kip lhok
Beranda / Kolom / 1.941 Orang Aceh Terlibat PKI Dibunuh dalam 28 Hari

1.941 Orang Aceh Terlibat PKI Dibunuh dalam 28 Hari

Senin, 20 November 2023 22:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bisma Yadhi Putra

Bisma Yadhi Putra, penulis sejarah. [Foto: Ist.]



DIALEKSIS.COM | Kolom - Kalau kita harus menamai peristiwa yang terjadi di Aceh dalam periode 6 Oktober hingga 2 November 1965, mungkin nama yang tepat adalah “Bulan Seribu Kematian”. Tentu saja jumlah orang yang terbunuh tidak pas 1.000 orang. Menurut rilis resmi komando militer di Aceh, dalam 28 hari itu sebanyak 1.941 orang dibunuh karena kedekatan ataupun keterlibatan mereka dengan PKI.

Salah satu faktor yang membuat banyaknya korban tewas dalam periode pendek itu adalah “ketidaktahuan massal”. Begitu mendengar kabar telah terjadi demonstrasi anti-PKI, orang-orang PKI Aceh segera meninggalkan rumah. Bersama keluarganya, mereka bersembunyi di tempat tertentu untuk menghindari kekerasan. Mereka bingung mengapa tiba-tiba suasana politik di Aceh memanas. Ditambah lagi, mereka pun tak tahu bahwa militerlah yang berada di belakang itu semua.

Ketidaktahuan itu lantas menjerumuskan ratusan kader PKI Aceh ke dalam celaka besar. Mereka justru pergi ke kantor polisi atau markas tentara untuk meminta perlindungan. Tanggal 7 Oktober, sebanyak 55 anggota PKI Aceh mendatangi salah satu markas tentara di Banda Aceh. Mereka kemudian “diamankan” di rumah tahanan. Keesokannya, jam setengah empat sore, dua tokoh PKI di Banda Aceh datang ke markas Pomdam-I dengan maksud sama.

Arsip militer menyebutkan, pada hari-hari berikutnya semakin banyak anggota PKI maupun ormas pendukung partai itu yang memohon perlindungan kepada militer. Menurut “Laporan Tahunan Lengkap Kodam-I/Kohanda Atjeh” (1965), pada 13 Oktober sebanyak 56 orang tiba di markas Kodahan A lalu ditempatkan di Rindam-I.

Fenomena ini bukan hanya terjadi di Banda Aceh. Di Pidie, sebanyak 45 kader PKI serta ormas sempalannya mendatangi markas tentara lantaran kebingungan harus bersembunyi di mana. Pada 12 Oktober itu, situasi di Pidie memang sudah cukup tegang. Di Kecamatan Ulim, massa “membakar rumah anggota PKI sedjumlah 7 buah”. Di Kecamatan Meureudu, sepeda motor milik anggota PKI dibakar massa. Selang sehari kemudian, pada jam 1 siang 14 Oktober, sebanyak 23 perempuan anggota Gerwani di Kota Bakti datang ke markas tentara Jon 113 untuk meminta perlindungan.

Massa anti-PKI tak senang dengan “perlindungan” yang diberikan militer kepada orang-orang PKI. Mereka melancarkan protes keras, menuntut agar semua kader PKI yang bersembunyi di markas-markas militer secepatnya dikeluarkan dari sana. Tembok rumah salah seorang komandan polisi jadi sasaran protes. Di tembok itu, massa menuliskan sebuah pesan berbunyi: “Djangan menghalang2i gerakan demonstrasi, lepaskan orang2 PKI jang minta perlindungan”.

Militer memang tak berencana menempatkan orang-orang PKI di markasnya hingga suasana mereda. Selagi kekerasan masih terjadi, militer justru mengeluarkan para pencari perlindungan itu. Pembebasan ini seperti melempar anak-anak ayam ke tengah gerombolan musang lapar. Mereka yang tadinya sempat terlindungi di dalam tembok markas militer kemudian diserang massa hingga tewas. Sebagian lainnya ditangkap militer lalu diangkut ke lokasi pembunuhan massal.

Namun, ada pula sedikit orang yang selamat usai keluar dari markas tentara. Pada pagi 16 Oktober, delapan kader PKI dari kawasan perkebunan Pulo Tiga, Aceh Timur, memohon perlindungan kepada Komandan Sektor Pertahanan setempat. Namun, kedelapan orang itu hanya “diberikan pendjelasan seperlunja” lalu “pada hari itu djuga telah dikembalikan kekampungnja masing2”.

Kedelapan orang itu selamat dari pembunuhan karena mau mengundurkan diri dari keanggotaan PKI. Militer kemudian mengubah status mereka menjadi “Ex CSS PKI Tamiang Hulu Pulo Tiga Ka Simpang”. Selain mengundurkan diri, mereka pun menyatakan kesediaannya untuk mendukung operasi militer dalam membasmi (memburu dan membunuh) orang-orang prokomunisme yang mendalangi G30S. Kedelapan orang ini terpaksa melawan partainya sendiri untuk menghindari kematian. [**]

Penulis: Bisma Yadhi Putra, penulis sejarah

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda