kip lhok
Beranda / Kolom / Dekadensi Menggerus Bumi Pertiwi

Dekadensi Menggerus Bumi Pertiwi

Jum`at, 11 November 2022 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +



DIALEKSIS.COM | Kolom - Dekadensi jika kita telusuri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) ternyata memiliki makna kemerosotan atau kemunduran. Walaupun di telinga segelintir orang masih awam dengan kata “dekadensi”.

Dalam arena berdemokrasi maupun berperilaku, wajah dekadensi sudah nampak nyata mempengaruhi hampir di seluruh aspek tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara. Bahkan mirisnya lagi, sudah mengakar dan hal yang lumrah dilakukan tanpa beban moral yang tinggi.

Pelan-pelan tapi pasti, dekadensi kian menggerus pondasi-pondasi negara ini yakni Pancasila dan nasionalisme ke-Indonesiaan dampaknya meredupkan kebesaran bangsa dan negara, hingga tak memiliki pondasi karakter (character building) sebagai sebuah bangsa dan negara besar.

Mencermati akar penyebab dekadensi bisa dikatakan berbagai faktor saling terikat satu sama lain. Disinilah menarik kita bahas, dekadensi terjadi disebabkan keadaban yang terkikis (luntur). Hal itu disampaikan Prof Azyumardi Azra, ia menyampaikan dekadensi terjadi karena keadaban politik (political civility) pelaksana negaranya telah luntur.

Senada dengan pemikiran Bartens (2000), dirinya menjelaskan dekadensi moral adalah tindakan seseorang yang selalu melakukan tingkah laku buruk. Dekadensi moral tidak merujuk pada teori keutamaan. Teori keutamaan yang dimaksud yaitu; kebijaksanaan, kejujuran, keadilan, dan kerendahan hati.

Keadaban satu kesatuan dari moral yang membuat dekadensi hadir di kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Tidak heran sebagiaan diskusi dengan teman sebaya telah memberikan kesimpulan (conclusion) dekadensi merupakan sebuah ancaman kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Fakta akibat dekadensi terlihat jelas, praktik “politik uang”, korupsi menggurita, pengelolaan kekuasaan lebih pro ke pemodal daripada rakyat. Kian berkurangnya kebebasan beraspirasi, berbarengan dengan kebangkitan oligarki despotik dan transaksional.

Bila tidak ada upaya membuat anti virus dekadensi melalui pendekatan perbaikan aturan (sistem), pendidikan keadaban politik (political civility) dan moral untuk penanaman pengetahuan dan penerapan nilai hingga menjadi karakter masyarakat itu sendiri.

Dekadensi yang terjadi dalam lingkungan berdemokrasi, jika dicermati sudah menjadi endemik terkait berbagai faktor. Tanpa ada kesadaran dari elit politik untuk membuat gerakan pembaharuan perilaku politik serta sistem politik yang diterapkan. Intinya dekadensi semakin buruk, muaranya karena kelumpuhan atau kegagalan elite politik menampilkan keadaban politik.

Tak sampai disitu saja, dekadensi juga disebabkan lemah penegakan hukum (rule of law) yang adil. Atas nama demokrasi dekadensi politik mengakar menggerogoti nilai-nilai berdemokrasi, sehingga tak heran kualitas berdemokrasi kita semakin menurun. Tercermin dari temuan kajian The Economist Intelligence Unit (EIU) tahun 2021, ) dan Indeks Demokrasi Indonesia 2019, dan 2021 Democracy Report.

Belum lagi masyarakat Indonesia dihadapi pada perilaku pertarungan elit yang menggunakan cara kasar serta menghalalkan segala bentuk tindakan dalam meraih kekuasaan tanpa menjunjung tinggi etika berpolitik.

Konflik antar elite dan antar lembaga tersebut tentu sangat memprihatinkan karena pemulihannya memerlukan jalan yang panjang dan tidak mudah.

Kemerosotan demokrasi secara politik pernah disinggung Lee Kuan Yew, defisiensi demokrasi. Intinya, transisi ke arah konsolidasi demokrasi penuh dengan ancaman kegagalan, justru karena para elite tidak siap untuk melakukan proses-proses sosial dan politik secara efisien. 

Kita perlu mewaspadai gejala-gejala kemerosotan politik. Kendatipun barangkali masih jauh dari bayangan negara gagal (failure state).

Berkaca pada realitas diatas, mengatasi dekandensi ini yang terpenting adalah komitmen semua pihak. Harus memiliki tujuan sama, dibuktikan dari kebijakan dan program dalam orientasi menghilangkan dekadensi di kehidupan bernegara serta berdemokrasi.

Terutama dari para pemimpin yang seharusnya memberikan contoh (teladan), dalam menjunjung tinggi adab dan moral ketika memimpin, sehingga dekadensi teratasi dan tidak meluas efeknya bagi negeri ini.

Semua langkah dan kebijakan maupun program penanganan dekadensi harus berpedoman kepada Pancasila, melalui penamanan nilai-nilainya diseluruh aspek kehidupan. 

Tanpa keseriusan dan niat tulus dari semua pihak, apalagi mereka yang dipercayakan sebagai pemimpin untuk memperbaiki dekadensi, bumi pertiwi akan kehilangan kebesaran dan kekuatanya. Negara besar ini membutuhkan manusia yang beradab, beretika untuk membangun negeri.

Penulis: Aryos Nivada (Pengajar FISIP USK/Direktur Eksekutif Lingkar Sindikasi)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda