kip lhok
Beranda / Kolom / Gubernur Aceh Mencintai Mariana

Gubernur Aceh Mencintai Mariana

Jum`at, 29 September 2023 15:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bisma Yadhi Putra

Potret Pak Syam dan Mariana saat remaja. [Foto: Tangkapan layar dari buku "Biografi Seorang Guru di Aceh: Kisah Syamsuddin Mahmud kepada Sugiono MP (2004)"]


DIALEKSIS.COM | Kolom - Syamsuddin Mahmud, Gubernur Aceh periode 1993-2000, pernah terpikat dengan dua orang gadis semasa mudanya. Kedua perempuan itu adalah Mariana dan Rohaya.

Mariana lebih dahulu dikenal Pak Syam, sapaan Syamsuddin Mahmud. Pertemuan pertama dengannya terjadi menjelang akhir tahun 1952. Waktu itu, Pak Syam yang masih duduk di kelas tiga SMP mendapat tawaran tinggal di rumah Putih Mauny, paman Mariana yang menjabat Kepala Kantor Sosial Kabupaten Pidie. Rumahnya bertempat di Kota Sigli dan Mariana sering datang ke sini.

“Waktu itu Mariana baru kelas satu satu SKP (Sekolah Kepandaian Putri) Sigli. Umurnya 14 tahun. Dan umur saya 18 tahun. Meski demikian saya sudah mulai tertarik kepadanya,” kenang Pak Syam, sebagaimana diceritakan dalam Biografi Seorang Guru di Aceh: Kisah Syamsuddin Mahmud kepada Sugiono MP (2004).

Pak Syam jatuh cinta pada pandangan pertama. Di mata Pak Syam, Mariana anggun dalam kesederhanaannya. “Mariana adalah gadis yang lugu dengan rambut dibelah tengah dan dikuncir menjadi dua ikatan,” Pak Syam mendeskripsikan.

Setelah lulus SMP, Pak Syam pergi ke Jakarta untuk melanjutkan sekolah. Tahun 1956, ia meneruskan studi di Jurusan Ekonomi Umum Universitas Indonesia. Keputusan ini membuat Pak Syam harus terpisah lama dengan Mariana. Perasaan rindu akan si gadis jelas membanjiri pikirannya. Apalagi waktu itu Aceh tengah dilanda perang. Pak Syam menduga surat-surat cinta yang ia kirimkan tak pernah sampai ke alamat Mariana. 

“Perang memutus jalur komunikasi,” kata Pak Syam.

Untuk melipur kegalauan di tanah rantau, Pak Syam menyibukkan diri dengan macam-macam kegiatan positif seperti kesenian dan olahraga. Dalam sebuah acara kesenian, ia berjumpa dengan seorang perempuan muda kelahiran Lhokseumawe. Namanya Rohaya, anak seorang pengusaha yang tinggal di Jakarta Pusat. Alih-alih cuma ingin berteman, Pak Syam justru jatuh hati pada Rohaya.

“Dalam rentang waktu yang singkat bergaul dengan Rohaya, saya merasa tertarik. Padahal hubungan kami belum genap tiga bulan. Mungkin karena saya kesepian terputus hubungan dengan keluarga di kampung, terutama dengan Mariana,” ungkap Pak Syam.

Punya idaman baru, Pak Syam ingin segera memberitahukan ayahnya di kampung. Apalagi abang dan ibu Rohaya sudah berharap Pak Syam mau melanjutkan hubungan dengan Rohaya ke tahap yang lebih serius. Namun, saat surat hendak ditulis, tiba-tiba perasaan tak nyaman melanda Pak Syam. Tiba-tiba Pak Syam tersadar bahwa tak ingin dirinya lepas dari Mariana.

Bulan Mei 1957, Pak Syam pulang kampung. Perjalanan dari Jakarta dilakukan dengan Kapal Laut Tampomas jurusan Jakarta-Medan. Kebetulan waktu itu keluarga Mariana sudah tinggal di Medan sebagai pengungsi perang. Maka setibanya di Medan, Pak Syam tidak langsung melanjutkan perjalanan ke Aceh. Dia memilih pergi ke rumah Mariana berdasarkan alamat yang telah dikantongi. Sayangnya, kekecewaanlah yang ia dapat.

“Ketika saya tinggal di Medan selama seminggu itu sama sekali tidak bertemu Mariana karena ia sudah lebih dahulu pulang ke Aceh untuk mengunjungi familinya yang tinggal di Garot. Saya agak kesal juga tidak ketemu dia di Medan,” keluh Pak Syam yang akhirnya meneruskan perjalanan pulang ke Aceh via jalur laut.

Pak Syam pulang kampung masih sebagai mahasiswa. Sambil melepas rindu dengan Mariana di kampung halaman, ia memikirkan juga kuliah yang belum diselesaikannya. Setelah dua bulan di kampung, ia bersiap kembali ke Jakarta melalui Medan.

Perjalanan naik bus ke Medan sungguh berkesan. Waktu itu, Mariana berada di bus yang sama dengan Pak Syam. Mariana harus balik ke Medan karena dia sudah pindah sekolah ke sana. Namun, perjalanan darat ini tak bisa berlanjut sesampainya mereka di Lhokseumawe. Ruas jalan Lhokseumawe-Lhoksukon rusak parah. Kendaraan roda empat tidak bisa melintas. Mereka memilih meneruskan perjalanan melalui jalur laut, naik kapal tongkang yang hendak mengangkut kopra, kopi, dan pinang ke Belawan.

Selama dalam perjalanan laut inilah rasa cinta Pak Syam kepada Mariana kian berkobar. Saat malam hari, keduanya duduk menatap bintang sambil saling bercerita. Momen ini amat berarti bagi Pak Syam sebelum ia berangkat ke Jakarta dan terpisah lagi dengan Mariana.

Pak Syam dan Mariana akhirnya menikah pada 30 Juli 1964, beberapa bulan setelah keduanya lulus kuliah. Pak Syam diyudisium pada Desember 1963, sedangkan Mariana memperoleh gelar “sarjana muda” di IAIN Syarif Hidayatullah bulan sebelumnya. Sejak pernikahan itu terjadi, Pak Syam terus mencintai Mariana sampai ia berputih tulang.

“Yang jelas saya bahagia berkeluarga dengan Mariana, menikmati hidup bersama anak-anak dan cucu-cucu, serta mempunyai kawan-kawan yang baik,” ungkap Pak Syam yang meninggal dunia pada 2021 silam akibat Covid-19. [**]

Penulis: Bisma Yadhi Putra (Sejarawan)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda