kip lhok
Beranda / Kolom / Gelangganglabu Politek

Gelangganglabu Politek

Jum`at, 27 November 2020 10:00 WIB

Font: Ukuran: - +


Oleh: Otto Syamsuddin Ishak

Demokrasi adalah voting. Lalu, voting adalah uang. Demokrasi pun menjadi kalah- menang. Ada kesulitan untuk mengklaim pemenang sebagai putra terbaik atau pemimpin yang demokratis. Demokrasi menjadi arena perjudian politik.

Karena itu, pemimpin adalah orang kuat. Apalagi bila ia mulai mengerahkan aparat bersenjata untuk melindungi kekuasaannya. Bahkan, kini kala dunia, dengan teknologi komunikasi yang kian canggih, yang mana arena tarung juga ada di dunia maya. Maka orang kuat memelihara serdadu buzzer –gerombolan nyinyir yang memekakkan telinga- dengan pendanaan negara.

Demokrasi telah melontarkan kita hidup di dalam cengkraman orang kuat yang cenderung dungu dan korup, tapi terus dipoles agar tampak cerdas dan suci. Akhirnya, pemimpin itu “merasa” pandai dan “merasa” suci.

Demokrasi tak sebagaimana digambarkan oleh Wikipedia, “adalah bentuk pemerintahan di mana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.

Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi-baik secara langsung atau melalui perwakilan-dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara.

Demokrasi juga merupakan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan beserta praktik dan prosedurnya. Demokrasi mengandung makna penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia.

Rezim demokratis yang dungu adakah memiliki gagasan? Adakah ia meminta partisipasi seluas mungkin dalam pembuatan hukum, misalnya terkait omnibus law? Rezim demokratis menjadi semacam neo-monarki. Lalu para ahli pun, dengan tanggungjawab moral yang masih tersisa, berebut bicara tentang oligarki.

Tampaknya Lincoln pun harus meredefinisi apa yang dimaksudkannya dengan demokrasi sebagai “sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat”menjadi dari segelintir orang, oleh segelintir orang dan untuk segelintir orang.

Pertengahan tahun ini, kita di Aceh telah menonton gelangganglabu demokrasi dengan judul “Proyek Multiyears” sehingga kita diperkenalkan dengan demokrasi asimetris. Gelangganglabu itu digelar di DPRA.

DPRA, dengan suara lonjong, yang mana Fraksi Demokrat sebagai basis Gubernur Nova keluar sidang, memutuskan kontrak proyek multiyear tahun jamak 2020- 2022. Ada 12 proyek infrastruktur pada 10 kabupaten/kota di Aceh, dengan nilai 2,7 Trilyun.

Padahal itu agenda pembangunan yang telah disepakati pada periode DPRA (2014-2019) sebelumnya. Apakah ini artinya aspirasi rakyat Aceh dahulu beda dengan yang sekarang?

Tapi kata Ketua DPRA Dahlan Jamaluddin: “Kita persoalkan ketentuan, mekanisme dan prosedur yang melahirkan proyek tersebut. Ada mekanisme yang dilanggar. Proyek tersebut adalah penumpang gelap. Tidak ada di RKPA, KUAPPAS dan Musrenbang,” Ini adalah soal prosedur. Bukan soal kontradiksi aspirasi rakyat.

Keputusan mayoritas wakil rakyat Aceh di DPRA, praktis menuai penolakan dari sejumlah kepala daerah. Kepala daerah juga merupakan hasil pilihan rakyat setempat, yang bakalan menerima manfaat berupa infrastruktus yang mengintegrasikan sesama rakyat dengan daerah lainnya.

Di sini kita menemukan demokrasi yang asimetris, manakala suara rakyat sudah dikantongi oleh wakil rakyat dan penguasa rakyat. Gelangganglabu demokrasi menjadi aneh lagi, manakala akhir 2020, Wakil Ketua DPRA, Safaruddin, mengatakan bahwa “semua proyek multiyears masuk dalam RAPBA 2021.”

Demokrasi bisa mati di dalam genggaman orang-orang yang dipilih oleh rakyat itu sendiri. Kecuali bagi mereka yang melihat demokrasi sebagai gelangganglabu perjudian politek.*

• penulis: Ketua Pusat Riset Perdamaian dn Resolusi Konflik (PRPRK), Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh.


Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda