DIALEKSIS.COM | Kolom - Lingkungan adalah salah satu faktor paling kuat dalam membentuk jati diri seseorang. Ada sebuah kisah tentang seseorang yang bertekad untuk berubah menjadi lebih baik. Ia menaruh harapan besar pada dirinya, ingin menjadi pribadi yang lebih disiplin, lebih beriman, dan lebih bermanfaat. Namun, ia terus merasa tertatih-tatih. Setiap langkah yang diambil terasa berat, dan setiap niat yang dirangkai selalu terhambat di tengah jalan.
Mungkin masalahnya bukan terletak pada niat atau usahanya yang kurang. Mungkin akar persoalannya justru ada pada lingkungan tempat ia bertumbuh. Ia mencoba menapaki jalan kebaikan, namun dikelilingi oleh orang-orang yang justru berjalan ke arah sebaliknya. Ia ingin naik ke puncak, tapi sekelilingnya malah menariknya ke bawah. Seperti seseorang yang mendayung perahu ke arah kanan, sementara teman-temannya yang lain justru mendayung ke kiri -- maka perahu itu hanya akan berputar di tempat, tak pernah benar-benar bergerak maju bahkan mungkin saja perahu tersebut malah berjalan kearah sebaliknya yang tak diinginkannya.
Lingkungan punya pengaruh besar dalam membentuk kepribadian, standar hidup, bahkan nilai-nilai yang seseorang anut. Seseorang yang tekun, produktif, dan berdaya tahan tinggi sering kali lahir dari lingkungan yang menopang semangat itu. Di balik pribadi yang disiplin, biasanya ada komunitas yang memuliakan waktu. Di balik individu yang shalih, biasanya ada pergaulan yang menghidupkan nilai-nilai iman. Maka tidak berlebihan jika dikatakan: "tunjukkan padaku siapa temanmu, niscaya aku akan tahu siapa kamu."
Alam pun akan mengelompokkan manusia sesuai dengan kecenderungan hati dan kepribadiannya. Orang yang mencintai ilmu, akan ditarik pada majelis ilmu. Orang yang mencintai kelalaian, akan nyaman di tengah tawa yang melalaikan. Sebab manusia, pada dasarnya, akan selalu mencari tempat di mana ia merasa cocok. Dan di situlah bahayanya: jika kenyamanan justru hadir dalam pergaulan yang buruk, maka keburukan akan terasa wajar, dosa akan tampak biasa, dan perubahan menjadi sulit karena hati sudah terbiasa dengan kondisi yang rusak.
Rasulullah SAW telah bersabda: “Seseorang berada di atas agama sahabat dekatnya. Maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat siapa yang menjadi sahabatnya.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi)
Hadis ini bukan hanya peringatan, tapi juga petunjuk. Bila seseorang ingin berubah, maka langkah pertama bukan hanya memperbaiki dirinya, tapi juga memperbaiki lingkungannya. Sebab manusia bukan makhluk yang berdiri sendiri. Ia lemah ketika sendiri, dan kuat ketika dikelilingi orang-orang yang benar.
Suatu saat Rasulullah SAW pernah ditanya, "Wahai Rasulullah, siapakah teman duduk kami yang terbaik?' Beliau bersabda: 'Orang yang bila kamu melihatnya, kamu teringat kepada Allah; (bila kamu mendengar) ucapannya (akan) menambah ilmumu; dan (bila kamu melihat) tingkah lakunya,(akan) mengingatkanmu kepada akhirat."
Maka pilihlah teman yang mengingatkan ketika kita lupa. Pilihlah lingkungan yang menantang kita untuk naik, bukan yang membuat kita nyaman dalam kejatuhan.
Karena dalam hidup ini, kita tidak hanya butuh niat yang kuat -- tapi juga arah yang benar, dan teman seperjalanan yang tepat.
Karenanya benar bila ada yang menyebut bahwa kehilangan teman karena permasalahan prinsip atau arah hidup, itu lebih baik daripada kehilangan arah itu sendiri.
Sebab tidak semua teman akan menemani kita hingga ke surga.
"Maka hendaklah salah seorang dari kalian melihat siapa yang menjadi sahabatnya" (Al-Hadist)
Wallahu A'lam Bi-Shawaab. [**]
Penulis: Teuku Alfin Aulia (Founder Halaqah Aneuk Bangsa dan Mahasiswa Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir)