Budaya: Gerak Tanpa Ruh
Font: Ukuran: - +
Oleh: Otto Syamsuddin Ishak
Saya diajak oleh awakKesbangpol Provinsi untuk turut memantik diskusi yang bertajuk “Penguatan Budaya Berbasis Kearifan Lokal” di Meulaboh.
Topik itu semakin penting dalam upaya membangun ketahanan budaya dari suatu masyarakat di tengah arus globalisasi. Di mana, setiap diri bisa kehilangan identitas dirinya sebagai orang Aceh, dan lebih lokal lagi, sebagai orang Aceh Barat.
Jika kita merujuk bahwa masyarakat Indonesia adalah majemuk, atau bhinneka tunggal ika, lalu masyarakat Aceh adalah majemuk di dalam kemajemukan Indonesia. Maka masyarakat Aceh Barat adalah majemuk di dalam kemajemukan ke-Acehan. Lalu, bagaimana kita merumuskan identitas diri masyarakat Aceh Barat di dalam masyarakat Aceh dan Indonesia?
Lalu, Ketua MAA Aceh Barat menegaskan slogan tauhid tasawuf. Dan, Aceh Barat adalah salah satu pusat budaya di pantai Barat Selatan. Memang setiap kelokalan memiliki kearifan lokal yang umum dan unik. Hal yang unik inilah yang dapat menjadi salah satu identitas diri yang khas suatu masyarakat. Diskusi pun semakin bergerak dinamis.
Memang, basis budaya Aceh adalah Islam: tauhid dan tasawuf. Namun, sejauhmana kesadaran akan akar budaya ini berasal dari Islam? Misalnya, salah satu budaya seni di Aceh Barat berakar pada tasawuf? Misalnya, apakah ada penjelasan tentang rateb seuribee bahwa akarnya dari tasawuf? Padahal ada sejumlah varian di dalam tasawuf, maka akarnya berasal dari varian tarekat yang mana?
Diskusi semakin menarik, manakala kepala Kesbangpol Aceh Barat membicarakan masalah saman. Tepatnya, yang mana milik Aceh Barat antara Rapai Saman atau Tari Saman. Ketika mereka menegaskan bahwa Rapai Saman yang menjadi milik Aceh Barat, lalu, muncul penjelasan tentang gerak dan syair.
Namun, mereka tidak menjelaskan tentang asal usulnya atau berakar pada salah satu varian tasawuf. Mereka sedikit menyentil Syeikh Saman.
Ini pertanda bahwa sebuah produk budaya mulai tercerabut akarnya dari tasawuf. Saman hanyalah sebuah produk seni (estetika) gerak. Jika tanpa berakar dari sebuah metode tasawuf untuk menciptakan situasi ekstase sehingga religiusitas individu beranjak dari satu maqam ke maqam berikutnya, dan pelakunya menjadi insan kamil, maka seni itu menjadi tanpa ruh.
Sehingga, tidak bisa merekonstruksi individu yang religius, melainkan hanya lahir individu yang memiliki gerak yang estetis (indah). Enak dipandang, tapi tidak menyentuh hati nurani.
Kembali ke Rapai Saman, maka itu merupakan perpaduan antara dua metode tarekat, yakni Rifaiyah dan Samaniyah, sebagaimana adanya perpaduan antara tarekat Naqsabandiyah wa Qadiriyah, dan lain lain.
Rapai merujuk pada tarekat Rifaiyah, yang pendirinya adalah Abu al-Abbas Ahmad al-Rifai, faqih dari mazhab Syafii. Ia hidup di lahan rawa Bathaih, Irak Selatan, pada abad 13.
Latihan-latihan Rifaiyah menandakan kemenangan ruh atas daging, serta kefanaan di dalam realitas absolut. Secara lahiriyah, jika merujuk pada ritual-ritualnya, memperlihatkan ketahanan terhadap api dan ular.
Sedangkan tarekat Sammaniyah didirikan oleh Abdullah al-Syarqawi dan Muhammad ibn Abd al-Karim al-Sammani (1718-1775).
Baik Rifaiyah maupun Sammaniya merupakan persaudaraan yang tumbuh di dalam masyarakat miskin (dan tertindas). Mereka menjaga jarak dengan penguasa, maka metode-metodenya adalah untuk penguatan lahiriyah dan batiniyah.
Masalahnya, siapakah yang membawa dan memadukan kedua metode tarekat yang pro pada rakyat miskin dan tertindas itu ke Aceh Barat khususnya. Kondisi sosial Aceh Barat yang bagaimanakah kondusif untuk pengembangan Rifaiyah wa Sammaniyah? Siapakah lokal jeniusnya sehingga menjadi kearifan lokal bagi Aceh Barat?
Ada banyak informasi historis yang harus digali guna Rapai Saman tidak kehilangan ruh tasawufnya.*
*Penulis adalah sosiolog yang bermukim di Banda Aceh.