Menelusuri Jejak Sejarah Rumah Adat Bentara Pineung
Font: Ukuran: - +
Reporter : Denny Satria
Denny Satria di rumah adat Bentara Pineung Gampong Dayah Bubue, Kecamatan Peukan Baro Pidie . [Foto: dokumen pribadi untuk dialeksis.com]
DIALEKSIS.COM | Kolom - Kabupaten Pidie adalah salah satu dari sekian banyak kabupaten yang ada di Provinsi Aceh. Kabupaten ini tidak terlalu besar, tapi nyaman, damai, tenteram dengan budaya Aceh yang masih sangat kental. Mungkin memang belum banyak yang mengenalnya, tetapi kabupaten ini selalu punya daya tarik tersendiri. Masyarakatnya terkenal pekerja keras dan sangat memegang teguh adat, budaya, dan ajaran agama.
Kabupaten Pidie juga sarat akan situs-situs bersejarah. Terletak di Gampong Dayah Bubue Lampoh Saka, Kecamatan Peukan Baro, Pidie, berdiri kokoh sebuah situs bersejarah bernama “Rumoh Adat Bentara Pineung”, milik seorang panglima atau laksamana Aceh.
Bentara Pineung tersebut bernama Teuku Ibrahim. Beliau seorang kepala daerah, atau dikenal dengan istilah “Uleebalang” di Aceh. Pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, beliau memimpin Negeri Pineung yang terletak di Pidie, Aceh.
Berdasarkan sebuah artikel yang dirilis oleh @beulangongtanoh, Rumoh Adat Bentara Pineung mirip dengan rumah Aceh tradisional pada umumnya yang dilengkapi dengan tiang-tiang penyangga. Namun ada sedikit hal yang membedakan. Pada bagian belakang Rumoh Adat Bentara Pineung terdapat Rumoh Miyub (bawah) dengan gaya arsitektur Eropa, berlantai marmer, dan berdinding beton. Ada 2 fungsi Rumoh Miyub, yaitu sebagai dapur dan kamar tambahan untuk orang tua yang anak perempuannya sudah menikah.
Di rumah inilah Bentara Pineung selaku pemimpin daerah merencanakan dan melakukan banyak kegiatan-kegiatan pemerintahan, seperti rapat-rapat dengan tokoh masyarakat dan ulee balang lainnya. Rumoh Adat Bentara Pineung tidak hanya menjadi saksi bisu perjuangan Teuku Ibrahim dalam menjaga Aceh dan masyarakatnya, tetapi menjadi tempat masa kecil seorang Pahlawan Nasional Indonesia, yaitu Dr. Mr. Teuku Haji Moehammad Hasan, putra sulung Bentara Pineung yang kelak menjadi Gubernur Sumatra pertama setelah Indonesia merdeka.
Tumbuh besar di rumah ini, Teuku Moehammad Hasan muda sering menyaksikan perjuangan dan aksi-aksi heroik ayahnya, Bentara Pineung Teuku Ibrahim. Sebagai seorang putra Ulee Balang, Teuku Moehammad Hasan muda juga dibekali pendidikan agama yang sangat kuat. Jiwa kepemimpinannya tumbuh seiring melihat bagaimana ayahnya memimpin berlandaskan keberanian, kegigihan, dan kecintaan terhadap agama dan tanah air. Berbagai peristiwa yang menyertai hidupnya pun membuat ia mengikuti jejak ayahnya.
Dr. Mr. Teuku Haji Moehammad Hasan mengenyam pendidikan dasar di sekolah khusus anak para Ulee Balang yang dibangun Belanda, yaitu Volkschool Lampoh Saka (Peukan Baro) pada usia 8 tahun sebelum kemudian pindah ke Europeesce Lagere School (ELS), sekolah dasar Eropa di Sigli. Bersekolah di sekolah Belanda membuat ia fasih bahasa Belanda dan mengenal dekat karakter orang Belanda. Menamatkan pendidikan dasar, ia kemudian melanjutkan pendidikan di Koningen Wilhelmina School (KWS) di Batavia, Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO), Algemeene Middelbare School (AMS) di Jakarta, dan Rechtschoogeschool (Sarjana), dan Rijks Universiteit di Leiden, Belanda. Kendatipun ia mengenyam pendidikan di institusi Belanda tidak membuat ia lupa akan cintanya terhadap tanah air dan agama.
Kepedulian Bentara Pineung Teuku Ibrahim terhadap pendidikan juga ditunjukkan dengan pendirian sekolah tandingan atau sekolah alternatif Belanda, yaitu sekolah agama Diniyah di Blang Paseh serta wakaf sebidang tanah dan kolam ikan pada tahun 1933 demi kemaslahatan masyarakat. Beliau sampai pergi ke Padang, Sumatra Barat, untuk mencari guru. Ini didorong keinginan besar beliau agar anak-anak Aceh belajar di sekolah berlandaskan agama Islam, bukan nilai-nilai ajaran Belanda.
Generasi muda Aceh patut mengetahui sejarah bangsanya dan mencontoh nilai-nilai teladan yang ditunjukkan oleh Bentara Pineung Teuku Ibrahim dan Dr. Mr. Teuku Haji Moehammad Hasan dalam rangka membangun kesadaran cinta terhadap Tanah Air.[**]
Penulis: Denny Satria (Humas Universitas Serambi Mekkah)