Selasa, 23 Desember 2025
Beranda / Kolom / Banjir Sumatera dalam Perspektif Gender Ekologi: Ketika Alam dan Perempuan Sama-sama Dieksploitasi

Banjir Sumatera dalam Perspektif Gender Ekologi: Ketika Alam dan Perempuan Sama-sama Dieksploitasi

Senin, 22 Desember 2025 17:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Salsabila
Salsabila, Mahasiswa Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry. [Foto: HO/dokumen untuk dialeksis.com]

DIALEKSIS.COM | Kolom - Banjir yang berulang di Pulau Sumatera khususnya di wilayah Aceh dan Sumatera Utara seringkali dipahami secara sempit sebagai fenomena alam akibat curah hujan tinggi atau pola musim tropis yang ekstrim. Cara pandang ini melihat banjir terutama dari sisi teknis dan kondisi alam, sehingga banjir kerap dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari. Padahal, pemahaman tersebut justru menutupi kenyataan bahwa banjir juga merupakan hasil dari relasi kuasa sosial, kebijakan pembangunan yang tidak seimbang, serta praktik pengelolaan lingkungan yang cenderung eksploitasi. 

Melalui perspektif gender ekologi, banjir dapat dibaca tidak hanya sebagai fenomena fisik, tetapi juga sebagai gambaran dinamika kekuasaan antara negara, alam, dan kelompok masyarakat, terutama perempuan.

Artikel ini berangkat dari pandangan bahwa banjir di Sumatera tidak dapat dipahami sebagai peristiwa yang netral terhadap gender. Banjir justru memperlihatkan adanya keterkaitan antara kerusakan lingkungan dan posisi perempuan yang masih terpinggirkan dalam Struktur sosial dan politik. Untuk melihat keterkaitan tersebut, tulisan ini membahas tiga hal utama. 

Pertama, bagaimana konsep gender ekologi dapat digunakan untuk memahami bencana secara lebih kritis. Kedua, bagaimana praktik eksploitasi lingkungan di sumatera berkontribusi terhadap meningkatnya risiko banjir. Ketiga, bagaimana kondisi banjir pada akhirnya memperburuk ketimpangan gender yang sudah ada di masyarakat. Pada bagian akhir, artikel ini juga menyoroti pentingnya kebijakan yang mampu merespons krisis lingkungan dan sosial secara bersamaan.

Gender Ekologi sebagai Kerangka Analisis

Istilah gender ekologi menggarisbawahi bahwa hubungan manusia dengan alam tidak bebas nilai atau netral sosial akan tetapi sebaliknya, mereka dibentuk oleh struktur kuasa yang terjadi dalam masyarakat. Perspektif ini melihat bahwa perilaku terhadap lingkungan selayaknya tidak dapat dipisahkan dari pembagian peran dan relasi gender yang berlaku. 

Para teoretikus gender ekologi berargumen bahwa perempuan sering kali mengalami dampak paling parah dari kerusakan lingkungan karena posisi mereka dalam sistem sosial baik secara ekonomi maupun budaya yang menempatkan mereka sebagai penjaga domestik dan pemelihara sumber daya lokal, tetapi sekaligus sebagai pihak dengan akses terbatas terhadap proses pengambilan keputusan.

Dalam tradisi patriarkal yang masih kuat di banyak komunitas di Indonesia, termasuk di Sumatera, perempuan sering diasosiasikan dengan tugas-tugas reproduktif seperti pengelolaan air bersih, pemenuhan kebutuhan rumah tangga, serta perawatan anak dan lansia. Ketika lingkungan rusak atau bencana terjadi, beban kerja ini semakin berat, sementara ruang partisipasi mereka dalam arena politik formal termasuk perencanaan, mitigasi, dan tanggap bencana tetap kecil. 

Gender ekologi tidak hanya menyoroti kesenjangan pengalaman ini, tetapi juga mengaitkannya dengan struktur kekuasaan yang menempatkan perempuan dan alam dalam posisi subordinat terhadap modal, negara, dan logika pembangunan yang maskulin.

Eksploitasi Lingkungan di Sumatera: Akar Permasalahan

Sumatera adalah salah satu pulau dengan tekanan ekologis yang sangat besar di Indonesia. Sejak dekade terakhir abad ke-20 dan awal abad ke-21, berbagai praktik ekonomi seperti ekspansi perkebunan sawit, pertambangan batu bara, dan konversi hutan untuk infrastruktur telah mengubah lanskap ekologis pulau ini secara drastis. 

Deforestasi skala besar, hilangnya tutupan vegetasi, dan rusaknya sistem drainase alami meningkatkan risiko banjir karena berkurangnya kemampuan tanah dan vegetasi untuk menyerap air hujan.

Kebijakan pembangunan yang memberikan prioritas pada pertumbuhan ekonomi jangka pendek kerap mengabaikan kelestarian ekosistem, bahkan ketika dampaknya jelas terlihat. Regulasi tata ruang yang lemah, izin lingkungan yang mudah diperoleh, dan lemahnya penegakan hukum terhadap praktik illegal logging dan alih fungsi lahan menjadi pendorong utama degradasi lingkungan. 

Fenomena banjir yang semakin sering terjadi bukan sekadar fenomena iklim, tetapi merupakan dampak struktural dari cara kita memperlakukan alam sebagai sumber daya yang dapat dieksploitasi tanpa batas.

Di sini, gender ekologi membantu kita membaca bahwa eksploitasi alam ini tidak hanya merusak ekosistem secara teknis, tetapi juga memperdalam kerentanan sosial kelompok yang secara historis sudah dalam posisi kurang berkuasa. Perempuan pedesaan, petani kecil, dan masyarakat adat yang bergantung pada sumber daya lokal adalah pihak-pihak yang paling awal merasakan bagaimana rusaknya lingkungan memperburuk kehidupan sehari-hari mereka.

Banjir dan Ketidaksetaraan Gender: Pengalaman yang Berlapis

Dalam bencana banjir, pengalaman perempuan tidak sama dengan laki-laki. Dari perspektif gender ekologi, ada beberapa dimensi dampak yang perlu digarisbawahi:

1. Beban Kerja Reproduktif yang Meningkat

Perempuan sering memikul tugas domestik yang tidak hanya bersifat rutin, tetapi juga bersifat krisis ketika banjir terjadi. Mereka harus mencari air bersih, mengurus sanitasi keluarga, memasak di kondisi yang sangat terbatas, serta menjaga anak dan lansia di tengah ketidakpastian. Pekerjaan ini sering tidak terlihat dalam statistik resmi karena dianggap alamiah atau bagian dari tanggung jawab perempuan.

2. Akses terhadap Sumber Daya dan Bantuan

Skema bantuan pascabencana di banyak wilayah Indonesia, termasuk di Sumatera, seringkali disalurkan melalui kepala keluarga yang secara sosial biasanya adalah laki-laki. Akibatnya, perempuan yang bekerja di sektor informal seperti pedagang kecil atau buruh tani kehilangan akses terhadap bantuan ekonomi secara langsung, karena bantuan difokuskan pada unit rumah tangga, bukan pada individu yang memang paling membutuhkan.

3. Risiko Kekerasan dan Ketidakamanan

Tempat pengungsian sering tidak ramah terhadap kebutuhan perempuan, terutama terkait sanitasi, kesehatan reproduksi, dan ruang aman. Kekurangan fasilitas yang sesuai dapat meningkatkan risiko kekerasan berbasis gender selama situasi darurat. Sering kali, isu-isu ini dipandang sekunder oleh lembaga penanggulangan bencana yang masih dominan berorientasi teknis.

Relasi Kuasa: Negara, Alam, dan Gender

Analisis gender ekologi menempatkan negara sebagai aktor penting dalam memproduksi dan mereproduksi kondisi sosial-ekologi yang tidak adil. Negara melalui kebijakan pembangunan dan kebencanaan sering mengambil posisi maskulin yaitu kontrol teknis dan pembangunan infrastruktur besar sebagai solusi utama. 

Pendekatan ini cenderung menegasikan pengalaman lokal dan pengetahuan perempuan yang sering bersifat kontekstual, praktis, dan berbasis keberlanjutan ekosistem.

Partisipasi perempuan dalam proses pengambilan keputusan, dari perencanaan sampai evaluasi kebijakan, masih sangat kecil. Padahal, berbagai studi menunjukkan bahwa keterlibatan perempuan dalam tata kelola sumber daya cenderung meningkatkan keberlanjutan dan keadilan sosial. 

Ketika negara mengabaikan suara perempuan, kebijakan kebencanaan menjadi kurang responsif terhadap pengalaman nyata di lapangan dan cenderung mengulang pola yang sama pembangunan cepat tanpa mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan konsekuensi sosial yang timpang.

Menuju Kebijakan yang Sensitif Gender dan Ekologi

Menanggapi banjir dari perspektif gender ekologi bukan sekadar menambah bab di laporan kebencanaan, tetapi menuntut perubahan paradigma dalam cara kita membuat kebijakan. Beberapa poin yang perlu dipertimbangkan adalah:

1. Integrasi Perspektif Gender dalam Semua Tahapan Kebijakan

Partisipasi perempuan harus dijamin bukan hanya secara simbolik, tetapi secara substantif dalam perencanaan, mitigasi, respon darurat, dan pemulihan pascabencana.

2. Pengakuan pada Pengetahuan Lokal

Pengetahuan perempuan mengenai pengelolaan air, pangan, dan lingkungan lokal harus diakui dan dijadikan bagian dari strategi mitigasi bencana yang berkelanjutan.

3. Reformasi Kebijakan Lingkungan dan Tata Ruang

Pemerintah perlu memperkuat regulasi yang melindungi ekosistem dari eksploitasi berlebihan serta menempatkan prinsip keberlanjutan sebagai prioritas dalam pembangunan.

4. Penyediaan Infrastruktur yang Responsif Gender

Fasilitas tanggap darurat harus dirancang dengan mempertimbangkan kebutuhan khusus perempuan, termasuk sanitasi, ruang aman, dan layanan kesehatan reproduksi.

Penutup

Banjir di Sumatera, ketika ditelaah melalui lensa gender ekologi, menunjukkan bahwa alam dan perempuan sama-sama menjadi objek eksploitasi dalam struktur sosial-politik yang timpang. Bencana bukan sekadar fenomena alam, ia adalah akibat dari cara kita memposisikan gender, alam, dan kuasa. 

Ketika negara terus mengadopsi pendekatan teknokratis yang mengesampingkan pengalaman perempuan, kita hanya akan mengulang pola yang sama yaitu bencana dengan dampak yang semakin tidak adil.

Melampaui sekedar kontrol air, kebijakan kebencanaan harus diarahkan pada keadilan ekologis dan sosial. Perempuan bukan hanya pihak yang terdampak, tetapi juga subjek politik yang memiliki kapasitas untuk berkontribusi pada solusi. 

Mengakui hal ini adalah langkah penting untuk membangun masyarakat yang lebih tangguh dan setara di tengah tantangan krisis lingkungan yang makin kompleks. [**]

Penulis: Salsabila (Mahasiswa Prodi Ilmu Politik FISIP UIN Ar-Raniry)


Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI