Senin, 09 Juni 2025
Beranda / Kolom / Bang Nasir Djamil Goyah, Ujian "Seumaloe" Aceh

Bang Nasir Djamil Goyah, Ujian "Seumaloe" Aceh

Senin, 09 Juni 2025 08:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Hendra Fadli

Hendra Fadli, SH., MH., Ketua Jaringan Nasional Aktivis 98 (JARNAS 98). Foto: doc pribadi


DIALEKSIS.COM | Kolom - Seperti strategi dalam ilmu militer yang diajarkan Carl von Clausewitz, perang bukan semata-mata soal kekuatan fisik, tetapi tentang kemampuan membaca konteks dan menguasai ruang keputusan. Dalam narasi politik kontemporer, dominasi bukan hanya ditentukan oleh siapa yang paling vokal, tetapi oleh siapa yang mampu mengendalikan arah permainan. Dan dalam konteks sengketa empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara, pertarungan itu kini benar-benar terjadi.

Kita harus jujur mengakui, Sumatera Utara tampak selangkah lebih maju. Mereka menunjukkan kelincahan dalam menembus dan mengelola ruang-ruang strategis di pemerintahan pusat, terutama di Kementerian Dalam Negeri. Hasilnya konkret, meski tim negosiator Pemerintah Aceh telah menyodorkan bukti historis, administratif, dan yuridis, keputusan Kemendagri justru berpihak pada Sumut. Surat Keputusan itu mencabut nadi psikologis rakyat Aceh sebuah pukulan telak terhadap klaim kedaerahan yang telah lama diyakini.

Langkah berikutnya dari Sumut pun tak kalah strategis. Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, dengan sigap menjalin komunikasi langsung ke Pemerintah Aceh. Tentu saja ini bukan sekadar kunjungan basa-basi. Seolah ingin membungkus kemenangan administratif dengan wajah yang ramah, Sumut menawarkan skema pengelolaan bersama atas empat pulau tersebut. Sebuah strategi soft power yang sejalan dengan konsep 'hegemonic stability theory' dari Robert Keohane, bahwa dominasi kekuasaan bisa tetap langgeng jika dibalut dengan narasi kolaborasi dan mutual benefit.

Namun narasi ini patut dicermati dengan tajam. Dalam logika geopolitik, tawaran pengelolaan bersama bisa dibaca sebagai jebakan diplomatik untuk menetralisir perlawanan publik Aceh. Ia tak ubahnya “politik pelunakan” untuk menurunkan tensi dan memecah konsolidasi perjuangan. Dan terbukti, efek psikologis itu mulai terasa. Forbes DPR dan DPD RI asal Aceh, yang semula kokoh sebagai benteng advokasi, mulai menunjukkan tanda - tanda melemah.

Salah satu indikator paling mencolok adalah pernyataan Nasir Djamil, anggota DPR RI dari Dapil Aceh, yang dikutip Komparatif.id pada 7 Juni 2025. Dalam keterangannya, Nasir secara terbuka mengakui bahwa keempat pulau tersebut secara administratif memang masuk ke wilayah Tapanuli Tengah. Bahkan ia mengapresiasi itikad baik Gubernur Sumut, dan menyarankan agar cadangan migas di sana dikelola bersama.

Di titik ini, kita mulai melihat bagaimana dominasi wacana bisa menggeser realitas hukum. Antonio Gramsci menyebut ini sebagai hegemoni kultural, ketika kekuasaan tidak lagi mengandalkan paksaan, tapi justru melalui pembentukan kesadaran kolektif yang membuat subordinasi tampak sebagai pilihan rasional.

Lalu, ke mana arah perjuangan Aceh berikutnya?

Jawabannya hanya satu ke Presiden Republik Indonesia, Prabowo Subianto. Sebab di tengah ketimpangan posisi dalam sistem pemerintahan pusat, hanya presidenlah otoritas yang mampu mengoreksi atau membatalkan keputusan kementerian. Dan peluang ini tidak tertutup. Presiden Prabowo dikenal memiliki kedekatan ideologis dan historis dengan banyak tokoh Aceh, terutama Gubernur Aceh, Tgk. H. Muzakir Manaf (Mualem). Keduanya memiliki sejarah panjang dalam kerja sama politik dan kepercayaan mutual.

Di tengah situasi ini, harapan besar terletak pada ketegasan Gubernur Aceh. Apakah Mualem akan tampil mengambil alih kendali narasi dan strategi? Akankah ia mengeluarkan “jurus pamungkas” Seumaloe Aceh, yang mampu membangkitkan kembali kesadaran kolektif dan konsolidasi perjuangan rakyat Aceh untuk merebut kembali hak-haknya?

Karena pada akhirnya, seperti yang diingatkan Hannah Arendt, kekuasaan sejati lahir dari tindakan kolektif yang didasarkan pada kesadaran bersama. Maka Aceh harus bersatu. Bukan hanya melawan secara legal, tetapi juga membangun kesadaran publik bahwa pertarungan ini bukan soal batas pulau semata, melainkan soal marwah, harga diri, dan masa depan wilayah yang bermartabat.

Semoga empat pulau itu, kelak kembali pulang ke pangkuan Nanggroe Aceh tercinta. Dan semoga perjuangan ini tidak dikhianati oleh kompromi-kompromi pragmatis yang mengabaikan nilai sejarah dan kehormatan daerah.

Penulis: Hendra Fadli, SH., MH. Ketua Jaringan Nasional Aktivis 98 (JARNAS 98)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI