kip lhok
Beranda / Liputan Khusus / Indepth / Transit Rohingya di Aceh Memunculkan Persoalan

Transit Rohingya di Aceh Memunculkan Persoalan

Sabtu, 02 Desember 2023 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Baga

DIALEKSIS.COM | Dialektika - Aceh menjadi kawasan paling 'aman' bagi kelompok etnis Indo-Arya dari Rakhine, Myanmar. Aceh dijadikan sebagai tempat transit. Dalam November 2023 ini saja ada 1.084 pengungsi Rohingya bertebaran di Aceh.

Kahadiran bangsa dengan bahasa Indo-Arya di India dan Bangladesh yang berlawanan dengan mayoritas rakyat Myanmar yang Sino-Tibet, telah memunculkan persoalan baru di Aceh.

Kapolda Aceh Irjen Achmad Kartiko meminta UNHCR tidak lepas tangan terkait pengungsi Rohingya terutama setelah warga dari beberapa daerah di Aceh menolak kedatangan para pengungsi.

Belajar dari beberapa kasus sebelumnya, masyarakat Aceh mulai merasa ada pihak-pihak yang memanfaatkan isu kemanusiaan, sehingga Aceh dijadikan pintu masuk untuk transit sementara pengungsi rohingya sebelum diseludupkan ke negara lain.

Bagaimana hingar bingarnya persoalan pengungsi Rohingnya di Aceh dan memunculkan persoalan baru, Dialeksis.com merangkumnya dalam sebuah laporan.

Banjir Pengungsi Manusia Perahu

Divisi Keimigrasian Kemenkumham Aceh,Ujo Sujoto menyebutkan, sebanyak 1.084 pengungsi etnis Rohingya Myanmar mendarat di berbagai pesisir Aceh dalam kurun waktu satu pekan terakhir (14-21 November 2023) dengan menggunakan perahu kayu.

Menurut Ujo Sutojo, berdasarkan data hasil koordinasi bersama pihak UNHCR, kedatangan pengungsi Rohingya ke Aceh, pada Selasa (14/11/2023) di Kabupaten Pidie sebanyak 194 orang terdiri dari 40 pria dewasa dan 49 wanita dewasa serta 105 anak-anak.

Kemudian, pada Rabu (15/11/2023) juga di Pidie ada 147 orang dengan rincian 30 pria dewasa, 38 wanita dewasa serta 79 anak-anak. Selanjutnya, pada Ahad (19/11/2023) kabupaten penghasil melinjo ini kembali didatangi 232 etnis Rohingya dengan rincian 67 pria dewasa, 87 wanita dewasa dan 78 anak-anak.

Di hari yang sama, pengungsi Rohingya juga mendarat di Kabupaten Bireuen sebanyak 256 orang, diantaranya 62 pria dewasa, 69 wanita dewasa serta 125 anak-anak.

Tidak sampai disana, sebanyak 36 imigran Rohingya juga ditemukan di Aceh Timur dalam sebuah truk kuning, dengan perincian 7 pria dewasa, 7 wanita dewasa serta 22 anak-anak 

Terakhir, pada Selasa (21/11) pengungsi Rohingya kembali mendarat di Aceh, kali ini di wilayah Ujong Kareung Kota Sabang sebanyak 219 orang. Terdiri dari 72 pria dewasa, 91 wanita dewasa dan 57 anak-anak. 

Secara keseluruhan ada 1.084 pengungsi Rohingya itu terdiri dari pria dewasa 278, perempuan 341 dan 465 anak-anak.

Saat ini, 511 pengungsi ditempatkan sementara di bekas gedung Imigrasi Lhokseumawe, 341 di kamp Mina Raya Padang Tiji, dan 232 orang di kawasan Kulee Kabupaten Pidie.

UNHCR Harus Bertanggungjawab

Kapolda Aceh Irjen Achmad Kartiko meminta UNHCR tidak lepas tangan terkait pengungsi Rohingya terutama setelah warga dari beberapa daerah di Aceh menolak kedatangan para pengungsi.

Menurut Kapolda dalam keterangnya kepada media, Kamis (30/11/2023) menyatakan, pihaknya telah menyelidiki, rata-rata pengungsi Rohingya yang tiba di Aceh memiliki identitas dari UNHCR berbahasa Bangladesh.

Kapolda menduga ada pembiaran dari UNHCR sehingga mereka bisa pindah dari Cox’s Bazar, Bangladesh, ke Indonesia.

“Kita menemukan bahwa orang Rohingya itu memiliki kartu UNHCR yang diterbitkan di Bangladesh dengan bahasa Banglades. Artinya UNHCR juga harus bertanggung jawab kenapa Rohingya ini lolos dari Bangladesh, sehingga ini bukan tanggung jawab kita semata,” ucap Kapolda Aceh.

Kapolda menyebutkan, pengungsi Rohingya masuk ke Tanah Rencong menggunakan kapal milik warga Bangladesh. Mereka disebut membayar sejumlah uang agar dapat berangkat menuju Indonesia. Para imigran Rohingya itu disebut kabur dari lokasi penampungan di Cox's Bazar, Bangladesh. Para imigran rata-rata sudah mengantongi kartu yang dikeluarkan UNHCR.

Kapolda Aceh menuturkan, polisi pernah menangkap warga Bangladesh yang diduga membawa Rohingya ke Indonesia. Pelaku disebut mengaku pengungsi Rohingya itu membayarnya namun jumlah bayaran tersebut masih diselidiki.

"Dia mengakui ada pembiayaan untuk masuk ke Indonesia. Kita duga ini jaringan penyelundupan manusia," jelas mantan Deputi Bidang Penempatan dan Perlindungan Kawasan Eropa dan Timur Tengah BP2MI ini.

Selain itu, pada pertengahan November polisi juga menggagalkan penyelundupan Rohingya di Aceh Timur. Imigran tersebut ditemukan dalam sebuah truk tak lama usai mendarat di Aceh.

"Sampai sekarang kita belum tahu tujuannya ke mana tapi berhasil kita gagalkan. Karena mereka tidak mau ditampung di sini lari ke daerah lain," lanjutnya.

Meskipun belum ada bukti perdagangan manusia, Kapolda yakin bahwa kasus ini terkait dengan penyelundupan manusia. 

Pihaknya menyebutkan, polisi akan mengantisipasi terjadinya konflik sosial antara masyarakat dengan pengungsi pasca terjadi penolakan di sejumlah tempat. Para pengungsi ditampung sementara karena alasan kemanusiaan.

"Jadi atas dasar kemanusiaan kita harus tetap melakukan pertolongan terhadap pengungsi ini namun tugas Polda di samping kita memberikan bantuan pertolongan juga kita menjaga agar tidak terjadi konflik antara masyarakat dengan para pengungsi," sebut Irjen Achmad Kartiko.

Soal Aceh menjadi transit kali ini juga terbukti. Polres Pidie berhasil menggagalkan pelarian 14 etnis Rohingya yang selama ini ditampung di Kamp Mina Raya, di Gampong Leun Tanjong, Kecamatan Padang Tiji. 

Manusia perahu itu berhasil ditangkap polisi dalam razia di jalan nasional di Kecamatan Grong-Grong, Pidie, Rabu (29/11/2023) malam. 

"14 etnis Rohingya itu kabur menggunakan mobil penumpang Hiace berhasil kita gagalkan di Kecamatan Grong-Grong," kata Kapolres Pidie, AKBP Imam Asfali, SIK kepada media. Menurutnya, ke-14 etnis Rohingya yang kabur menggunakan mobil penumpang Hiace itu, diperkirakan dengan tujuan Malaysia. 

Tidak terima pernyataan Kapolda Aceh, Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi PBB (UNHCR) Jakarta membantah tuduhan Kapolda Aceh Irjen Pol Achmad Kartiko yang menduga lembaga itu membiarkan orang-orang Rohingya di Cox's Bazar Bangladesh datang ke Indonesia.

"Saya ingin klarifikasi dulu konteksnya ya. Sebenarnya kata yang sesuai mungkin bukan 'membiarkan' ya," kata juru bicara UNHCR Indonesia Mitra Salima seperti dilansir CNNIndonesia.com, Kamis (30/11).

Menurutnya, pihaknya adalah organisasi PBB yang memiliki mandat untuk perlindungan pengungsi. UNHCR selalu mengadvokasi supaya negara-negara mengizinkan pengungsi untuk memperoleh akses suaka atau perlindungan.

Saat para pengungsi tinggal sementara di negara suaka seperti Indonesia, UNHCR bekerja sama dengan berbagai pihak untuk memastikan kebutuhan perlindungan mereka dipenuhi dengan cara yang tak membebani masyarakat.

Salima menilai para pengungsi tersebut juga bisa memberikan kontribusi kembali jika mereka diberi kesempatan.

"Indonesia selama bertahun-tahun sejak tahun 1970-an telah menjalankan tradisi kemanusiaan dalam menerima pengungsi dan kami berharap masih dapat melihat semangat solidaritas dan kemanusiaan yang sama kuatnya hingga saat ini," lanjut dia.

Dia juga mengatakan bahwa pengungsi adalah "orang-orang yang rentan dan terpaksa melarikan diri" untuk menghindari penganiayaan, konflik, atau perang yang bisa membahayakan nyawa mereka dan keluarganya.

"Advokasi ini tidak hanya kami jalankan untuk pengungsi Rohingya, tapi untuk semua pengungsi di dunia. Dan juga tidak hanya kami mintakan kepada Indonesia, tapi setiap negara di dunia," sebutnya.

United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) Perwakilan Indonesia atau Badan PBB untuk urusan Pengungsi, mengapresiasi tindakan penyelamatan yang dilakukan oleh otoritas Indonesia dan masyarakat Aceh, untuk menyelamatkan dan mengijinkan pendaratan bagi orang-orang yang menghadapi kesulitan di laut. 

Menuai Persoalan 

Kehadiran dan penerimaan masyarakat Aceh terhadap pengungsi Rohingya menuai persoalan baru. Sebagian masyarakat menolak keberadaan imigran asal Myanmar ini, akibat ketidakjelasan pihak terkait dalam menangani para pengungsi Rohingya di Aceh.

Aksi penolak kehadiran pengungsi karena ditangani tidak jelas oleh pihak berkompeten terjadi di berbagai daerah di Aceh. Selain itu, warga juga kesal karena para pengungsi dinilai tidak menghargai kearifan lokal dan mulai mengganggu ketertiban masyarakat.

Menyingung soal penolakan ini, Dosen Sosiologi Universitas Malikussaleh, Profesor Doktor Suadi, kepada Dialeksis.com, sebelumnya pernah memberikan masukan. Menurutnya, keputusan masyarakat untuk menerima keberadaan imigran Rohingya karena rasa kemanusiaa dan nilai solidaritas persaudaraan sesama muslim, sehingga masyarakat Aceh sangat simpati untuk menolong imigran Rohingya.

Seiring berjalannya waktu keberadaan imigran Rohingya mulai mendapatkan penolakan. Jika dilihat secara sosiologis penolakan masyarakat juga dipicu oleh keseharian para pengungsi itu, yang dinilai oleh masyarakat telah melenceng dari norma keagamaan maupun kemanusiaan.

Artinya orang yang ditolong harus sadar diri bahwa dirinya orang yang ditolong sehingga tidak menjadi raja tempat mereka ditolong.

Namun menurutnya, penolakan masyarakat tersebut bukan secara otomatis. Tetapi ada tuntutan dari masyarakat agar pihak terkait memberikan kepastian terkait penanganan imigran Rohingya di Aceh. Seperti jangka waktu hingga pola penanganan imigran Rohingya selama ditampung sementara di tanah rencong itu.

Suadi menambahkan, pihak terkait terutama lembaga yang mengurusi imigran Rohingya (UNHCR) diminta untuk berperan aktif untuk mengedukasi pengungsi tentang nilai kebudayaan masyarakat Aceh, pantangan apa yang harus dipatuhi oleh orang asing. 

“Ini untuk mengantisipasi terjadinya gesekan social, selain itu masyarakat sekitar juga harus diberikan edukasi tentang para imigran, seperti kehidupan imigran Rohingya hingga tanggung jawab masyarakat secara keagamaan,” pintanya.

Soal pengungsi Rohingnya yang mendarat di Aceh, juga menyita perhatian radio MQFM Bandung dengan menggelar dialog mengupas tuntas soal Rohingya yang bertemakan. Dialog dengan menghadirkan sumber ahli bertema "Dilematis Penanganan Pengungsi Rohingya".

Pengamat Kajian Asia Tenggara Muhammad Ichsan mengatakan, Rohingya adalah bangsa tersedih yang ada di dunia, karena mereka memiliki tanah tetapi tidak diakui oleh negaranya yakni Myanmar.

"Lalu mereka berpindah-pindah ke negara tetangga, khususnya paling banyak saat ini mereka mendarat dan datang ke Aceh, Indonesia," ujarnya.

Direktur Fokusparlemen Institute itu mengungkapkan, membludaknya pengungsi Rohingya ke Aceh karena laut Aceh ini sangat terbuka, mudah keluar masuk, pengamanan di laut juga mulai berkurang.

"Pengamanan dari segi pemerintah sangat lemah, kemudian pengawasan di laut Samudera Hindia khususnya Selat Malaka juga sangat lemah. Bagi Rohingya, Aceh sebagai daerah yang sangat hangat, aman bahkan masyarakatnya juga sangat ramah, mudah berinteraksi, apalagi memiliki keterkaitan faktor agama Islam,” jelasnya.

"Orang Aceh punya pola perasaan yang peduli terhadap penderitaan orang lain. Karena faktor itulah pengungsi Rohingya saban waktu terus berdatangan ke Aceh," ungkapnya.

Faktor lainnya, kata Ichsan, Indonesia tidak punya aturan yang ketat terkait Imigran. Padahal negara-negara ASEAN lain seperti Thailand mereka punya Undang-undang sangat ketat terkait manusia ilegal yang masuk ke negaranya.

Sebelumnya, sambung Ichsan, negara Malaysia sangat terbuka dengan Myanmar, tetapi di waktu berlainan mereka melakukan migrasi besar-besaran hingga akhirnya Malaysia kualahan menerima etnis Rohingya. Rohingya menjadi beban bagi pemerintah Malaysia maupun negara sekitar.

"Akhirnya masuklah ke Indonesia melalui jalur Selat Malaka yang mudah dijangkau bagi etnis Rohingya yaitu Aceh," imbuhnya.

Kini hal serupa pun telah terjadi di Aceh, awalnya etnis Rohingya yang datang ke Aceh diterima dengan hangat oleh warga Aceh, namun seiring berjalan waktu Imigran Rohingya memberi kesan tidak baik bagi masyarakat. Oleh karena itu, belakangan kedatangan mereka ditolak.

Agar Indonesia tidak dituding melanggar HAM, menurut Ichsan, Pemerintah Pusat bisa memberikan izin tinggal di suatu wilayah kosong, dengan didampingi lembaga internasional bergerak dibidang pengungsi, pasti ini akan lebih terarah.

"Mereka (pengungsi Rohingya) tidak mudah masuk ke lingkungan masyarakat lokal dan mengganggu adat istiadat. Seperti yang dilakukan Pemerintah Pusat pada tahun 1940 saat perang Vietnam, pernah memberikan izin tinggal di pulau kosong yaitu Pulau Rempang Batam untuk pengungsi tinggal," terangnya.

Penyeludupan dan Sudah Terpola

Membludaknya pengungsi Rohingya yang setiap tahun mendarat di Aceh menjadi perhatian salah seorang Pengamat Politik dan Keamanan Aceh, Aryos Nivada.

Aryos mengatakan, aktivitas Rohingya ini sudah terpola dan terkondisikan. Karena pengungsi ini rutin masuk ke Aceh dan selalu lolos. Sehingga diduga ada pihak-pihak tertentu yang memang mengkondisikan dan mengais keuntungan dari aktivitas ilegal masuknya penyusup Rohingya ke perairan Aceh.

"Menyikapi terkait rutinnya aktivitas pengungsi Rohingya yang datang ke Aceh, dari hasil yang saya cermati polanya memang terkondisikan. Sekaligus ini menunjukan bahwa memang ada andil orang organisasi tertentu dan juga pihak-pihak tertentu yang menginginkan Rohingya itu menjadikan Aceh tempat pengungsi Rohingya,” ujar Aryos kepada Dialeksis.com, Senin (27/11/2023).

Kenapa demikian terjadi? Menurut Aryos, karena mereka ingin memainkan pola perasaan orang Aceh yang peduli terhadap penderitaan orang lain. Pihak-pihak ini sangat paham bagaimana memainkan emosional orang Aceh sehingga dijadikan sebagai alat untuk menyusupi Rohingya ke Aceh. 

Selain itu, Aryos juga mengendus aktivitas penyusupan Rohingya ke Aceh karena adanya skenario dari pihak dunia internasional.

"Aktivitas ini bisa dikatakan juga bagian dari skenario tertentu dari dunia internasional, untuk bagaimana Indonesia dijadikan sebagai titik transit bagi pengungsi Rohingya yang memang sudah membludak di negara Asean. Ini terasa sekali dan terendus oleh semua pihak yang sudah paham akan pola permainan ini," ujar Dosen FISIP USK ini.

Hal terpenting yang perlu digarisbawahi pihak yang berkepentingan terhadap Aceh, Aryos meminta agar permainan penyusupan Rohingya ke Aceh ini agar segera dihentikan.

"Tolong hentikan permainan ini jangan sampai nanti akan jadi hubungan memburuk antara Indonesia dan Aceh dengan negara lain yang menyusupi Rohingya di Aceh. Ini juga menjadi pukulan bagi pemerintah setempat, dimana Aceh memiliki keterbatasan anggaran,” jelasnya.

Selain itu, pengungsi Rohingya sendiri diakui oleh masyarakat setempat banyak membuat ragam permasalahan di camp pengungsian. Hal ini dapat menyebabkan konflik horizontal antara masyarakat lokal dan rohingya,” jelas alumnus S2 Universitas Gadjah Mada ini.

Aryos berharap kepada pihak pemerintah khususnya agar tegas dalam menangani pengungsi ilegal yang masuk ke Indonesia. Karena disini kedaulatan dan keamanan negara dapat terancam apabila imigran ilegal dengan mudahnya menerobos perairan Indonesia.

"Saya berharap pihak Indonesia harus tegas kepada pihak-pihak tertentu yang memanfaatkan pengungsi rohingya dalam mengiring Rohingya masuk Indonesia. Perlu diberi sanksi tegas. Pemerintah Aceh juga jangan lepas tangan dan rutin menyambut Rohingya setiap tahun," jelasnya.

Bagaimana dengan penyeludupan pengungsi Rohingya seperti yang disentil Kapolda Aceh? Menurut Aryos, Dosen Ilmu Politik FISIP USK, menyebutkan, aktivitas penyelundupan manusia dilakukan oleh Kelompok penyelundupan manusia atau disebut people smuggling. 

People smuggling bermain dalam aktivitas penyelundupan pengungsi Rohingya. Hasil penelusuran tracking media, aktivitas ini dilakukan oleh imigran-imigran illegal asing yang menjadikan Indonesia, khususnya Aceh, sebagai wilayah transit,” kata Aryos.

Para aktor diantaranya, fasilitator keberangkatan imigran yaitu pihak yang menfasilitasi kepergian mereka dari negara asal. Kedua, fasilitator penjemputan imigran. Ketiga, oknum kelembagaan tertentu yang berupaya menggiring tanggung jawab pemerintah menyelesaikan masalah penyelundupan Rohingya secara ilegal di Aceh. 

Menurut Direktur Utama Lingkar Sindikasi itu, pihak The United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) dan International Organization for Migrant (IOM) perlu mengambil peran yang lebih aktif dan strategis untuk penanganan pengungsi yang datang dari luar negeri ke Aceh.

Sehingga keberadaan pengungsi tidak menimbulkan masalah sosial baru di Aceh. Keberadaan pengungsi di Aceh tentu menjadi perhatian serius pemerintah Provinsi Aceh terutama karena terbatasnya kewenangan dan ketersediaan anggaran membantu kebutuhan para pengungsi selama berada di wilayah Aceh,” jelasnya. 

Secara aturan pemerintah daerah tidak dibolehkan menggunakan anggaran untuk pengungsi asing. Pemerintah Indonesia harus berkomunikasi dengan UNHCR dan IOM untuk membicarakan perihal operasional serta kebutuhan para pengungsi yang menetap sementara di Aceh. Pemerintah Provinsi Aceh memiliki keterbatasan dana dan tidak ada alokasi khusus penanganan pengungsi Rohingya. 

Belajar dari beberapa kasus sebelumnya, masyarakat Aceh mulai merasa ada pihak-pihak yang memanfaatkan isu kemanusiaan, sehingga Aceh dijadikan pintu masuk untuk transit sementara pengungsi rohingya sebelum diseludupkan ke negara lain,” ungkap Aryos. 

Selain itu, Pendiri Jaringan Survei Inisiatif (JSI) itu mengungkapkan, alasan para pengungsi Rohingya kabur dari kamp di Aceh disebabkan oleh keinginan mereka yang tidak ingin menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan akhir. Indonesia menjadi tempat transit tujuanya Malaysia. 

Menurut Alumni Lemhannas itu, Pemerintah Indonesia harus bersikap tegas dalam penanganan penyelundupan Rohingya yang semakin tinggi berdatangan ke Aceh. Jangan mudah terjebak dengan rasa kemanusiaan sehingga dijadikan modus pemanfaatan oleh pihak tertentu untuk turut serta mengurusi pengungsi rohingya.

Selain itu, Pemerintah Aceh bersama negara Bangladesh secara bilateral perlu bekerja sama melalui mekanisme Interpol untuk membongkar oknum atau aktor penyelundup pengungsi rohingya ke Aceh. Sekaligus kerjasama operasi penanganan dan penindakannya.

Tak hanya itu, menurut Aryos, dalam penanganan darurat, UNHCR dan IOM perlu menguatkan peran lembaga Swadaya masyarakat di Aceh agar memiliki dan membantu para pengungsi rohingya di Aceh. 

Aceh sudah mengukir sejarah, setiap tahunya belakangan ini senantiasa didarati manusia perahu yang mengadu peruntungan untuk lebih baik dari negeri sendiri. Hujan emas di negeri orang telah membuat warga Rohingnya menjadikan Aceh sebagai daerah transit.

Namun kehadiran mereka yang didera penderitaan di negeri sendiri telah menambah persoalan baru untuk Aceh, untuk Pertiwi. Akankah setiap hadirnya pengungsi ini persoalan yang sama muncul kembali. 

Sudah saatnya pemerintah berbenah diri. Catatan sejarah soal Rohingnya jangan selamanya kelam dan menuai masalah. Mampukah pemerintah mengatasi persoalan ini? *Bahtiar Gayo

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda