Minggu, 12 Oktober 2025
Beranda / Kolom / Antara Cincin Rakyat "Ilegal" Dan Karpet Merah Investor

Antara Cincin Rakyat "Ilegal" Dan Karpet Merah Investor

Minggu, 12 Oktober 2025 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Nurdin Hasan

Nurdin Hasan | Jurnalis Freelance. Foto: doc Dialeksis.com

 

 DIALEKSIS.COM | Kolom - Aceh adalah negeri yang sejak ribuan tahun silam dijuluki Suvarnadvipa (Pulau Emas). Sejarah telah membuktikan. Dari mulai Kerajaan Pedir yang merekrut terampil Persia hingga penjelajah Perancis, Agustin de Beaulieu, melihat emas menggumpal di lapisan tanahnya. 

Dari hulu Krueng Teunom hingga Pegunungan Geumpang, kilau logam kuning itu menjadi alasan para sultan membangun peradaban. Aurum juga yang membuat para pedagang Tiongkok singgah dan penjajah berlabuh. Kekayaan emas Aceh bukanlah isapan jempol belaka. Denys Lombard dalam bukunya mencatat Kerajaan Aceh pernah memiliki 300 tambang emas.

Namun, di era modern ini, narasi tentang emas Aceh seolah berubah menjadi lakon komedi satir yang pahit. Emas seharusnya membawa berkah. Ada pertanyaan menggelitik. Mengapa rakyat Aceh yang mencari rezeki dari bumi mereka sendiri dicap "ilegal", tetapi karpet merah digelar untuk mereka yang diklaim investor?

Bagaimana sebenarnya pusaran emas “ilegal” dan “legal" di Tanah Rencong? Pertanyaan yang paling fundamental dan bikin sakit kepala adalah, "Kalau memang pertambangan rakyat ilegal, kenapa perusahaan bisa legal? Jika buat investor legal, kenapa untuk pribumi menjadi ilegal?" 

Jawabannya mungkin tersembunyi dalam labirin regulasi dan modal. Data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Aceh menunjukkan, luas pertambangan emas ilegal (PETI) tercatat 6.805 hektar, yang tersebar setidaknya di delapan kabupaten.

Data Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS) memperlihatkan ironi lebih besar. Mengutip informasi dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Aceh, IDeAS mengungkapkan bahwa sebanyak 13 dari 64 izin usaha pertambangan (IUP) merupakan tambang emas, dengan luasnya 24.045 hektare, tersebar di enam kabupaten. 

Perusahaan Penanaman Modal Asing (PMA) terus bermanuver. Mereka katanya membawa duit besar dan teknologi canggih meski sering juga merusak lingkungan. Yang terpenting, dokumen izin lengkap dari pemerintah pusat dan daerah.

Sedangkan, penambang rakyat mungkin hanya bermodalkan linggis, dayung, dan ”nekat” dicap "ilegal." Kalau yang lebih besar dikit sudah pake becho. Rakyat dianggap merusak lingkungan, mencemari sungai dengan merkuri dan merugikan negara. Gubernur Aceh menyebut kerugian akibat PETI mencapai Rp2 triliun setiap tahun.

 Ini ibarat melihat seekor ayam yang harus dimatikan dalam karung padi. Rakyat yang seharusnya menjadi pemilik "padi" (baca: hasil bumi) justru diperlakukan layaknya hama. Kenapa? Karena skema perizinan tambang emas. Aturan mensyaratkan modal raksasa dan proses birokrasi yang rumit, menjebak rakyat kecil dalam ketidakmampuan. 

Maka, muncul pertanyaan retoris sedikit menyindir. Apakah legalitas hanya berlabelkan yang bisa dibeli pakai duit investor, tapi terlalu mahal ditebus dengan keringat asoe lhok? Dengan kata lain, investor dipersilahkan memungut hasil bumi Aceh dan dilegalkan?

 Bukankah ini namanya penjajahan gaya baru terhadap rakyat Aceh? Secara de jure, ini bukan penjajahan militer, tapi kolonialisme berbentuk korporatokrasi atau imperialisme ekonomi. 

Dulu, VOC (Belanda) coba memonopoli perdagangan emas urai Aceh. Tapi, upaya itu ditolak mentah-mentah oleh Sultanah. Hari ini, PMA beroperasi dengan izin yang sah, namun efeknya mirip. Kekayaan alam mengalir ke luar, meninggalkan lubang menganga dan kerusakan tanah Aceh.

 Perusahaan asing pernah ditolak oleh aktifis karena dianggap bakal merusak lingkungan. Janji kesejahteraan melalui lapangan kerja seringkali hanya isapan jempol. Warga lokal hanya menjadi buruh tambang, sementara keuntungan besar dibawa pulang ke negara asal investor.

 Tambang rakyat yang dicap ”ilegal” memang menaikkan pendapatan warga secara instan. Tapi, itu juga bisa membuat ketergantungan ekonomi dan memicu kecelakaan kerja hingga kematian. Patut dicatat bahwa tambang legal menimbulkan konflik sosial serius, sementara ilegal merusak hutan lindung dan mencemari sungai dengan merkuri. Jadi, sama-sama merusak.

Sejatinya, minat asing terhadap emas Aceh sudah ada sejak lama. Bahkan sejak abad ke-17, VOC mengincar emas Aceh. Operasi tambang emas skala korporat Belanda tercatat aktif di Meulaboh pada 1938 oleh Maatschappy Masmarsman. Sekarang, perusahaan PMA masuk seiring terbukanya keran investasi. 

 Lalu, kemana uang pajak hasil tambang dilarikan? Ini pertanyaan pamungkas yang menyentuh akar korupsi dan ketidakadilan. Jika mengacu pada tambang legal, uang pajak seharusnya masuk ke kas negara dan sebagian kembali ke daerah. Transparansi, audit, dan pengawasan terhadap kepatuhan perusahaan ini seringkali menjadi masalah klasik di Indonesia.

 

Sementara untuk tambang ilegal, tidak ada pajak yang masuk ke kas negara. Duit berputar di sana adalah "uang pelicin" atau "upeti" yang masuk ke kantong-kantong gelap. Panitia Khusus (Pansus) DPR Aceh, September lalu, mengungkapkan informasi yang bikin kopi pagi bisa tumpah dari gelas. 

 Dalam laporan Pansus itu disebutkan ada 450 tambang emas ilegal di delapan kabupaten, dan sekitar 1.000 unit ekskavator beroperasi tanpa izin. Setiap ekskavator, sebut Pak Dewan, menyetor Rp30 juta per bulan untuk oknum aparat. Kalau dikalikan setahun, bisa bayar kopi berapa orang?

Sekarang, apa yang harus diakukan? Setelah kita menertawakan dengan air mata betapa lucunya nasib pemilik rumah yang dilarang memungut emas di pekarangannya sendiri, saatnya bertindak. 

Pemerintah wajib memfasilitasi lahan yang digarap asoe lhok untuk menjadi wilayah pertambangan rakyat. Berikan rakyat izin, fasilitasi mereka teknologi ramah lingkungan (tanpa merkuri), dan dampingi agar hasil bumi mereka tidak cuma menguntungkan perorangan, tapi juga masyarakat. 

Selain itu, lakukan audit menyeluruh terhadap perusahaan PMA legal. Pastikan mereka patuh pada regulasi lingkungan dan sosial. Jika ditemukan melanggar, cabut izinnya tanpa pandang bulu. Jangan sampai ada anggapan, "hukum tajam ke rakyat, tumpul ke korporasi."

 Orang Aceh berhak tahu. Berapa royalti yang sudah disetor perusahaan legal? Kemana dana bagi hasil itu dialokasikan? Transparansi adalah kunci untuk menghilangkan kecurigaan bahwa emas Aceh hanya menggemukkan segelintir elite di pusaran kekuasaan.

Aceh punya kekayaan luar biasa. Sayangnya, anugerah itu seolah terperangkap antara kerakusan korporasi, kebingungan regulasi, dan kenekatan rakyat. Sekarang tugas kita, sebagai pembaca yang cerdas, adalah mendesak para pengambil kebijakan untuk mengakhiri sandiwara satir ini. Emas Aceh harusnya menjadi berkah, bukan simbol penjajahan modern dengan embel-embel legal.[]

Penulis: Nurdin Hasan | Jurnalis Freelance

 
Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
bank aceh