DIALEKSIS.COM | Indepth - Presiden Prabowo bagaikan “menampar” majelis hakim dan penyidik atas hasil persidangan Tom Lembong. Sebelumnya, Mantan Menko Polhukam Mahfud MD juga sudah memberi penilaian, putusan hakim salah, ketika hakim menjatuhkan vonis 4,5 tahun penjara dan dengan Rp 750 juta.
Tom Lembong melawan, tidak terima dirinya dijadikan target untuk dimasukan dalam jeruji besi. Di tengah perlawanan Thomas Trikasih Lembong, ahirnya Presiden Prabowo memberikanya “kado” terindah, Tom mendapatkan abolisi.
Apakah Tom Lembong merupakan target yang harus dijebloskan ke penjara? Mengapa orang yang tidak mendapatkan apapun dari kejahatan korupsi dan tidak ditemukan niat jahat, justru dihukum. Apa dasar hakim menjatuhkan vonis, bahkan menyebutkan Tom adalah kapitalis.
Bagaimana kejanggalan persidangan ini, sampai Tom Lembong mengajukan banding, mengapa Mahfud MD bersuara, sampai ahirnya Presiden Prabowo memberikan abolisi? Dialeksis.com merangkumnya dalam sebuah tulisan.
Vonis Hakim Salah
Thomas Trikasih Lembong dijatuhi hukuman penjara 4,5 tahun dan denda Rp 750 juta, oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta. Sebelum Presiden Prabowo memberikan abolisi (hak kepala negara menghapuskan hak tuntutan pidana) putusan yang dijatuhi majelis hakim dinilai mantan Menko Polhukam Mahfud MD merupakan keputusan yang salah.
"Setelah saya mengikuti isi persidangan dan mendengar vonisnya, maka menurut saya vonis itu salah," kata Mahfud, seperti dilansir Kompas.com, Selasa (22/7/2025).
Mahfud mengakui, awalnya ia menilai penetapan Tom Lembong sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait impor gula sudah sesuai dengan aturan hukum.
Mahfud menjelaskan bahwa seseorang dapat dijerat sebagai tersangka kasus korupsi apabila memperkaya diri sendiri atau orang lain, atau korporasi dengan cara melawan hukum dan merugikan keuangan negara.
"Jadi, meskipun Tom Lembong tidak menerima dana tersebut, tapi jika memperkaya orang lain atau korporasi, maka bisa disangka korupsi jika ditambah unsur melawan hukum dan merugikan keuangan negara," sebut Mahfud MD.
Namun, setelah mengikuti proses persidangan, Mahfud MD menilai, hakim telah melakukan kesalahan dengan menjatuhkan hukuman pidana terhadap Tom Lembong.
Alasannya, menurut Mahfud, jalannya persidangan tidak menemukan niat jahat atau mens rea dalam perbuatan Tom Lembong.
"Untuk menghukum seseorang, selain actus reus (perbuatan pidana), masih harus ada mens rea atau niat jahat. Dalam konteks vonis Tom Lembong ini, ternyata tidak ditemukan mens rea atau niat jahat," kata Mahfud.
Menurut mantan ketua Mahkamah Konstitusi ini juga menyinggung kebijakan impor gula yang dilakukan oleh Tom Lembong itu dilakukan atas perintah. Dengan demikian, kebijakan yang dilakukan Tom Lembong itu berasal dari hulu yang mengalir kepadanya, untuk diteruskan lagi sampai ke hilir.
"Menurut saya, tidak ada unsur mens rea sehingga tidak bisa dipidanakan. Dalilnya 'geen straf zonder schuld', artinya 'tidak ada pemidanaan jika tidak ada kesalahan'. Unsur utama kesalahan itu adalah mens rea. Nah, di kasus Tom Lembong tidak ditemukan mens rea karena dia hanya melaksanakan tugas dari atas yang bersifat administratif," kata Mahfud.
Mahfud menambahkan, vonis Tom Lembong juga mempunyai sejumlah kelemahan, misalnya tidak menunjukkan rangkaian logis tentang actus reus atau perbuatan pidana yang dilakukan Tom Lembong.
Pakar hukum tata negara ini juga menilai vonis tersebut lemah karena hakim membuat hitungan kerugian negaranya dengan cara sendiri, bukan merujuk pada perhitungan resmi yang dibuat oleh BPKP.
"Hakim juga bercanda lucu bahwa salah satu yang memberatkan Tom Lembong adalah membuat kebijakan yang kapitalistik. Tampaknya hakim tak paham bedanya ide dan norma," ujar Mahfud.
Oleh sebab itu, Mahfud pun mendorong Tom Lembong untuk berani meminta Pengadilan Tinggi dalam mengoreksi vonis hakim melalui banding.
Didakwa Jaksa dan divonis Hakim
Kisah tragis diawali Tom Lembong pada Oktober 2024, Kejaksaan Agung menetapkan Tom Lembong sebagai tersangk, dia didakwa telah merugikan negara mencapai Rp 578 M. Seiring dengan proses dan perjalanan waktu, pada 6 Maret 2025 Tom Lembong didakwa memperkaya diri dan orang lain dalam kasus impor gula ini.
Jaksa mengatakan perbuatan Tom membuat negara rugi hingga ratusan miliar.Terdakwa Thomas Trikasih Lembong sebagai Menteri Perdagangan Republik Indonesia sejak 12 Agustus 2015 sampai dengan 27 Juli 2016 telah melakukan atau turut serta melakukan perbuatan secara melawan hukum.
Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara sebesar Rp 515.408.740.970,36 yang merupakan bagian dari kerugian keuangan negara sebesar Rp 578.105.409.622,47," demikian materi dakwaan jaksa penuntut umum saat membacakan dakwaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (6/3/2025).
Tom didakwa jaksa melakukan kejahatan pidana korupsi bersama 10 orang lainya, yang semuanya merupakan pejabat direktur dari perusahaaan.
Seperti dilansir Detik.com, angka Rp 515 miliar yang disebut jaksa itu adalah jumlah uang yang telah dinikmati oleh 10 orang pengusaha. Jika dilihat dari jumlah kerugian yang disebutkan jaksa Rp 578 miliar maka ada selisih sekitar Rp 62,6 miliar, dalam dakwaan Tom Lembong, jaksa tidak menjelaskan dengan rinci kemana larinya selisih uang tersebut.
Tom Lembong didakwa melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahaan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Pada 4 Juli 2025, jaksa menuntut Tom Lembong 7 tahun penjara dan denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan. Jaksa meyakini Tom bersalah dalam kasus korupsi impor gula di Kementerian Perdagangan.
Jaksa mengatakan Tom Lembong selaku Mendag pada periode 2015 hingga 2016 telah menerbitkan 21 pengakuan atau persetujuan impor gula kristal mentah (GKM) dalam rangka penugasan pembentukan stok gula dan stabilitas harga gula kepada 10 orang tersebut.
Menurut jaksa, penerbitan 21 persetujuan impor itu diterbitkan Tom Lembong tanpa disertai rekomendasi Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Dakwaan dan tuntutan jaksa telah membuat majelis hakim Tipikor Jakarta ini (dipimpin oleh ketua majelis hakim Dennie Arsan Fatrika, dengan dua hakim anggota, yakni Purwanto S. Abdullah dan Alfis Setyawan) menghukum Tom 4,5 tahun penjara dan denda Rp 750 juta subsidair 6 bulan kurungan.
Menurut majelis hakim, kebijakan Tom Lembong mengimpor gula kristal mentah telah merugikan negara sebesar Rp 194.718.181.818,19 atau Rp 194,7 miliar.
Kerugian itu timbul akibat kemahalan harga pembelian gula kristal putih (GKP) PT PPI kepada perusahaan gula swasta yang mengimpor gula kristal mentah (GKM) atas izin Tom Lembong.
Majelis menyebut, harga pokok penjualan (HPP) gula saat itu Rp 8.900 per kilogram. Namun, PT PPI membeli dari para produsen itu senilai Rp 9.000 per kilogram.
“Didasari atas perbuatan secara melawan hukum telah pula mengakibatkan kerugian keuangan negara in casu kerugian keuangan PT PPI Persero karena uang sejumlah Rp 194.718.181.818,19 .
Hakim menilai, kebijakan Tom Lembong dalam mengimpor gula hanya mengedepankan ekonomi kapitalis, alih-alih ekonomi Pancasila.
"Terdakwa pada saat menjadi Menteri Perdagangan kebijakan menjaga ketersediaan gula nasional dan stabilitas harga gula nasional lebih mengedepankan ekonomi kapitalis, dibandingkan sistem demokrasi ekonomi dan sistem Pancasila berdasarkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial," ungkap hakim saat membacakan hal-hal yang memberatkan tindakan Tom Lembong.
Selain itu, Tom Lembong juga dinilai majelis hakim tidak melaksanakan asas kepastian hukum dan meletakkan hukum dengan ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai dasar pengambilan setiap kebijakan dalam pengendalian harga gula, ketika menjabat sebagai Menteri Perdagangan.
Sebagai Target Tom Melawan
Demi harga diri dan ingin membuktikan dirinya tidak bersalah, Tom Lembong memberikan perlawanan. Dalam nota pembelaan atau pleidoi dipersidangan, Tom menuding jaksa tebang pilih dalam menetapkan tersangka kasus impor gula.
Menurut Tom, importasi gula juga dilakukan sejumlah koperasi namun tak ada tersangka dari koperasi tersebut.
"Ini menunjukkan bahwa Kejaksaan Agung menerapkan proses hukum secara tidak konsisten atau milih-milih, siapa yang ditersangkakan dan siapa yang tidak," ujar Tom saat membaca pleidoi, Rabu (9/7/2025).
Tom menilai penetapan tersangka dalam kasus ini dilakukan secara tebang pilih. Dia menyakini tersangka yang ditetapkan merupakan pihak yang sudah ditarget sejak awal seperti dirinya dan Charles.
"Tentunya jawabannya adalah bawah semua pihak tidak bersalah. Tapi Bapak Charles Sitorus ditarget, ke-9 Industri gula swasta ditarget, dan saya ditarget," ujar Tom.
"Sampai di sini saja kita sudah bisa melihat betapa banyaknya kejanggalan dan argumentasi aneh mewarnai proses hukum yang saya jalani dalam perkara importasi gula, dan banyak dari kejanggalan ini sudah terjadi bahkan sebelum Persidangan dimulai," tambahnya.
Pada momen sidang pemeriksaan terdakwa, Tom juga mengatakan hal serupa. Dia mengaku hingga saat ini belum menemukan kesalahannya dalam kasus korupsi impor gula.
"Bapak Ketua Majelis maupun Bapak-Bapak Anggota Majelis, saat ini saya merasa terpanggil untuk mengatakan bahwa sampai saat inipun saya masih belum menemukan kesalahan saya. Semua keluarga maupun teman dekat kerabat saya dapat menyampaikan bahwa saya, bahwa karakter saya itu sangat-sangat tidak lari dari tanggung jawab," kata Tom Lembong.
Tom mengaku sempat ragu dan merenungkan apakah ada kesalahannya dalam kasus ini. Namun, dia menyebut tetap tidak menemukan kesalahannya dalam kasus ini.
"Bahkan seringkali saya dapat ditanya kepada berbagai rekan kerja, saya sejauh mungkin menjemput tanggung jawab. Dalam proses hukum, proses persidangan ini, saya juga sempat ragu, pernah ragu, jangan-jangan ada sesuatu yang memang salah. Dan saya mencoba merenungkannya dengan sangat keras," kata Tom.
Selain itu, Tom juga mengaku akan tetap melakukan kebijakan impor gula jika kembali menjadi Menteri Perdagangan. Dia mengatakan akan mengambil kebijakan yang sama dengan yang diambilnya saat ini.
Seperti dilansir Detik.com, selang beberapa hari dari sidang tuntutan, majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta membacakan putusan untuk Tom Lembong. Hakim menyatakan Tom Lembong bersalah di kasus impor gula sehingga dijatuhi vonis 4,5 tahun penjara dan denda Rp 750 juta subsider 6 bulan kurungan.
Hakim tak membebankan uang pengganti kepada Tom Lembong karena tidak menerima uang dari kasus ini. Hakim juga memerintahkan agar jaksa mengembalikan iPad dan Macbook Tom Lembong yang sempat disita.
Hal memberatkan Tom Lembong menurut majelis hakim, dia mengedepankan ekonomi kapitalis, tidak melaksanakan tugas secara akuntabel, hingga mengabaikan hak masyarakat mendapatkan gula dalam harga terjangkau.
Hal meringankan ialah Tom belum pernah dihukum hingga tidak menikmati uang dari kerugian negara akibat kasus ini.
Atas vonis ini, Tom Lembong pada 20 Juli 2025 juga mengajukan upaya hukum banding. Pihak Tom Lembong menuding ada kejanggalan dalam putusan Tom Lembong.
Demikian dengan jaksa juga mengajukan banding. Kejagung juga mengajukan banding terkait vonis Tom Lembong, karena adanya perbedaan pendapat terkait kerugian negara.
"Kan dari Penuntut umum kerugian negara sekitar Rp 515 miliar kalau enggak salah. Terus diputus majelis mempertimbangkan sekitar Rp 180 miliar atau seratus berapa sekian, artinya ada selisih sementara kita sudah menyita sampe Rp 500 miliar. Itu salah satu objek dari memori banding, hal lainnya mungkin ada," jelas Kasi Penkum Kejagung Anang Supriatna, Rabu (23/72025).
Abolisi Presiden
Namun, saat roses upaya banding itu bergulir, Tom Lembong kini bisa bebas dari penjara. Jumat (01/08/2025) malam, Tom Lembong dan Hasto Kristiyanto keluar dari rutan sebagai orang bebas.
Presiden Prabowo Subianto memberikan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti ke Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, dengan kasus yang berbeda. Abolisi yang diberikan presiden setelah melalui proses dan tahapan resmi.
"Atas pertimbangan persetujuan DPR RI tentang pemberian abolisi terhadap saudara Tom Lembong," kata Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad seusai rapat konsultasi di gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (31/7)
Abolisi adalah penghapusan terhadap seluruh akibat penjatuhan putusan pengadilan pidana kepada seorang terpidana yang bersalah melakukan delik, yang diberikan oleh presiden.
Abolisi bisa dilakukan presiden karena presiden merupakan pihak yang memiliki kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan bersifat umum dan kekuasaan pemerintahan yang bersifat khusus. Adapun pemberian abolisi termasuk ke dalam kekuasaan khusus.
Hak presiden dalam memberikan abolisi pertama kali diatur dalam UUD 1945 hasil kemerdekaan. Dalam pasal 14 UUD 1945 terkandung bahwa "Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi".
Tom Lembong yang ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Negeri (Kejari) Jakarta Selatan, ahirnya bebas dari jeruji besi. Khusus untuk Tom Lembong telah membuat warna hukum di Indonesia menjadi perbincangan.
Majelis hakim yang memponis Tom Lembong bersalah dengan hukuman 4,5 tahun penjara dan denda Rp 750 juta (ketua majelis hakim Dennie Arsan Fatrika, dengan dua hakim anggota, yakni Purwanto S. Abdullah dan Alfis Setyawan) juga mendapat sorotan publik.
Ada hal yang menarik dari kasus Tom Lembong, Mantan Presiden RI, Jokowidodo ikut memberikan komentar atas abolisi Presiden Prabowo kepada Tom Lembong.
Jokowi dalam keteranganya yang dimuat berbagai media, meyakini keputusan presiden dengan memberikan abolosi dan amnesti pada Tom Lembong dan Hasto Kritiyanto telah melewati pertimbangan-pertimbangan.
"Sudah melewati pertimbangan-pertimbangan hukum, pertimbangan sosial politik yang sudah dihitung semua. (Untuk Pak Hasto?) Sama, itu hak prerogatif, hak istimewa presiden yang diberikan undang-undang dasar kita. Kita menghormati," jelas Jokowi.
Terkait jeda pemberian vonis dan persetujuan pemberian abolisi dan amnesti yang tidak terlalu lama, Jokowi menjawab bahwa perintah presiden pasti memiliki pertimbangan politik dan sosial politik, serta pertimbangan dari sisi hukum.
Benarkah Tom Lembong menjadi target? Walau dipersidangan dia tidak terbukti bersalah, seperti diungkapkan Mahfud MD, namun label sebagai terpidana disandangnya, yang ahirnya dibebaskan presiden melalui abolisi.
Soal target seperti diungkapkan Tom Lembong, jauh jauh hari Kejaksaan Agung (Kejagung) menegaskan bahwa kasus korupsi yang menjerat mantan Menteri Perdagangan Thomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong bukanlah politisasi hukum.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar mengkalaim, kasus korupsi Tom Lembong yang diusut oleh Kejagung murni bentuk penegakan hukum. “Dalam penanganan perkara terkait importasi gula tahun 2015-2016, tidak ada politisasi hukum," kata Harli di Kejagung, Rabu (30/10/2024).
"Ini murni penegakan hukum berdasarkan bukti permulaan yang cukup,” ujar Pupsen Kejagung. Namun faktanya di persidangan Tom Lembong tidak terlibat, tidak mendapat keuntungan dari impor gula ini dan tidak ada niat kejahatan, seperti diungkapkan Mahfud MD.
Apakah ini sebagai bentuk “tamparan” buat aparat penegak hukum dalam menegakan sebuah tatanan hukum di negeri ini. Dimana ahirnya presiden menaruhkan dawat tintanta dalam tanda tangan abolisi kepada Tom Lembong dan amnesti kepada Hasto. Bebasnya Tom Lembong melalui tinta Presiden Prabowo, menambah khazanah sejarah negeri ini.