kip lhok
Beranda / Kolom / Bila Maut Datang Menjemput, Antar Aku Sebagai Wartawan

Bila Maut Datang Menjemput, Antar Aku Sebagai Wartawan

Rabu, 15 Februari 2023 10:30 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Kali ini kebetulan Saya tidak mendapat undangan untuk menghadiri Hari Pers Nasional(HPN) yang dipusatkan di Medan.

Untuk mengisi kekosongan sore itu Saya mengajak Saipullah Wartawan Indonesia Global.Net Bandung untuk menemani Saya bertandang ke rumah pasangan wartawan sepuh, di Kompleks Perumahan Wartawan, Bale Endah.

Di tengah perjalanan Kota Kembang ini diguyur hujan.Kami buru-buru berlindung di bawah tol Buah Batu. Sepeda motor tua jenis astrea kami tinggalkan begitu saja, sembari memesan dua cangkir kopi dan teh. Pada pojok yang gelap itu terlihat tiga sosok pria Sumatera asal Tapanuli Utara sedang asyik berdiskusi tentang permainan judi online.

Mereka mengaku sebagai kondektur dan supir angkot kota ini. Begitu hujan reda Kami melanjutkan perjalan berzig-zak untuk meloloskan dari jebakan kemacetan. Bandung sekarang sekarang sangat berbeda dengan Bandung yang dulu. 1985-an jalan menuju Bale Endah sepi amat. Kini kepadatan jalanannya sudah merubah ke bahu jalan.

Tiba di rumah dipenuhi anggrek bergelantungan Jalan Sipatahunan 36 menjelang Magrib. Nama Sipanahunan ini adalah surat kabar zaman baheula. Semua nama jalan dikompleks wartawan ini ditambalkan sesuai nama surat kabar yang terbit di Jabar. 

Malam itu kami larut dalam obrolan panjang, hampir lima jam lebih. Obrolan kami sempat terjeda sekejap saat shalat Magrib berlangsung pada Sabtu 11 Februari 2023 malam. 

Semakin larut malam pembicaraan bernuansa nostalgia itu semakin asyik. Kunjungan silaturrahmi ini sekaligus menghibur pasangan tua yang sudah renta ini. Apalagi ini masih dalam suasana peringatan HPN.

Banyak hal menarik dikisahkan pasangan Wartawan ini. Awal 1960-an masih dalam tahun pergolokan di dalam negeri, yang bisa menginjeksi semangan kewartawan masa kini

Catatan ringan di bawah ini sangat berharga dan bagus untuk disimak. Konon ditorehnya masih dalam suasana memperingati bulan kelahiran pers di bumi persada ini.

Siapakah gerangan mereka ini? Pria berbadan kekar adalah Hamzah Ibrahim kelahiran 12 Juni 1939 di Dataran Tinggi Gayo, Aceh. Dia adalah seorang wartawan beken, kini hanya mampu mengitari sudut-sudut ruang rumahnya saja, sejak mengalami gangguan penglihatan pada matanya.

Pasangan setia di sebelahnya malam itu tidak lain, adalah seorang wartawati berkulit putih bertubuh imut, masih gesit sempat menghidangkan nangka segar ke hadapan."Dipersilakan, ini nangka dari batang enak sekali", ujarnya berkali-kali.

Sebelumnya kami menolak disuguhkan dinner malam itu. Usia isterinya ini sudah beranjak 78 tahun. Kedua mereka ini adalah sama-sama berprofesi sebagai wartawan perang pada awal 60-an.

Pasangan wartawan ini lebih banyak berkiprah di Bumi Parahyangan, selain pernah dikirim ke Maluku dan Sulawesi bersama sejumlah wartawan perang lainnya.

Awalnya terlibat dalam liputan perang di penghujung Pergolakan DI/TII hingga memasuki era konfrontasi Indonesia- Malaysia 1963-1966 dan disusul lagi masa Gestapu (Gerakan 30 September) PKI. Pada masa itu kedua insan pers berlainan jenis ini belum terlilit tali pernikahan, walau mereka sudah saling curi pandang dan saling berjalan bersama dalam liputan persnya.

Pria kelahiran, Kuta Lintang Aceh Tengah ini menceritakan kisah perjalanan hidupnya sebagai wartawan dimulai sejak 1962. Kala itu, tugas pertamanya sebagai korektor pada Harian Karya terbitan Sore di Bandung. 

Surat kabar ini di bawah asuhan A.K Jakobi, tokoh asal Blangkejeren, Gayo Lues, Aceh.Media tempat kerjanya masa itu masih mengandalkan mesin hand press.  Aksara terbuat dari bahan timah.

Katanya, memasuki bulan keenam baru dipercayaan sebagai wartawan bidang Hankam, hukum dan kriminal.

Produk jurnalistik perdana tanpa gambar yang dihasilkan itu berjudul "BANDUNG MEMBARA". Kebetulan pagi itu Hamzah sedang mengitari kota Bandung dengan berjalan kaki. Matanya menangkap kepulan asap hitam pekan di udara. Dia menapaki lorong mencari sumber apinya. Alangkah terkejut begitu aksi demo anti China sedang berlangsung.  Aksinya semakin bringas disusul pembakaran sejumlah sepeda motor, mobil serta pertokoan milik keturunan dilakukan kelompok mahasiswa ITB.

Berita pertamanya itu langsung menjadi Headline halaman depan dan malamnya terpaksa dicetak ulang, sangking laris koran yang menampilkan berita hot itu. Sementara surat kabar lainnya baru terbit besok. Sejak itu nama Hamzah Moeda itu pun semakin harum.

Para wartawan yang bertugas di bidang Hankam, hukum dan kriminal, pasti sering mundar mandir ke PT Ika (Ilmu Kepolisian), sekarang ini menjadi Kopassus. Tahun 1962 institusi ABRI itu masih digabungkan dengan Kepolisian Negara.

Sebagai wartawan Hankam Hamzah juga sangat rajin bertandang ke markas tentara AU itu. Pernah suatu ketika Dia dilibatkan dalam pengepungan kelompok bandit asal Ambon pada sebuah hotel terkenal pada dinihari.Bukan itu saja, suatu saat Dia diajak untuk ikut latihan di Lanud Margahayu(Kini Lanud Soelaiman), di tempat itu juga dilatih mental dan pisiknya menjadi seorang penerjun bersama perwira tinggi ABRI lainnya selama tiga bulan.

Dia sempat dibekali keterampilan latihan khusus dalam bidang penerjunan menghadapi masa konfrontasi Indonesia -Malaysia. Sukses dalam latihan pertama, Dianya kembali diikutsertakan dalam latihan jajaran RPKAD (RESIMEN). 

Di tempat baru ini, Dia dilatih bagaimana cara menggunakan senjata laras panjang untuk menghadapi musuh. Berkat ketekunannya, Dia memperoleh predikat sebagai penembak jitu bersama kepolisian lainnya di Tanah Pasundan ini.

Jenjang latihan berat di berbagai medan berat sekalipun telah dilalui. Termasuk keterampilan bongkar pasang persenjataan. Sosok wartawan moeda masa itu benar-benar siap berlaga di medan tempur, di manapun dan kapan pun perannya itu diperlukan. Bahkan, Dia sukses melakukan terjun payung berparasut di berbagai tempat, layaknya seorang prajurit tulen.

Di antara temannya itu ada yang direkrut langsung menjadi anggota ABRI dengan pangkat tinggi. Namun Hamzah tidak tergiur sedikitpun tawaran itu. Dia tetap memilih profesi sebagai wartawan abadi untuk dibawa mati kelak.

Para wartawan penerjun yang sudah terlatih ini sebelum menjalan missi operasinya senantiasa dikarantina di sebuah hotel mewah dengan suguhan makanan mewah pula selama sepekan.

Suatu ketika para wartawan terlatih ini dikumpulkan untuk suatu operasi rahasia, tapi ke mana titik sasaran penerjunan tidak diberitahukan. Padahal ketika itu mereka semua sudah dibekali diri dengan peta, persenjataan perang, kompas, payung parasut dan radio tangannya, bekal aneka obatan, dan ransum makanan, buku tulis serta bolpennya.

Waktu itu jarum jam menunjukkan angka 03.00 dinihari. Suasana gelap gulita kami diterbangkan ke titik sasaran, di perbatasan Indonesia- Malaysia. Seketika suasana berubah. Cuaca ekstrim mendadak mucul disertai hujan lebat dan kilauan petir menghias langit yang gelap itu. 

Guntur pun membahana di atas perbatasan Malaysia itu.Sedianya rencana penerjunan dilakukan sebelum fajar menyingsing. Namun, faktor cuacalah membuat komandan operasinya membatalkan rencana operasi penerjunan itu.Kedua Pesawat Hercules yang mengangkut 300 penerjun harus kembali ke Lanud asalnya, kenang Hamzah.

Menyinggung rencana operasi rahasia selanjutnya tidak memungkinan lagi, lokasi strategis dan nama para penerjun sudah kadung bocor pada pihak Malaysia.

Munculnya konfrontasi Indonesia- Malaysia masa itu, berawal dari Persengketaan dan penolakan penggabungan wilayah Sabah, Brunei, dan Sarawak diprakarsai presiden Soekarno. Wartawan Hankam masa itu selalu dalam siaga perang untuk membela tanah air tercinta ini. Jiwa dan raga serta pikirannya nya diharapkan bisa menjalani missi republik dalam mempertahankan negaranya.

Operasi militer masa itu dilakukan untuk melancarkan operasi Dwi kora dengan semboyan "Ganyang Malaysia". Pada masa itu, penulis masih kecil. Namun penulis masih terpatri di hati beberapa selogan pepatah dalam bahasa daerah untuk penyemangat rakyatnya menghadapi situasi konfrontasi. Terjemahan dalam bahasa Indonesia seperti ini: "Mari kita ganyang Malaysia, kalau ketemu PM Abdurrahman kepala dan badan kita penggal dua."

Sebagai peliput berita di berbagai wilayah operasi militer di masa konflik ini, tentu wajar kepada sosok mereka ini ditambalkan predikat “wartawan perang parahyangan.”

Masa itu Hamzah Ibrahim dan beberapa wartawan lainya juga ikut dalam operasi tersebut.Di antaranya Arifin Azman dari koran (Warta Bandung), dan Amir Zainun (Pikiran Rakyat) Dan Sarjono, dari Kantor Berita PIA (Perancis) langsung direkuit menjadi perajuti TNI AU dari pangkat Letnan Dua hingga berpangkat Letkol. ISNA Harahap (Warta Bandung) justeru terjun ke dunia pendidikan. Isna kemudian mendirikan Sekolah Tinggi Ilmu Hukum (STIH) Bandung dan terakhir menjabat sebagai Hakim Agung dan meraih predikat profesor.

Bukan hanya wartawan Parahyangan, ikut juga wartawan penerjun lain dikirim dari berbagai media Jakarta. Mereka itu adalah, Aris Ides Katopo koran (Sinar Harapan) dan Hendro Subroto dari (TVRI), serta beberapa Media lain ikut mengirim wartawannya, namun Dianya tidak ingat lagi nama teman lainnya nya itu.

Sebagai referensi buat generasi muda mendatang, kisah perjalanan hidupnya dalam dunia kewartawanan, Hamzah telah menorehkan dalam sebuah buku berjudul:"Bila Maut Datang Menjemput, Antar Aku Sebagai Wartawan".

Kini buku otobiografi ini yang ditulis bersama wartawan senior tergabung dalam MAWAS (Majelis Wartawan Senior) Jawa Barat, menjadi referensi berharga tentang gambaran perjuangan sosok wartawan ikut mempertankan negeri NKRI.

Saat menulis cerita ini, pikiran Saya sempat melayang pada sosok pasangan Wartawan Hoesen Yoesoef dan Isterinya Ummi Salamah juga seorang wartawati pejuang di Tanah Rencong.

Kalau Hamzah berjuang mempertahankan NKRI melalui koran media cetak dan menjadi penerjun langsung. Sementara Hoesen Yoesoef yang terakhir menjadi TNI AD berpangkat kolonel, justeru bergerilliya dengan Radio Rimba Rayanya. Kini di puncak Gunung Bener Meriah sana sudah didirikan Monumen Radio Rimba Raya.Ketika Hoesen sangat gencar melakukan propaganda untuk mengecoh dan membangkitkan semangat joeang rakyat mengusir agresi I dan II Belanda 1947 dan 1949.

Kembali pada kisah Hamzah berdarah Aceh ini. Pada masa pelatihan kedirgantaraan, Hamzah ini tercatat sebagai penembak jitu. Keterampilan dan kehandalannya ini sangat diharapkan menjadi perajurit terdepan dalam dunia peperangan. Begitupun, Hamzah tetap ogah direkrut menjadi tantara TNI AU.

Kejituannya dalam membidik sudah teruji, termasuk jitu dalam membidik hati si Teteh Endah, putri Parahyangan di negeri Sangkuriang ini. Bersama Teteh Endah Suheidah si wartawati Harian Bandung Post ini, dikarunia tiga putra dan seorang putri(Sepasang putra dan putrinya) sudah menghadap sang Khaliq.

Isterinya Endah Suhaidah juga sama berperidekat wartawan perang. Endah mengaku pernah diterjunkan dalam pasukan Kodam 6 Siliwangi dalam operasi pengejaran Kahar Muzakkar ke hutan belantara sana.

Kala itu malam mulai larut, namun mulutnya tetap berkomat kamit mengisahkan masa moedanya. Sepintas terlihat tampilan bodinya masih tegar. Tentu pria ini pasti tegap dan tampan di zamannya, bisik kami dalam hati.

Usianya pria ini berjalan 84 tahun, tapi suaranya masih lantang. Raut wajah dan gerak langkahnya, masih mencerminkan sisa kegarangannya bak seorang prajurit kedirgantaraan yang masih aktif. Memorinya mulai sedikit melemah ditelan usia.

Suami isteri ini kelihatan sangat happines saat dibesuk sahabat lamanya dari Tanah Rencong, Adnan NS dan wartawan muda Saipullah, seputaran suasana hari pers nasional 2023 ini.

Keyword:


Editor :
Zulkarnaini

riset-JSI
Komentar Anda