Aceh: Suku, Bangsa Atau Suku Bangsa?
Font: Ukuran: - +
Oleh: Otto Syamsuddin Ishak
Saya membuka buku karya Zulyani Hidayah, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia. Aceh termasuk salah satu dari sekian suku bangsa di Indonesia, sehingga terbentuk bangsa yang multikultural.
Hal yang menarik, Hidayah menggunakan istilah suku bangsa. Ada penggabungan dua kata yang memiliki artinya masing-masing. Kata Hidayah, suku artinya paruh atau bagian; sedangkan bangsa adalah “orang-orang yang menjadi penduduk sebuah negeri.
Kalau kita merujuk pada KBI, maka salah satu arti suku adalah “ a. golongan orang-orang (keluarga) yang seturunan; suku sakat; b. golongan bangsa sebagai bagian dari bangsa yang besar.
Jika demikian, pengertian suku bangsa menjadi segolongan orang yang seketurunan yang menjadi bagian dari bangsa. Sedangkan “bangsa/bang•sa/ n 1 kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri.
” Pengertian ini mirip dengan pemahaman Ben Anderson bahwa “Bangsa merupakan komunitas politik yang dibayangkan dalam wilayah yang jelas batasnya dan berdaulat.”
Kembali kepada pengertian suku bangsa, maka dapat dipahami sebagai orang-orang seketurunan yang membentuk sebuah komunitas politik. Lalu, apakah Aceh merupakan orang-orang seketurunan yang membentuk sebuah komunitas politik?
Dalam perspektif gelombang migrasi, meskipun secara arkeologis tidak dipakai lagi, orang Aceh terdiri dari Melayu Proto (Melayu Tua) dan Melayu Deutero (Melayu Muda) yang bergerak pada Zaman Logam (kurang lebih 1500 SM).
Bahasa tutur mereka adalah bahasa Austronesia. Melayu Tua di Aceh, antara lain: Batak (Sumatra Utara), Nias (pantai barat Sumatra Utara), Gayo (Aceh); sedangkan Melayu Muda, antara lain: Bugis, Aceh, Minangkabau, Jawa, Sunda dan lain-lain.
Mungkin ada gelombang ketiga migrasi, yang bilamana mengacu pada pengalaman Snouck adalah berdasarkan teori etimologis Tgk Kutakarang, bahwa orang Aceh berasal dari tiga keturunan, yakni: “Arab, Persia, dan Turki”.
Teori, yang menurut penyelidikan Snouck tidak ditemukan fakta sejarahnya. Meskipun demikian, pemahaman demikian telah menjadi keyakinan kebanyakan orang Aceh. Bahkan dirincikan sebagai akronim: Arab, Cina, Eropa dan Hindia.
Hindia sendiri masih terdiri dari Kling, Madras, Malabar, Chetties dan Gujarat. Jika dilihat pada asal-usul elite politik Aceh, maka mereka berasal dari bangsa Melayu, Arab dan Bugis.
Lalu, kita kembali kepada sebutan Aceh sebagai sebuah suku bangsa. Jika kita mempertimbangkan ketiga gelombang migrasi yang terjadi sejak 1500 SM hingga saat ini, maka hampir dapat dipastikan orang Aceh adalah manusia hasil hibridasi akibat mobilitas dari berbagai etnis atau suku, bahkan bangsa. Dalam lain kata, orang Aceh merupakan hasil pembauran dari berbagai gelombang migrasi dari Indocina hingga jazirah Arab.
Orang Aceh menjadi lebih dekat dengan definisi para ahli tentang bangsa yang modern, yang dipersatukan oleh persamaan sejarah dan cita-cita (Renan), persamaan nasib dan pengalaman (Bauer), adanya persamaan bahasa (Melayu), adat istiadat (Melayu) dan Agama (Islam) (Kohn); memiliki nama, menguasai suatu tanah air (Aceh), memiliki mitos-mitos dan sejarah bersama, budaya politik dan ekonomi bersama (Smith), dan tumbuh bersama dalam suatu wilayah yang jelas dan berdaulat (Anderson).
Hal ini diperkuat oleh terbentuknya Aceh dari berbagai lapisan komunitas politik yang bersistem kerajaan dan kesultanan, yang merentang dan yang teridentifikasi periode politiknya maupun tidak, yakni: Jeumpa (abad ke-7 M), Lamuri (abad ke-9), Peureulak (abad ke-9 M), Linge (abad ke-11), Samudera Pasai (abad ke-13 M), Tamiang (abad ke-14 M), Pedir (abad ke-15 M), Aceh Darussalam (abad ke-16 M), Kuala Batee (hancur abad ke-18 M), Kenegerian Trumon (abad ke-18 M), Daya, Lageuen, Lhokbubon, Lhokkruet, Lhokseumawe, dan seterusnya.
Jika demikian orang Aceh adalah sebuah komunitas politik yang terbentuk sejak abad 16 karena terbentuk dari hibridasi antar etnis, yang terikat oleh bahasa Melayu, adat istiadat Melayu, Agama Islam; dan memiliki teritorialnya, yakni Aceh.*
*Penulis adalah Ketua Pusat Riset Perdamaian dan Resolusi Konflik (PRPRK), Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.