kip lhok
Beranda / Kolom / Jeratan Manisan, Mematikan Semut

Jeratan Manisan, Mematikan Semut

Minggu, 08 Oktober 2023 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Bahtiar Gayo

Bahtiar Gayo. [Foto: dokpri untuk Dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Kolom - Dimana ada gula di sana ada semut. Ada sumber rejeki yang diperebutkan. Namun banyak pula semut yang mati karena jeratan manisan. Semut terlalu serakah memperebutkan manisan, akhirnya terperangkap dalam menikmati manisan.

Saya jadi merenung dengan petuah ini, apakah pejabat negara lupa atau mengabaikan petuah ini. Berapa banyak pejabat di negeri ini yang terjerat manisan. Ketika terbuai dengan nikmatnya manisan, jeruji besi menanti mereka.

Serakah, mengambil bagian yang bukan haknya menyebabkan “semut” banyak yang mati terjerat manisan. Apa bedanya dengan sejumlah pejabat di negeri ini? Berapa banyak sudah pejabat yang harus hidup di hotel gratis, prodeo.

Mulai dari level menteri, wakil rakyat terhormat, hingga kepala desa sudah cukup banyak pejabat yang terbuai menikmati “manisan”. Untuk menteri saja, sejak dibentuk lembaga KPK pada tahun 2003, sudah 14 menteri yang terjerat korupsi.

Mulai dari menteri pada masa Presiden Megawati Soekarno Putri, hingga Pemerintahan Jokowi saat ini satu persatu tim pembantu presiden ini harus merasakan “enaknya” dipandang memakai baju orange.

Apakah negeri ini harus senantiasa dihiasi pemberitaan korupsi, apakah manusia kepercayaan yang diberikan amanah untuk menata negeri ini, harus berhadapan dengan palu majelis hakim?

Masih banyak juga manusia yang diberikan amanah mampu menjaga diri, tidak terpikat dengan jeratan manisan. Tidak mengambil hak orang lain. Ibarat manisan di dalam piring, dia hanya mengitari bibir piring tempat manisan, tidak masuk dalam manisan.

Karena jeratan manisan cukup banyak semut yang mati terbuai saat menikmatinya. Semut saja sudah memberikan pelajaran hidup kepada manusia yang mempunyai akal untuk berpikir, mengapa masih banyak manusia yang mengalahkan logikanya.

Bagaimana dengan Aceh? Hufs…. Terpaksa saya menarik nafas lebih dalam. Ternyata di negeri ujung barat pulau Suwarnadwipa dihiasi manusia yang gemar memakan hak orang lain. Mulai dari level gubernur, bupati, kepala dinas, sampai kepala desa, sudah mendekam dalam penjara karena merebut manisan.

Apalagi di negeri pulau Andalas ini, dana yang dikucurkan pemerintah pusat melalui Otonomi Khusus (Otsus) terbilang besar. Bahkan dalam tahun berjalan ada yang tak mampu dikelola sehingga menjadi Silpa. Bagaikan kera mendapat bunga, tidak tahu menggunakannya.

Kucuran dana yang terbilang besar itu menjadi kesempatan buat mereka penikmat manisan. Seluruh kabupaten/ kota di ujung barat pulau Percha ini tidak ada yang tidak terjerat korupsi. Begitu ganaskah penikmat manisan, mereka melupakan amanah yang dititipkan.

Belum cukupkah sejarah kelam menghiasi negeri ini dengan banyaknya pemegang amanah harus mendekam di jeruji besi. Haruskah ditambah daftar panjang lagi manusia yang diberikan kepercayaan untuk masuk penjara?

Anehnya, ada diantara mereka setelah terbebas dari karantina akibat menikmati manisan, justru masih banyak pihak yang mengagungkannya. Sang penikmat manisan ini juga dengan percaya diri tampil kembali ke publik. Dimana urat malunya?

Ah sudahlah itu urusan mereka, urusan publik. Bila masih “diagungkan” dan dijadikan panutan, wajar saja sang penikmat manisan ini tampil percaya diri, keningnya bagaikan bersih tanpa ada noda hitam.

Saya jadi pusing sendiri merenungnya, bathin saya sesak. Namun, ada lantunan doa, ya Rabb, tunjukilah mereka yang diberi amanah agar tidak terjerat dalam manisan. Kasihanilah kami ya Rabb, jangan Engkau hukum kami dengan menghadirkan manusia pemegang amanah tetapi terjerat dalam manisan. [**]

Penulis: Bahtiar Gayo (Pimred Dialeksis.com)

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda