Anugerah Oksigen
Font: Ukuran: - +
Ketika dada Anda sesak, susah bernafas, apalagi saat negeri ini dilanda wabah Covid, mungkin baru Anda maknai mahalnya nilai oksigen. Satu unsur yang sangat dibutuhkan tubuh.
Bahkan, untuk saat ini pemerintah dibuat bingung memenuhi kebutuhan oksigen. Satu hari saja, oksigen yang dibutuhkan terhadap pasien terkena Corona mencapai 2.620 ton perhari, sementara produksi yang dihasilkan hanya 1.400 ton.
Menurut data Menteri Kesehatan ini dalam keterangan Persnya, menandakan bumi Pertiwi masih kekurangan sekitar 1.400 ton oksigen dalam satu hari. Itu juga untuk kebutuhan pulau Jawa dan Bali, belum lagi bila di daerah lainya bila ada ledakan pasien yang terpapar Covid-19.
Kini pemerintah sedang berupaya memenuhi kebutuhan oksigen. Apalagi lonjakan kebutuan oksigen makin meningkat. Sementara harga oksigen di pasaran juga meningkat tajam, lima kali lipat dari harga saat normal.
Untuk tabung oksigen ukuran 1 M3 yang biasanya dijual Rp 700.000 hingga Rp 800.000, kini menjadi Rp 1,2 juta hingga Rp 2,1 juta. Sedangkan harga isi ulang tabung oksigen yang sebelumnya Rp 30.000 per M3 kini menjadi Rp 150.000 per M3. (kompas.com).
Mahalnya harga oksigen di pasaran membuat saya merenung. Kalau dihitung dengan rupiah berupa uang yang harus saya keluarkan setiap harinya untuk membayar oksigen yang saya hirup?
Oksigen yang gratis atas karunia yang maha pencipta. Itu juga baru satu nikmat Tuhan yang saya yang saya dapatkan dengan gratis, bagaimana dengan nikmat Tuhan yang lainya yang selama ini juga dinikmati secara gratis.
Tidak sanggup dihitung, bila benar benar ingin dihitung. Begitu besarnya kasih sayang sang maha pencipta kepada mahluknya. Semuanya diberikan kepada manusia. Namun kebanyakan dari kita lupa akan anugerah itu.
Saat negeri ini dilanda pandemi Covid-19, bila kita mempergunakan nurani kita, sebenarnya Tuhan sedang menguji kita untuk menyadari diri bahwa kita adalah hamba bukan sang pencipta.
Banyak nikmat yang diberikan kepada kita, namun banyak diantara kita yang lupa diri, tidak pandai mensyukuri, justru membuat kerusakan di muka bumi ini. Banyak kewajiban kita sebagai mahluk yang kita lupakan, sementara kita lebih banyak menuntut hak.
Bukankah musibah, bencana ini bentuk peringatan Tuhan kepada kita sebagai mahluk? Tuhan memberikan cobaan karena kita mampu menghadapinya. Tuhan memberikan akal dan pikiran untuk kita gunakan dalam mensiasati wabah ini. Tantangan ini harus dihadapi.
Ketika kita dihadapkan dengan cobaan, ketika kebutuhan hidup kita ada yang “terganggu”, bukankah itu menandakan kita sebagai mahluk ada yang mengontrolnya. Kita tidak berkuasa atas segala sesuatu dari yang sudah ditetapkan yang maha kuasa?
Saat pandemi melanda negeri ini, bukankah menggugah akal dan nurani kita yang menyatakan kita adalah mahluk, bukan pencipta yang dapat menentukan.
Baru satu nikmat Tuhan berupa oksigen yang kurang dari tubuh kita, sudah terasa berat menghadapi tantangan hidup ini. Bagaimana kalau nikmat tuhan yang lainya tidak kita dapatkan?
Saya jadi teringat alunan syair lagu Rhoma Irama, kalau sudah tiada baru terasa, ternyata kehadiranya sangat bermakna. Ketika sesuatu yang kita butuhkan “hilang” kita baru merasakan kehadiranya sungguh bermakna.
Namun ketika kita masih diberikan kesempatan untuk memilikinya, banyak diantara kita melupakanya. Kiranya pandemi corona ini mampu mengetuk relung hati kita yang terdalam, bahwa kita mahluk bukan penentu segala galanya. **** Bahtiar Gayo/Pimred-Penjab Dialeksis.com