Corak Kesalehan
Font: Ukuran: - +
Oleh: Otto Syamsuddin Ishak
Sudah barang tentu, Indonesia bukanlah Maroko. Islam yang terpancarkan dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia, tidaklah sama dengan yang terpancarkan dalam kehidupan di Maroko. Orang saleh di Indonesia berbeda dengan orang Saleh di Maroko, sebagaimana bedanya corak kesalehan Sidi Lahsen Lyusi (1631) dan Sunan Kalijaga (1450). Lyusi menjadi saleh karena menerima transfer Barakah, sedangkan Kalijaga menjadi saleh setelah bertapa di pinggir sungai.
Geertz menggambarkan dengan kontras tentang Lyusi: sikap gelisah, disiplin untuk mobilitas, menjemput kebenaran (bukan dengan menunggu) secara sistematis dari satu pusat marabout ke pusat marabout lainnya, dan tak kenal lelah.
Kata pepatah: lain padang, lain belalangnya. Lain konteks sosiologis, beda pula konstruksi sosialnya. Adalah mustahil tipe kesalehan Sunan Kalijaga dikonstruksi di dalam konteks sosial Maroko, juga sebaliknya, mustahil tipe Sidi Lahsen Lyusi dikonstruksi dalam konteks Jawa (Indonesia).
Barangkali, bolehlah secara komparatif, kita melihat antara Hamzah Fansuri yang membangun kesalehan dengan jalan mengelana dari satu negeri ke negeri lainnya di Abad 16. Sedangkan Nurdi ar-Raniry yang kesalehannya dikonstruksi di Gujarat juga mengelana, tapi dari satu istana (Pahang) ke istana negeri Melayu lainnya (Aceh).
Maka terbentuklah model kesalehan yang konstradiktif antar kedua orang saleh ini. Sayangnya, ada semangat membasmi, dan melibatkan penguasa, bukan sekedar membangun wacana yang bernas. Dan, juga agaknya tak mungkin, karena Ar-Raniry masuk ke istana Aceh pada 1644, pasca Syamsuddin As-Sumatrani menjabat. Konon, Nurdin kalah berdebat manakala berhadapan dengan Saiful Rijal, yang juga membangun kesalehan dengan cara mengelana.
Begitula, memang hanya Clifford Geertz, antropolog yang dengan mengadopsi perspektif sosiologi Weberian, yang dapat melukiskan secara tebal dan komparatif perihal fenomena. Sebagaimana Geertz melukiskan involusi pertanian dan corak beragama di Jawa.
Lyusi ditakdirkan untuk berkonfrontasi dengan penguasa, rezim Sultan Mulay Ismail. Dan Kalijaga ditakdirkan berkonfrontasi dengan para begal di jalanan. Seperti halnya, Hamzah Fansuri ditakdirkan hidup di luar istana (jauh dari kekuasaan), dan Nuruddin ditakdirkan hidup di dalam istana.
Corak kesalehan individu terkonstruksi oleh konteks sosial di mana ia mencari kebenaran, baik dengan mengembara maupun dengan berdiam diri, atau di seantero jagat maupun di dalam istana. Lalu mari mempertimbangkan apa yang dikatakan oleh Geertz: “Sementara Indicisme berlindung di kantor, maka Islam berlindung di pasar.”
Saya menjadi teringat pada Abu Ibrahim Woyla. Ulama individual dan pengembara. Meski Abu Woyla pernah belajar pada Syekh Mahmud Lhoknga; lalu mengaji Tareqat Naqsyabandiah kepada Abuya Muda Waly, dan pernah mendirikan dayah. Toh Abu Woyla memilih mengembara dan tak mengembangkan tarekat.
Lyusi berguru kepada Sufi Ahmad bin Nasir al-Dar'i. Itu hal yang lumrah. Konteks historio-sosiologisnya yang membuat corak kesalehan menjadi berbeda. Andezian menuliskan, betul bahwa pendiri ribat --kamp-kamp latihan mistik, sekaligus perang-- adalah kaum Murabitun. Mereka berkenalan dengan ajaran al-Junaid abad 10, kemudian ajaran Al-Ghazali. Kemudian terjadilah dikhotomi di antara mereka sehingga rezim tak disukai oleh rakyat. Berbagai ajaran ahli Junaid, Ghazali, Abu Madyan; dan tarekat Syadziliyah, Sanusiyah, Nashiriyah, Tijaniyah, Derqawiyah dan Thayyibiyah, berkembang merekonstruksi corak kesalehan berspirit protes.
Dalam konteks religio-sosiologis demikian al-Yusi hadir setelah berguru pada Ibn Arabi. Di mana para syeikh berperan sebagai penghubung antara Khalik dan hambaNya, sekaligus pelindung bagi rakyat terhadap kesewenangan rezim politik.
“Di Maroko,” kata Geertz, “peradaban dibangun di atas keberanian; di Indonesia di atas ketekunan.” Lalu, bagaimana pula membangun peradaban di Aceh kini?
Lyusi, Abu Ali Al-Hasan ben Mas’ud al-Yusi, berkata-kata:
Ya Tuhan, persatukan mereka kembali
Tak ada yang dapat melakukannya selain Engkau
Ya Tuhan, kembalikan mereka ketempatnya
Sultan yang sedang murka mengusir Lyusi, terjadilah dialog:
+ “Mengapa anda tidak meninggalkan kota saya seperti yang telah saya perintahkan?”
- “Saya telah meninggalkan kota anda dan sekarang berada di dalam kota Tuhan Yang Maha Besar dan Maha Suci.”
Sultan kehilangan kontrol dirinya. Ia maju menyerang, seraya menghunus. Lyusi yang tak memiliki berbatalyon santri untuk melindungi dirinya, melainkan ia hanya sendiri semata, lalu ia menorehkan garis batas di atas tanah. Ketika kaki kuda yang ditunggangi sultan melampaui garis batas, kaki kuda itu terhenti, dan pelan-pelan terbenam. Sultan berseru: Saya menyesal! Maafkan aku!
Akhirnya, memang kita tak hendak terpesona dengan corak kesalehan Lyusi. Kita hidup di negeri yang berbeda, dengan corak kesalehan yang berbeda, dan dihadapan rezim yang berbeda pula! []