kip lhok
Beranda / Kolom / Achmad Marzuki Hampir Dibunuh Tentara Jepang

Achmad Marzuki Hampir Dibunuh Tentara Jepang

Jum`at, 21 Juli 2023 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bisma Yadhi Putra
Bisma Yadhi Putra. [Foto: Ist.]

DIALEKSIS.COM | Kolom - Haji Amin membolehkan rumahnya menjadi tempat untuk mengadakan pertemuan penting dan bersifat rahasia. Pertemuan ini harus cepat-cepat dibuat untuk menyikapi perubahan politik yang baru saja dimulai di Aceh.

Bertempat di Lubok, Aceh Besar, rumah Haji Amin didatangi banyak peserta musyawarah. Di antara pemuda Aceh yang hadir, ada Achmad Marzuki, Abdullah Muzakir Walad, dan Teuku Mohammad Ali Panglima Polim.

Waktu mereka bertemu di rumah Haji Amin, bala tentara Jepang sudah mendarat di pesisir Aceh. Sementara itu, orang-orang Belanda di Kutaraja dan Aceh Besar langsung mengemas koper untuk melarikan diri ke tempat yang jauh dari pantai. Mereka sudah diperingatkan bahwa tentara Jepang akan memenjarakan atau membunuh orang-orang Belanda yang ditemui di sepanjang jalan.

Achmad Marzuki dan kawan-kawannya waktu itu bertugas sebagai “penjaga keamanan rakyat”. Mereka bertemu di rumah Haji Amin untuk membahas sikap apa yang mesti diambil usai tersingkirnya Belanda serta hadirnya Jepang sebagai kekuatan baru di Aceh.

Musyawarah akhirnya menetapkan bahwa para pemuda Aceh harus menjalin kerja sama yang baik dengan pihak Jepang. Jepang diyakini datang ke Aceh bukan sebagai penjajah baru melainkan penyelamat rakyat. Kepercayaan ini disambut baik oleh para pemimpin militer Jepang dengan menyatakan bahwa kedatangan mereka bertujuan untuk menyelamatkan agama Islam dari kolonialisme Belanda yang sudah cukup tua.

“Penyelamat Islam” adalah topeng yang dipakai militer Jepang untuk menipu rakyat Aceh. Tak lama setelah menduduki Aceh, para prajurit Jepang mulai bertindak semena-mena. Mereka menekan hingga mengasari penduduk.

Jepang bahkan secara sistematis mampu membuat sesama orang Aceh saling bertengkar. Pertengkaran ini diciptakan melalui kebijakan pengumpulan beras. Sebagian orang Aceh dipaksa untuk mengumpulkan beras dari penduduk desa. Tentara Jepang tak peduli para petani sedang tercekik musibah gagal panen atau merosotnya hasil panen sehingga mereka tak sanggup menyetor beras. Pokoknya beras untuk kebutuhan tentara Jepang harus terpenuhi. Orang-orang Aceh yang jadi pengumpul beras akhirnya terpaksa mengambil cadangan beras milik petani di desa-desa. Padahal cadangan beras itu hendak dimasak untuk makanan keluarga.

Orang-orang Aceh yang mendapat tugas tersebut kemudian jadi serba salah: kalau mengasihani rakyat, dihukum tentara Jepang; kalau menuruti tentara Jepang, saudara sendiri teraniaya.

Achmad Marzuki dan para pemuda Aceh lain akhirnya berbalik arah karena kecewa dengan kesemena-menaan Jepang. Pertemanan dengan Jepang diputus dan mereka mulai menggerakkan perlawanan.

Militer Jepang menindak perlawanan tersebut dengan kekerasan. Banyak pejuang Aceh yang ditangkap dan dibunuh tanpa proses hukum. Mereka yang jadi korban, antara lain, adalah Teuku Radja Djumat, Teuku Hasan Dick, dan Teuku Sulaiman Montasiek.

Sementara itu, para pemuda yang belum tertangkap hidup dalam rasa cemas. Lebih-lebih saat beredar rumor yang menyatakan bahwa militer Jepang sudah punya sebuah “daftar hitam” yang berisi nama-nama pemuda Aceh yang akan ditangkap untuk dibunuh, termasuk Achmad Marzuki.

Sebagaimana diceritakan Teuku Muhammad Ali Panglima Polim dalam memoar “Sumbangsih Rakyat Aceh bagi Republik” (1996), Jepang berhasil menangkap banyak pemuda Aceh dan mengeksekusinya.

Untungnya, operasi perburuan terhadap Achmad Marzuki dan kawan-kawan tak pernah mampu dituntaskan militer Jepang selama tiga tahun (1942-1945) mereka menduduki Aceh. Banyak pemuda yang akhirnya selamat setelah terjepit keadaan berbulan-bulan.

“Ada beberapa orang yang luput semata-mata karena lindungan Tuhan, yaitu Saudara Muzakir Walad, Saudara Achmad Marzuki, dan beberapa orang lain,” tulis Panglima Polim.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Achmad Marzuki diketahui menjabat sebagai Komandan Corps Polisi Militer di Aceh Barat. Orang-orang suka memanggilnya dengan nama Cut Amat. [**]

Penulis: Bisma Yadhi Putra (Sejarawan)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda