kip lhok
Beranda / Kolom / Biarlah Mereka Bersenang-senang di Sisi Tuhan

Biarlah Mereka Bersenang-senang di Sisi Tuhan

Kamis, 13 Oktober 2022 19:30 WIB

Font: Ukuran: - +


Fauzan Azima. [Foto: Lintas Gayo]

DIALEKSIS.COM - Andai saja Tuhan memberikan kesempatan kepada saya untuk hidup kembali di masa depan dan memberikan kebebasan untuk memilih profesi, maka saya akan memilih sebagai pemusik dan penyanyi. Lho?  

Saya berpikir merekalah yang menjalani kesehariannya mendekati “profil” Tuhan: orang memuja, mengikuti, mengingat, mendengarkan, membahas dan mencoba merasakan untuk menjadi seorang penyanyi atau pemusik. Semua kesenangan itu tidak ada pada profesi lain.

Terlepas dari benar atau salah, contoh kecil ini dapat menjadi pembeda. Kalau ada tempat berdampingan antara dakwah dan konser musik, saya bisa pastikan, orang lebih banyak nonton pagelaran musik daripada mendengarkan ceramah. Bang Haji Roma Irama pun lebih banyak ditonton orang jika dia dan Soneta Grup menggelar konser ketimbang Bang Haji hanya tampil di atas panggung besar hanya untuk berceramah.

Begitulah dahsyatnya musik dan nyanyi mempengaruhi alam bawah sadar manusia. Bahkan Allah SWT meletakkan keistimewaan suara kepada Nabi Daud as. Saat dia bersenandung, suara yang diperdengarkan menyentuh nurani sukma dan nurani pendengar. Siapapun mendengar suara Nabi Daud as akan terperanjat dan menikmati.

Bahkan ikan-ikan rela melompat ke darat dan menahan rasa sakit hanya untuk mendengarkan Nabi Daud melantunkan Zabur di bibir pantai. “Ya Allah aku memohon kepadamu suara yang ringan, kuat, dan merdu, seperti suara Nabi Daud as”. Demikian doa yang kerap dimintakan oleh seniman di Gayo.

Pada era modern, hal ini ditunjukkan oleh, satu di antaranya, Ceh Sahaq, seorang penyanyi dalam seni didong Gayo. Saat dia meniup seruling atau menyenandungkan lirik berbahasa Gayo, ibu mengandung yang mendengar suara itu segera melahirkan bayi di tempat. Demikian berkharismanya suara Ceh Sahaq dari klub didong Teruna Jaya Kampung Toweren, Aceh Tengah.

Bagi saya, pemusik dan penyanyi adalah kelompok seniman adalah salju; kelembutan yang menyejukkan. Mereka yang disebutkan dalam doa iftitah yang diajarkan oleh Siti Aisyah ra, “Ya Allah cucilah kesalahanku dengan air, salju dan embun. ”Wa bil khusus mereka ibarat salju atau snowman (seniman) yang selangkah lagi menuju pada kesucian rohani.”

Di Eropa banyak patung-patung telanjang. Kalau dipandang dengan kaca mata etika, maka patung berbagai bentuk itu dengan mudah dilabeli sebagai pornografi atau tidak bermoral. Sama nasibnya seperti konser musik yang sering kali dipandang sebagai penyebar kemungkaran. Tetapi kalau dipandang dari segi hakikat atau eksotika, maka lagu dan patung adalah refleksi, atau bahkan menjadi “ayat nafsiah” yang harus menjadi perenungan.

Ayat nafsiah (diri sendiri), ayat kauniah (kenyataan alam dan sosial), ayat takhiriah (sejarah) dan ayat qauliah (Alquran) adalah satu kesatuan; semua saling melengkapi.

Agus Miftach, tokoh yang diperintah oleh Menteri Penerangan Ali Murtopo mengudeta Nahdlatul Ulama (NU) dari Ketua Tanfiziyah, Kiai Matori Abdul Djalil bercerita tentang satu kisah saat dia mendampingi Kiai Samsul As’ad Arifin, tokoh NU dan pendiri Pesantren Salafiah Syafi’iyah Situbondo, Jawa Timur, memenuhi undangan Presiden Soeharto di Istana Bogor.

Ada satu permasalahan yang dianggap para murid Kiai Samsul. Di pintu utama Istana Bogor terdapat beberapa patung perempuan telanjang. Agar sang guru tidak melihat patung-patung itu, murid menggiring sang guru berjalan masuk ke istana lewat pintu belakang.

Setelah selesai bersilaturrahmi dengan Presiden Soeharto, para murid lupa dan membiarkan sang kiai keluar lewat pintu utama. Apa yang ditakuti oleh para murid, saat membawa masuk kiai, terjadi. Kiai Samsul melihat deretan patung lantas berhenti. Kiai Samsul memandangi patung-patung telanjang itu. Para murid pun ketakutan, malu dan khawatir dimarahi, terutama saat Kiai Samsul mendekati patung perempuan telanjang.

“Puuih” Kiai Samsul meludahi bagian kemaluan patung itu.

Para santri semakin takut. Namun jawaban sang kiai sungguh mengejutkan.

“Biar ketok manine (supaya nampak maninya).” Kiai Samsul berujar sambil tertawa kecil.

Kiai Samsul tidak memandang patung telanjang itu pada tataran etika dan estetika. Dia melihat patung itu dalam tataran eksotika dan isoterik. Dalam seni juga ada pandangan hakikat (eksotika). Tergantung dengan kaca mata apa melihatnya.

Dalam etika dan estetika, patung, musik atau senandung bisa jadi salah. Tetapi dalam kacamata hakikat dan makrifat, dua hal itu merupakan cara manusia mengolah rasa dan perasaan melalui bait lagu kemudian disuarakan dan ketika tepat lirik, nada, ekspresi dan irama sehingga tanpa disadari hal itu bisa menjadi semacam pesan Tuhan.

Dalam berbagai peradaban, alat musik memiliki peran penting membentuk kebudayaan. Tanpa musik dan nyanyi, tidak ada peradaban dan kebudayaan. Tidak sekadar menghadirkan kesenangan, alat musik juga bisa digunakan untuk mengusir roh jahat. Misalnya, seruling dan alat musik tiup yang dimainkan Leo Rojas asal Indian. Orang Jepang juga memainkan pluit untuk mengusir roh penasaran. Begitupun Gus Teja asal Bali.

Alat musik petik asal Kalimatan bernama sape, kecapi di Sunda, dan sasando dari Nusa Tenggara Timur (NTT). Fungsi semua alat musik itu sama: mengusir roh jahat. Walapun sebenarnya, soal usir mengusir atau mengundang roh jahat, itu tergantung kepada niat penyenandung.

Makhluk halus atau manusia bunian kebenaran yang dianggap suci dan hidup di hutan-hutan, lawan dari manusia bunian limunan, juga memainkan alat musik rapai. Seperti bangsa jin lainnya, manusia bunian kebenaran hanya bisa memainkan alat musik pukul.

Orang Sunda memainkan dua alat musik sekaligus; seruling dan kecapi. Ini membuktikan mereka memiliki tingkat magis lebih tinggi ketimbang daerah lain. Bahkan Indian, yang terkenal dengan tingkat magis ekstrem, hanya menggunakan satu alat musik, yaitu alat musik tiup.

Akhirnya seperti kata Sayyidina Ali bin Abi Thalib ra, “Lepaskan segala sesuatu yang membuatmu stres dan sedih.” Dalam untaian kalimat lain, “Hiburlah hatimu, siramilah ia dengan percikan hikmah. Seperti fisik, hati juga merasakan letih.”

Bagi saya, anak negeri, harus terus bermusik dan bernyanyi. Soal jika kita ditanyai orang tentang musik, nyanyian, senandung, dan patung, jawab: “Biarlah mereka bersenang-senang di sisi Tuhan”.

Penulis: Fauzan Azima

Mantan Panglima GAM Wilayah Linge


Keyword:


Editor :
Akhyar

riset-JSI
Komentar Anda