DIALEKSIS.COM | Kolom - Sebagai kader muda Partai Aceh, tentu kehadiran partai politik lokal di Aceh menjadi harapan anak-anak muda Aceh untuk membawa Aceh dalam bingkai partai politik lokal yang sudah diamanah dari perjanjian Memorandum of Understanding (MoU) Helsinki di Finlandia bertepatan pada tanggal 15 Agustus 2005. Kesepatan damai antara Pemerintah Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dinyatakan dan ditandatangani dalam kesepakatan Helsinki. GAM sendiri sebelum pengesahan MoU Helsinki dikenal sebagai organisasi separatis di Indonesia yang bertujuan agar Aceh dapat terlepas di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Keinginan itu dideklarasikan pada 4 Desember 1976 di Gunung Halimon Pidie sekaligus mendirikan University of Aceh oleh Tengku Hasan di Tiro. Perlawanan GAM kala itu cukup berat hampir 32 tahun lamanya bertahan untuk dibeberapa titik di hutan-hutan Aceh. Sejak itulah Indonesia memberlakukan Darurat Operasi Militer di Aceh pada akhir tahun 1980 di Aceh. Tentu akibat pemberlakuan DOM ini keadaan Aceh semakin tidak kondusif bahkan menelan ribuan korban konflik kala itu.
Salah satu klausul yang disepakati dalam teks MoU Helsinki adalah partisipasi politik dengan poin 1.2.1. “Sesegera mungkin, tetapi tidak lebih dari satu tahun sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, Pemerintah RI meyepakati dan akan memfasilitasi pembentukan partai-partai politik yang berbasis di Aceh yang memenuhi persyaratan nasional. Memahami aspirasi rakyat Aceh untuk partai - partai lokal, Pemerintah RI, dalam tempo satu tahun, atau paling lambat 18 bulan sejak penandatanganan Nota Kesepahaman ini, akan menciptakan kondisi politik dan hukum untuk pendirian partai politik lokal di Aceh dengan berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Pelaksanaan Nota Kesepahaman ini yang tepat waktu akan memberi sumbangan positif bagi maksud tersebut.”Rumusan klausul 1.2.1 dalam MoU Helsinki sebenarnya dalam memori risalah menuai perdebatan yang tajam dan hampir deadlock dikarenakan pengaturan partai politik kita di Indonesia tidak membenarkan dan membolehkan kehadiran partai politik lokal di Aceh secara khusus.
Hamid Awaluddin selaku Menteri Hukum dan HAM masa jabatan 2004 - 2007 menolak keras keinginan tim delegasi juru runding GAM untuk membentuk partai politik lokal di Aceh. Alasan penolakan kehadiran partai politik lokal dikarenakan bertentangan dengan Pasal 28 UUD NRI Tahun 1945 menyatakan “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan atau tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang".
Di sisi lain Malik Mahmud selaku Ketua Tim Juru Runding GAM dan Perdana Menteri Aceh Merdeka masa jabatan 2002 - 2005 mengatakan jika partai politik lokal tidak diberikan atau tidak diizinkan di Aceh maka perundingan ini terancam batal yang sudah dilakukan 5 tahapan. Idealnya keberadaan politik GAM sudah transisi ke partai politik lokal yang akan dibentuk di Aceh. Jusuf Kalla saat itu memberikan tawaran kepada pihak GAM agar bergabung saja dengan partai politik nasional dengan kouta keterwakilan khusus di Aceh. Alih-alih disetujui oleh Tim Delegasi GAM, mereka hampir meninggalkan ruangan rapat di Istana Finlandia saat itu.
Ketika semua tim juru runding baik Indonesia dan GAM hampir bubar maka saat itu Marti Ahtisaari selaku mediator dari Centre Mediation Initiative (CMI) dan Presiden Finlandia masa jabatan 1994 - 2000 memberikan pemahaman kepada pihak Tim Delegasi Indonesia sebaiknya berikan saja kendaraan untuk pihak GAM, karena kendaraan politik ini sesuai dengan semangat GAM tentu akan berbeda ketika kombatan - kombatan GAM masuk ke partai politik nasional yang ada di pusat. Setahun disahkannya MoU Helsinki makanya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama DPR menandatangani dan mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.
Partai politik lokal (parlok) punya bab tersendiri yakni Bab XI Pasal 75 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 menyatakan “Penduduk di Aceh dapat membentuk partai politik lokal.” Kemudian dalam Pasal 77 undang-undang a quo bahwa asas parlok tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan UUD Tahun 1945. Parlok dapat mencantum ciri tertentu yang mencerminkan aspirasi, agama, adat istiadat, dan filosofi kehidupan masyarakat Aceh.
Hal yang paling menarik tujuan parlok secara normatif yuridis tujuan umum parlok sebagai berikut: Mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pembukaan Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat Aceh.
Tujuan khusus parlok dalam normatif yuridis sebagai berikut: Meningkatkan partisipasi politik masyarakat Aceh dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah; dan memperjuangkan cita-cita partai politik lokal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara sesuai kekhususan dan keistimewaan Aceh.
Pada tahun 2007 disahkan lagi peraturan teknis mengenai parlok di Aceh secara spesifik Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2007 tentang Partai Politik Lokal di Aceh. Pada saat itu, Dibentuk ada beberapa parlok yang sudah terdaftar di Kanwil Departmen Hukum dan HAM di Aceh adalah Partai GAM, Partai Generasi Aceh Beusaboh Thaat dan Taqwa (Gabhat), Partai Serambi Persada Nusantara Serikat (PS-PNS), Partai Darussalam, Partai Rakyat Aceh (PRA), Partai Aceh Meudaulat (PAM), Partai Lokal Aceh (PLA), Partai Daulat Aceh (PDA) dan Partai Pemersatu Muslimin Aceh (PPMA).
Hal ini memang ditegaskan karena parlok dianggap lebih mampu untuk memperhatikan dan memperjuangkan kepentingan-kepentingan yang amat sempit tersebut. Bisa saja ada partai politik yang hanya ingin menjadi partai lokal saja karena hanya sebegitu kemampuannya atau partai lokal tersebut lebih tertarik pada masalah politik ditingkat lokal sehingga hanya berminta mengajukan calon dalam pemilu tingkat lokal (bahkan hanya disatu provinsi).
Partai GAM menuai kontroversi karena tidak boleh lagi menggunakan embel-embel GAM, Pemerintah Indonesia mengirimkan utusan dari Kementerian Dalam Negeri agar merubah nama kata GAM, kemudian dirubah singkatan Gerakan Aceh Mandiri tetap ditolak juga bertentangan. Beberapa petinggi GAM menemui Jusuf Kalla, akhirnya Jusuf Kalla memberikan nama Aceh sebagai Partai Aceh (PA). Pembentukan PA sendiri, pimpinan politik GAM Malek Mahmud memberikan surat mandat kepada Tgk Yahya Mu’ad S.H., untuk membentuk partai politik lokal pada tanggal 19 Februari 2007. Partai GAM berdiri dengan akta notaris 07 pada tanggal 07 Juni 2007 dengan pendaftaran Kantor Wilayah Hukum dan HAM Nomor WI.UM.08.06-01.
Namun menjadi problem adalah tujuan PA yang tercantum dalam AD/ART tertera sebagai berikut: Pasal 4 ayat (1) menyatakan mewujudkan cita-cita rakyat Aceh demi menegakan marwah dan martabat Bangsa Agama, dan Negara. (2) Mewujudkan cita-cita MoU Helsinki yang ditandatangani oleh GAM dan RI pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki. (3) mewujudkan kesejahteraan yang adil, makmur dan merata materiil dan spiritual bagi seluruh rakyat Aceh. (4) mewujudkan kedaulatan rakyat dalam rangka mengmbangkan kehidupan berdemokrasi, yang menjunjung tinggi dan menghormati kebenaran, keadilan, Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Artinya awal-awal berdirinya PA cita-cita untuk ide merdeka masih ada dan hal ini harus diminimalisir sebaik mungkin oleh pemerintah Indonesia demi kepentingan nasional. Walaupun secara teori salah satu ide parlok mencapai kemerdekaan, parlok yang memperjuangkan kemerdekaan wilayah merdeka dan pembentukan negara baru. Sisi lain juga, 4 kali pemilu hasil suara tren PA menurun tetapi masih tetap jadi pemenang pemilu, apakah tren suara yang menurun berkolerasi dengan meredupnya keinginan ide pemerintahan sendiri tidak lagi dianggap simpatik oleh rakyat Aceh?
Tujuan Partai Aceh adalah menyambung tali perjuangan yang telah dirintis mulai dari tahun 1976 sampai berdirinya Partai Aceh pada tahun 2007 tidak terlepas dari cita-cita perjuangan yang telah dirintis mulai dari Daud Bereu’eh dengan gerakan DI/TII nya, kemudian Tgk. Hasan Di Tiro sebagai pendiri GAM, sampai berdirinya Partai Aceh semata-mata untuk rakyat Aceh yang akan disejahterakan. Setelah MoU Helsinki pada tanggal 15 Agustus 2005, maka perjuangan GAM tidak lagi dengan menggunakan senjata, tetapi sudah dengan menggunakan pikiran, terutama dalam keikutsertaan dalam politik.
Setelah lahirnya nama Partai Aceh, mungkin Indonesia baru menyadari bahwa nama Partai Aceh ini menjadi bumerang bagi diri mereka, karena kalau namanya partai GAM mungkin hanya orang-orang GAM yang dapat memasuki partai ini, nama GAM mungkin akan menjadikan Partai ini, partai yang tertutup, akan tetapi ketika menjadi Partai Aceh, partai ini menjadi terbuka sehingga semua elemen masuk ke dalam, nama Aceh menjadi penggerak massa dalam Partai ini dan melibatkan semua elemen masyarakat Aceh pada umumnya. Perubahan nama Partai GAM menjadi Partai Aceh merupakan salah satu berkah sekaligus resiko Pemerintah Pusat yang harus ditanggung dalam rangka menjaga perdamaian yang telah hadir di wilayah Aceh ini.
Penulis: Muhammad Ridwansyah, Dosen Tetap Fakultas Hukum Universitas Sains Cut Nyak Dhien