DIALEKSIS.COM | Indepth - Sanak keluarga dan handai taulan sudah mendoakan mereka, semoga menjadi haji mabrur. Calon Jemaah ini juga sudah siap-siap, tiket sudah di tangan, koper sudah dikemas, dana ratusan juta telah dikuras, namun visa tidak jelas.
Detik-detik menjelang wukuf di Arafah menjadi waktu paling sakral dalam hidup umat Islam yang mendapat panggilan ke Tanah Suci. Namun, bagi ribuan calon jemaah haji asal Indonesia pada tahun ini, suasana haru itu berubah menjadi kegelisahan.
Mereka “tertinggal” pesawat. Ketika calon jamaah haji lainya dari Pertiwi dengan kuota resmi sedang khusuk beribadah, mereka yang masuk dalam paket Furoda dibalut harap-harap cemas. Belum ada kejelasan apakah mereka akan menunaikan ibadah di negeri sahara ini?
Para calon Jemaah haji ini disibukan dengan mencari informasi untuk mendapatkan kepastian. Namun kepastian ribuan calon haji lewat jalur non-kuota, atau yang dikenal sebagai haji Furoda nasibnya tidak jelas.
Undangan haji melalui jalur khusus yang menggunakan visa undangan Kerajaan Arab Saudi ini, telah melahirkan ketidak pastian. Hingga per 26 Mei 2025 pukul 13.50 WAS, pemerintah Saudi menutup sistem penerbitan visa haji.
Akibatnya, lebih dari 10.000 calon jemaah jalur Furoda gagal berangkat, meski telah membayar biaya fantastis, antara Rp373 juta hingga Rp975 juta per orang.
Tak sedikit dari mereka yang sudah berada di Mekah, namun terhambat pelaksanaan ibadah karena kartu identitas digital Nusuk yang tak kunjung terbit. Tanpa kartu itu, jemaah tak bisa mengakses tempat ibadah, hotel, atau kendaraan antar jemput resmi.
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Agama Nasaruddin Umar mengaku tak tinggal diam. "Kami terus komunikasi siang malam, tapi keputusan akhir tetap di tangan Arab Saudi," ujarnya kepada wartawan, Kamis, 29 Mei 2025.
Calon jemaah kecewa. Bagi para jemaah yang kehilangan kesempatan langka berhaji tahun ini, bertepatan dengan Haji Akbar, momen spiritual 17 tahunan ketika wukuf di Arafah jatuh pada hari Jumat.
Fenomena visa Furoda macet bukan sudah pernah terjadi dan bukan pertama kali. Sejak visa ini dibuka secara terbatas oleh Saudi untuk tokoh-tokoh penting atau undangan khusus, celah ini kemudian dimanfaatkan oleh biro perjalanan untuk menggaet jemaah di luar kuota resmi.
Legal secara prinsip, tapi rentan penyalahgunaan. Akan menimbulkan kekecewaan calon jemaah haji.
"Yang dibutuhkan bukan ketatnya pengawasan, tapi perbaikan tata kelola yang baik, transparan, dan akuntabel," ujar koresponden Inilah.com, Abdur Rahim Ghazali, dari Mekah.
Firman M. Nur, Ketua Umum AMPHURI (Asosiasi Muslim Penyelenggara Haji dan Umrah Republik Indonesia), menyebut potensi kerugian jemaah per orang mencapai Rp40-81 juta, mencakup tiket, akomodasi, dan layanan yang tak bisa diklaim ulang. Sementara penyelenggara sendiri, katanya, bisa merugi hingga Rp2 miliar per rombongan 50 orang.
Sebagian travel, kata Firman, belum siap menyelesaikan tanggung jawab pengembalian dana atau konversi keberangkatan ke haji khusus tahun depan.
Di Semarang, 37 calon jemaah dari travel Fatimah Zahra batal terbang. Di Jawa Timur, setidaknya 1.200 calon haji dari Surabaya, Gresik, Sidoarjo, dan Malang juga harus menghadapi kenyataan. Dari Jambi, 35 orang juga gagal berangkat. Semua karena visa tak kunjung turun.
Apakah ini suratan? Timwas Haji DPR RI, yang dipimpin Marwan Dasopang, geram dengan lambannya informasi dari travel. Ia meminta agar penyelenggara tidak membohongi jemaah dengan janji palsu.
“Kalau sudah tahu tak dapat visa, sampaikan dengan jujur. Jangan rayu jemaah untuk berangkat tanpa prosedur,” ujar Marwan kepada media di Bandara Soekarno-Hatta, 27 Mei 2025.
Menurut Marwan, ada laporan calon jemaah yang terpaksa dipulangkan dari Madinah dan Mekah karena tak punya visa yang sah. Aparat Saudi bahkan menggunakan drone untuk melacak jemaah ilegal, menunjukkan betapa ketatnya pengawasan tahun ini.
Sementara itu, Mustolih Siradj dari Komnas Haji juga mendesak agar Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 direvisi.
“Regulasi untuk jalur furoda harus dibuat jelas agar tidak jadi ajang eksploitasi. Pemerintah harus hadir melindungi warganya,” katanya.
Saat ini, Furoda masuk dalam kategori non-kuota yang sepenuhnya bergantung pada kebijakan Saudi. Meski Indonesia mendapatkan jatah 8 persen untuk ONH Plus, kuota itu tidak mencakup jalur Furoda. Inilah yang membuat status hukumnya di Indonesia berada dalam zona abu-abu.
“Harus ada syarat, mekanisme, dan standar pelayanan yang diatur dalam revisi UU PIHU. Supaya masyarakat tidak terus dirugikan,” kata Mustolih.
Masalah Furoda hanyalah satu dari sekian banyak persoalan penyelenggaraan haji tahun ini. Sejak 2022, Arab Saudi meninggalkan sistem maktab (perwakilan layanan jemaah) dan menggantinya dengan sistem syarikah (perusahaan layanan).
Tapi alih-alih efisien, sistem ini malah menimbulkan kekacauan baru. Indonesia tahun ini dilayani oleh delapan syarikah, termasuk Al-Bait Guests, Rakeen Mashariq, Sana Mashariq, dan Rehlat & Manafea. Namun, pembagian layanan antar syarikah tak selalu sinkron.
Ada kasus jemaah lansia yang terpisah dari pendampingnya. Ada pula pasangan suami-istri yang terpaksa menginap di hotel berbeda karena dialokasikan ke syarikah yang berlainan.
“Kalau syarikah-nya tidak bagus, kenapa dipakai lagi? Evaluasi harus serius. Ke depan mungkin cukup empat syarikah saja asal berkualitas,” ujar Cucun Ahmad Syamsurizal, Wakil Ketua Komisi VIII DPR RI.
Masalah lain datang dari kartu digital Nusuk. Kartu ini adalah identitas utama jemaah di Tanah Suci, semacam KTP sekaligus tiket layanan. Namun distribusinya terlambat hingga sepuluh hari. Akibatnya, banyak jemaah tak bisa masuk Masjidil Haram atau naik bus resmi.
Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Hilman Latief, menyebut kendala terjadi karena paspor jemaah tertahan di syarikah yang berbeda dengan pengelola Nusuk. “Sekarang sisa distribusi tinggal kurang dari 10 persen,” katanya.
Namun, pengawasan ketua kloter juga dinilai lemah. Timwas Haji DPR mendapati data Nusuk tak langsung diproses saat jemaah tiba di Mekah. Padahal, data itu harusnya diproses sejak hari pertama untuk menghindari kendala akses layanan.
Hingga 30 Mei 2025, sebanyak 100 jemaah Indonesia meninggal di Tanah Suci. Mayoritas adalah lansia yang mengalami dehidrasi, hipertensi, dan infeksi saluran pernapasan.
"Kondisi cuaca ekstrem, kelelahan, dan kurangnya persiapan fisik jadi penyebab utama," kata anggota Timwas DPR, Ina Ammania.
Ia meminta agar layanan kesehatan ditingkatkan. Petugas juga diminta lebih aktif memantau kondisi jemaah, terutama yang lansia.
Tahun ini, Haji Akbar menjadi daya tarik luar biasa. Ibadah wukuf di Arafah bertepatan dengan hari Jumat, peristiwa langka yang hanya terjadi setiap 17 tahun sekali. Bagi umat Islam, momentum ini dipercaya membawa keutamaan spiritual berlipat ganda.
"Karena itu, animo jemaah luar biasa besar. Tapi kondisi seperti ini harusnya bisa diantisipasi jauh hari," ujar Firman dari AMPHURI.
Sebaliknya, pihak Arab Saudi justru mengetatkan akses masuk ke Mekah, belajar dari pengalaman tahun lalu ketika lebih dari 300.000 jemaah ilegal masuk menggunakan visa turis dan ziarah. Mereka membuat kekacauan hingga aparat menggelar razia besar-besaran.
Haji 2025 mencerminkan kompleksitas penyelenggaraan ibadah yang belum tertata dengan baik. Digitalisasi dan transformasi layanan memang memberi harapan, tapi jika tak dibarengi dengan kesiapan regulasi dan koordinasi lintas negara, maka kekacauan akan terus terulang.
Ke depan tantangan harus dihadapi. Indonesia harus belajar dari tahun ini, dari kegagalan visa Furoda, lemahnya tata kelola syarikah, hingga lambatnya distribusi Nusuk.
Semua membutuhkan reformasi sistemik. Sebab jika tidak, tahun depan Indonesia akan kembali menulis babak baru dari kisah lama. Akan ada lagi sejarah, ribuan jemaah yang gagal berangkat, dan impian suci yang tertunda.
Haruskah pengalaman pahit ini terulang kembali? Bukankah sejarah telah mencatatnya, bahwa Furoda dari Indonesia pernah gagal berangkat haji. Semoga sejarah kelam ini tidak lagi menghiasi Pertiwi. [arn]