DIALEKSIS.COM | Kolom - Di panggung politik Aceh yang penuh intrik, nama Bustami Hamzah selalu menyisakan magnetisme. Setiap langkahnya tak sekadar mengundang perhatian, tapi juga memantik spekulasi, Apa lagi yang sedang dirancang politisi berjuluk "Sang Penabrak Pakem" ini? Kariernya bagai rollercoaster naik - turun, penuh manuver tak terduga, namun selalu berakhir di posisi strategis.
Kini, sorotan kembali mengarah padanya saat Musyawarah Daerah (Musda) XII Golkar Aceh menjelang. Bisakah ia mengulang sejarah sebagai kuda hitam?
Keputusan kontroversialnya mengundurkan diri sebagai Kepala BPKA di era Nova Iriansyah sempat membuat publik tercengang. Tapi Bustami membuktikan setiap langkah mundurnya adalah ancang - ancang untuk lompatan lebih jauh. Di bawah pemerintahan Achmad Marzuki, ia muncul bak fenomena menerobos jalur birokrasi konvensional untuk menduduki kursi Sekretaris Daerah (Sekda) Aceh.
Padahal, syarat formal seperti proses seleksi JPT Pratama dan restu Kemendagri seolah tak berlaku baginya. Jejaringnya yang kuat, ditambah manuver politik yang presisi, membuatnya melesat layaknya meteor.
Tak puas sampai di situ, Bustami kembali memainkan kartu masterstroke. Dukungan lintas fraksi di DPRA mengantarkannya ke kursi Penjabat Gubernur Aceh posisi yang biasanya menjadi "hak prerogatif" pusat.
Di sini, kecerdikannya membaca peta kekuasaan teruji: dengan lobi intensif ke Jakarta dan pendekatan pada tim inti presiden terpilih, ia sukses mengubah status dari "kandidat gelap" menjadi aktor utama dalam pemerintahan Aceh.
Kekalahan di Pilkada 2024 bukan akhir cerita. Justru, Bustami membalik logika umum: kegagalan menjadi bensin bagi ambisi berikutnya. Musda Golkar Aceh kini menjadi ajang uji nyali. Mengapa Golkar? Pertimbangannya dua lapis. Pertama, sebagai partai penguasa di tingkat nasional, Golkar menawarkan akses ke sumber daya politik strategis. Kedua, posisi Ketua DPW menjadi batu loncatan sempurna untuk mengonsolidasikan kekuatan jelang Pilkada 2029.
Hubungannya dengan kader Golkar bukan sekadar basa-basi. Sejak masa KNPI, ia telah merajut aliansi dengan kader senior maupun junior. Tak heran jika namanya disebut sebagai "kandidat kompromi" yang bisa mempersatukan kubu-kubu yang berseteru di internal partai.
Info santer tertangkap dalam radar, kunjungannya ke Solo untuk menemui Joko Widodo patut dibaca sebagai strategi multi-layer. Di satu sisi, ini adalah upaya memperkuat legitimasi dengan mendekati figur yang masih berpengaruh di lingkaran kekuasaan. Di sisi lain, langkah ini mengandung risiko: bagaimana reaksi Bahlil Lahadalia selaku Ketum Golkar yang dikenal dekat dengan Jokowi? Bustami seolah bermain api memanfaatkan celah antara hubungan personal Jokowi-Bahlil dengan kepentingan struktural partai.
Pertanyaan besar menggantung, mampukah Bustami mengubah modal sosialnya menjadi kemenangan struktural? Musda Golkar Aceh bukan sekadar pertarungan kursi ketua, tapi uji coba elektabilitas. Jika berhasil, ia akan memiliki dua senjata sekaligus kekuatan partai nasional dan jaringan lokal yang telah dibangun puluhan tahun.
Namun tantangannya tak kecil. Lawan-lawan politiknya pasti telah mempelajari pola geraknya yang taktis. Kelemahan terbesarnya mungkin terletak pada citra "politikus pragmatis dan oportunis " yang melekat sebuah label yang bisa menjadi bumerang di tengah masyarakat Aceh yang semakin kritis.
Bustami Hamzah bukan sekadar pemain. Ia adalah arsitek yang membangun menara kekuasaan batu demi batu. Setiap kegagalan diubah menjadi pijakan, setiap keberhasilan dipakai sebagai modal untuk langkah berikutnya. Musda Golkar Aceh mungkin hanya satu episode, tapi bagi Bustami, ini adalah babak penting untuk meletakkan pondasi ambisi tertingginya menjadi Gubernur Aceh mendatang.
Satu hal yang pasti: dalam peta politik Aceh, Bustami adalah variabel yang tak pernah bisa diprediksi. Seperti kata pepatah lama: "Jangan pernah mengira Anda tahu kartu terakhir di tangan seorang Bustami Hamzah."
Namun perlu dipahami, sejauh mana pengaruh "kartu terakhir" yang digunakan dalam memenangkan pertarungan. Sebab jika kartu tersebut justru membawa ketidakberuntungan, bukan tidak mungkin malah menjadi bumerang yang menjatuhkan.
Musda Golkar Aceh ke - 12 pun kini berada di persimpangan. Apakah "kartu terakhir" yang dimainkan akan berupa diskresi yang justru membuat peta pertarungan semakin menarik? Atau justru menjadi pemicu tercabutnya kepercayaan konstituen Golkar Aceh yang pada akhirnya membuka pintu disharmoni antara DPD I dan DPP, terutama jika kartu tersebut dijatuhkan kepada Bustami?
Penulis: Aryos Nivada Akademisi sekaligus Direktur Eksekutif Lingkar Sindikasi Grub