aceh. Puncak ketegangan atas status tanah tersebut adalah pada tahun 2009.

Kemudian dilanjutkan dengan pertemuan di Badan Pertanahan Nasional RI Jakarta pada tanggal 22 Juli 2010, untuk membuktikan keabsahan dari bukti masing- masing pihak.

Pemerintah Daerah Aceh dalam kesempatan itu menyampaikan bukti-bukti yuridis dan data fisik yang telah dikumpulkan. Sedangkan dari pihak TNI yang bernaung di bawah Kementerian Pertahanan menyanggah hal tersebut dengan menyampaikan bukti sanggahan atas dasar bukti dari Pemerintah Daerah Aceh sesuai Surat Sanggahan Departemen No. B/1251/09/27/847/Ditkon tanggal 14 Desember 2009 dan Surat TNI AD Kodam IM No. B/1945/XII/2009 tanggal 15 Desember 2009 disertai lampiran dasar hukum penguasaan tanah tersebut.

Hasilnya, status tanah tersebut masih tidak memiliki kekuatan hukum, tanah Blang Padang tidak bersertifikat.

Catatan Farhan, ada lima persoalan di Tanah Blang Padang. Pertama, perbedaan pandangan atau penilaian tentang status tanah, status hak atas tanah, keberadaan/sejarah tanah. Selain itu, berkaitan dengan perbedaan fungsi peruntukan dan perbedaan kebutuhan yang diupayakan untuk diwujudkan.

Kedua, pemasangan plang bertuliskan “Tanah ini milik TNI” dan plakat-plakat Kodam Iskandar Muda. Pemasangan plang dilakukan Tahun 2006, yang dilakukan oleh Kodam Iskandar Muda. Hal ini dilakukan untuk pengamanan aset negara yang diklaim milik TNI dan juga karena penginventaris sepihak oleh TNI dengan mendaftarkan Tanah Blang Padang ke dalam Inventaris Kekayaan Negara.

Ketiga, keterbatasan akses terhadap penggunaan lapangan Blang Padang. Keterbatasan ini dibuktikan dengan pemasangan portal pembatas di tiap pintu masuk ke lapangan Blang Padang.

Keempat, niat Pemerintah Daerah Aceh untuk mensertifikatkan tanah Blang Padang pada tahun2009 yang termuat di dalam koran Serambi Indonesia, tanggal 5 Desember 2009 dan kemudian mendapat sanggahan dan lampiran bukti-bukti dari TNI-AD c.q. Kodam Iskandar Muda melalui suratnya Nomor B/1945/XII/2009 tanggal 15 Desember 2009.

Dalam suratnya Kodam Iskanda Muda keberatan atas permohonan hak pakai tanah lapangan Blang Padang oleh Gubernur Aceh dan Surat Kementerian Pertahanan RI nomor B/1251/09/27/847/Ditkon tanggal 14 Desember 2009 perihal sanggahan terhadap rencana penerbitan sertipikat HP a.n. Pemprov Aceh atas tanah lapangan Blang Padang.

Kelima, adanya double dalam inventarisir aset, yang mana tanah Blang Padang ini telah terdaftar di dalam daftar aset Pemerintah Aceh pada Kartu Inventaris Barang (KIB) A tentang Tanah-tanah Asset Pemerintah Aceh dengan Nomor Register 0001 dan Nomor Kode Barang 01.01.13.01.12 dan juga terdaftar pada Inventaris Kekayaan Negara No.30101027.

Farhan juga mengurai ulasan yang cukup panjang soal sejarah tanah tersebut, dimana sebagian besar catatan sejarah ini menjadi landasan Gubernur Aceh Muzakir Manaf mengirimkan surat ke Presiden agar status tanah ini dikembalikan ke Nazir Masjid Raya Baiturahman.

Harus Dikembalikan Ke Masjid Baiturahman

Gubernur Aceh Muzakir Manaf alias Mualem sudah mengirim surat ke Presiden RI Prabowo Subianto terkait status tanah Blang Padang di Kota Banda Aceh. Menurut Mualem, tanah wakaf milik Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh harus dikembalikan kepada Nazir masjid.

Kini lahan seluas 8 hektare yang ada replika pesawat Suelawah itu berada di bawah penguasaan Kodam Iskandar Muda. Dalam suratnya surat bernomor 400.87180 tertanggal 17 Juni 2025, Mualem bermohon kepada presiden agar sengketa tanah itu diselesaikan.

Dia meminta Prabowo mengubah status lahan yang dikuasai TNI AD tersebut. Dalam suratnya, Mualem juga menjelaskan sejarah perjalanan status lahan Blang Padang. Menurut dia, tanah wakaf yang diberikan Sultan Iskandar Muda memang ditujukan bagi kepentingan dan kemakmuran Masjid Raya Baiturrahman.

"Kasus Blang Padang, sejak Sultan Aceh Iskandar Muda mewakafkannya, status tanah tersebut menjadi milik Allah secara hukum Islam, Baiturrahman Aceh (buku terlampir), dengan nazir (pengelola wakaf) dipercayakan kepada pengurus Masjid Raya," ucap Mualem dalam surat tersebut yang dikirim kepada Presiden.

Tanah Blang Padang ini, sejak tsunami 2024, pengelolaan Blang Padang secara sepihak di bawah Kodam Iskandar Muda (IM). Padahal, lahan itu menjadi bagian tidak terpisahkan Masjid Baiturrahman Aceh.

"Dari telaahan yuridis, penelusuran sejarah, hingga aspirasi masyarakat dan tokoh agama Aceh, tanah ini terbukti merupakan tanah wakaf yang sepatutnya dikembalikan kepada pengurus Masjid Raya Baiturrahman," ucap mantan panglima Gerakan Aceh Merdeka (GAM) tersebut.

Mualem pun menyusun lima argumen dalam suratnya untuk membuktikan status pemilik sebenarnya lahan tersebut. Untuk memperkuat argumen Pemprov Aceh, Mualem ikut melampirkan bukti kuat peta buatan Kolonial Belanda.

Salah satunya peta tahun 1875 Kaart Van Onze Tegenwoordige Positie Op Ajeh, yang memasukkan lahan Blang Padang dan Blang Punge, sebagai pengecualian dari wilayah pendudukan Belanda.

Dengan dasar kuat itu, Mualem berharap, Presiden Prabowo bisa membuat keputusan yang adil mengembalikan lahan itu untuk dikelola pengurus Masjid Baiturrahman. "Besar harapan kami, Bapak Presiden mengabulkan permohonan ini demi keadilan dan ketenteraman di Serambi Makkah," ucap Mualem.

Dalam suratnya bernomor 400.8/7180, tertanggal 17 Juni 2025, disertakan beberapa bukti terkait sejarah kepemilikan tanah wakaf Blang Padang yang terletak di Kampung Baru, Kecamatan Baiturrahman, Kota Banda Aceh.

Berdasarkan sejarah serta dokumen peninggalan Kesultanan Aceh dan dokumen Belanda, tanah Blang Padang beserta tanah wakaf di Blang Punge diwakafkan oleh Sultan Iskandar Muda untuk keperluan kemakmuran, kemaslahatan, dan pemeliharaan Masjid Raya Baiturrahman.

Dalam surat tersebut dijelaskan, tanah wakaf Blang Padang telah dikuasai secara sepihak oleh TNI AD melalui Kodam Iskandar Muda sejak 20 tahun lalu, pasca-tsunami Aceh.

Berdasarkan penelusuran sejarah, telaah yuridis, dan aspirasi masyarakat serta tokoh agama, tanah ini secara hukum Islam dan adat Aceh, terbukti tanah tersebut merupakan tanah wakaf yang seharusnya dikelola oleh nazhir Masjid Raya Baiturrahman.

Oleh karena itu, dalam poin keempat surat Gubernur Aceh, diminta agar status tanah Blang Padang dikembalikan sebagai wakaf Masjid Raya Baiturrahman.

Sementara itu, Jafar, Akademisi Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh, menyatakan terkait tanah Blang Padang telah tertulis dalam buku Van Langen (penulis Belanda). Buku ini bisa menjadi salah satu bukti lapangan, bahwa tersebut diwakafkan untuk Masjid Raya Baiturrahman.

"Dalam buku Van Langen disebutkan bahwa tanah Blang Padang adalah tanah wakaf dari Sultan Iskandar Muda kepada pengurus Masjid Raya Baiturrahman," kata Jafar, di Banda Aceh, Selasa (1/7/2025), dalam keterangnya kepada media.

Berdasarkan sejarah dan dokumen dan dokumen peninggalan kesultanan Aceh dan dokumen Belanda, tanah Blang Padang bersama tanah wakaf di Blang Punge diwakafkan oleh Sultan Iskandar Muda untuk keperluan kemakmuran, kemaslahatan dan pemeliharaan Masjid Raya Baiturrahman.

Jafar menjelaskan, berdasarkan hasil penelusuran Pemerintah Aceh di Belanda, juga ditemukan beberapa bukti yang memperkuat bahwa tanah Blang Padang memang milik Masjid Raya Baiturrahman, salah satunya buku Van Langen

"Kemudian, berdasarkan data dan dokumen yang ditemukan dalam arsip Belanda juga tertulis bahwa tanah tersebut merupakan milik Masjid Raya," ujar dosen Fakultas Hukum USK Banda Aceh itu.

Disebutkan Jafar, bukti dari Belanda memang tidak terlalu kuat, karena secara hukum di Indonesia, bukti terkuat itu adalah sertifikat. Namun, hingga hari ini kedua belah pihak tidak memiliki sertifikat atas tanah Blang Padang tersebut.

Meski demikian, lanjut mantan Asisten Pemerintahan dan Keistimewaan Setda Aceh ini, dokumen sejarah seperti buku Van Langen serta peta-peta Belanda tersebut dapat dijadikan alas hak, yaitu dasar pengurusan sertifikat kepemilikan.

"Sertifikat memang merupakan bukti tertinggi, tetapi bukti sejarah bisa menjadi pijakan awal dalam pengurusan hak resmi atas tanah tersebut," kata Jafar.

Tanah ini dikenal dengan nama tanah wakaf (Umeung/Wakaf), dikenal pula sebagai Oemong Sara). Menurut sumber-sumber sejarah kolonial mencatat bahwa Sultan Aceh Iskandar Muda menganugerahkan lahan-lahan tertentu sebagai Oemong Sara untuk Masjid Raya Baiturrahman Aceh di dua lokasi yaitu Punge dan Blang Padang.

Kemudian, K.F.H. Van Langen dalam bukunya De Incrichting van het Atjehsche Staatsbestuur onder het Sultanaat (1888) menjelaskan bahwa, Blang Padang (bersama Blang Poengai (Punge) adalah bagian dari lahan yang disebut 'oemong sara yaitu tanah wakaf milik Masjid Raya Baiturrahman Aceh.

Ciri tanah wakaf semacam ini tidak boleh diperjualbelikan atau diwariskan, dan hasilnya khusus digunakan untuk kesejahteraan institusi yang diwakafkan (Mauquf 'alaih).

"Pada kasus Blang Padang, sejak Sultan Aceh Iskandar Muda mewakafkannya, status tanah tersebut menjadi milik Allah secara hukum Islam, dengan nazir (pengelola wakaf) dipercayakan kepada pengurus Masjid Raya Baiturrahman Aceh (buku terlampir)," tulis Gubernur Aceh dalam suratnya.

Blang Padang adalah sebuah lapangan seluas lebih kurang 8 hektare yang berada di antara Jalan Iskandar Muda, Jalan Syekh Muda Waly dan Jalan Prof Abdul Madjid Ibrahim. Kita bisa melihat di lapangan ini warga sering melakukan kegiatan olah raga dan menikmati kuliner dan juga menjadi destinasi wisata. Di lapangan ini terdapat Monumen Thanks to The World dan Monumen Pesawat RI“001 Seulawah.

Monumen Thanks to The Word adalah sebuah monumen dibangun sebagai bentuk rasa syukur dan terimakasih Aceh kepada semua negara dan semua pihak yang telah membantu Aceh saat pasca gempa tsunami Aceh.

Sedang Monumen Pesawat merupakan replika dari pesawat Dakota RI-001 Seulawah yang merupakan sumbangsih rakyat Aceh untuk Republik Indonesia masa perjuangan Kemerdekaan dulu dan menjadi cikal-bakal pesawat terbang pemerintah Indonesia, Garuda Indonesia Airways.

Sejarah panjang Blang Padang ini ingin dikembalikan rakyat Aceh kembali ke fungsi awal, sesuai dengan amanah yang diwakafkan. Tidak boleh diperjualbelikan, atau dijadikan harta warisan.

Pada masa kerajaan Aceh dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda, saat itu, Lapangan Blang Padang merupakan areal persawahan rakyat. Lalu, Sultan mengambil alih dengan membeli lokasi persawahan tersebut.

Setelah itu Sultan Iskandar Muda mewakafkannya kepada imam Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh. Mengapa Blang Padang diwakafkan kepada imam Mesjid Raya Baiturrahman? Imam ketika itu tidak digaji, namun harus memenuhi kebutuhan hidup dalam menjalankan tugas sebagai panutan ummat.

Wakaf yang diamanahkan oleh Sultan Iskanda Muda dijadikan lahan sawah atau kebun untuk mencukupi kebutuhan hidup nazir masjid. Sejarah panjang ini kini akan dikembalikan Gubernur atas nama rakyat Aceh kepada fungsi semula.

Akankah tanah Blang Padang akan kembali kepangkuan Masjid Raya Baiturahman? Harus dikembalikan, karena amanah pemilik awal ketika menyerahkan tanah ini dengan tegas menyebutkan tanah itu adalah tanah wakaf Masjid Raya Baiturahman. [bg]

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI