kip lhok
Beranda / Kolom / Politik Uang dan Bahaya Laten Kebijakan Publik Aceh

Politik Uang dan Bahaya Laten Kebijakan Publik Aceh

Selasa, 26 November 2024 11:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Hafiizh Maulana

Hafiizh Maulana. Foto: Dialeksis.com


DIALEKSIS.COM | Kolom - Pemikiran Ekonomi Kelembagaan, sebagai teori yang mulai berkembang pada 1937 oleh Ronald Coase dan kemudian dilanjutkan oleh Douglass North pada 1991, menyatakan bahwa kebijakan ekonomi akan sulit berkembang apabila institusi gagal mengurangi ketidakpastian dan aturan main (rule of the game) sering dilanggar. 

Institusi, baik dalam bentuk formal maupun informal, seringkali dilanggar karena adanya hambatan berupa biaya transaksional yang berdampak pada kehidupan publik suatu negara atau daerah. Dalam buku Why Nations Fail karya Acemoglu dan Robinson, disebutkan bahwa runtuhnya suatu negara disebabkan oleh kelemahan institusi, sebuah pernyataan yang diulang hingga tiga kali: “institusi, institusi, dan institusi.”

Melalui teori dan pandangan kelembagaan ini, tulisan ini hendak mengkaji bahaya laten politik uang terhadap kegagalan kebijakan publik di tingkat negara maupun daerah. Pesta demokrasi di Indonesia, yang berlangsung melalui berbagai agenda politik seperti pemilihan kepala daerah (pilkada), memicu persaingan ide, gagasan, sarana, prasarana politik, hingga langkah sosial-politik untuk memperoleh dukungan masyarakat. Namun, berbagai strategi untuk memenangkan suara pemilih seringkali menyebabkan tingginya biaya politik yang sarat dengan transaksi.

Tingginya biaya politik ini mendorong para calon kepala daerah membangun kerja sama dengan berbagai pihak guna memperoleh dukungan, baik dalam bentuk ide, kampanye, dana, maupun infrastruktur sosial-politik. Transaksi suara, baik yang terjadi secara terang-terangan maupun tersembunyi melalui praktik politik uang, berpotensi merusak sistem pemerintahan serta menggagalkan pembangunan daerah. 

Politik uang, yang umum terjadi di negara-negara demokratis, menjadi ancaman besar bagi kebijakan publik. Praktik ini dapat didefinisikan sebagai upaya para calon kepala daerah atau tim sukses untuk memengaruhi pemilih melalui pemberian uang atau materi sebagai bentuk transaksi jangka pendek.

Keberhasilan proses demokrasi idealnya tercermin dari terpilihnya kepala daerah yang berkualitas dan mampu mengimplementasikan visi dan misi dalam program kebijakan nyata. Seorang pemimpin daerah seharusnya memiliki gagasan yang brilian, memahami kebutuhan publik, serta mampu menerjemahkan isu-isu ke dalam kebijakan yang terukur. Namun, ketika kepala daerah terpilih melalui praktik politik uang, proses transisi kekuasaan hanya akan menghasilkan kegagalan pembangunan.

Kegagalan pembangunan akibat politik uang disebabkan oleh hilangnya mekanisme pertanggungjawaban kepada pemilih yang suaranya telah "dibeli." Bahaya laten lainnya adalah hilangnya hubungan psikologis antara pemilih dan kepala daerah terpilih, yang menyebabkan abainya pemimpin terhadap kebutuhan masyarakat. 

Akibatnya, program pembangunan yang dihasilkan tidak lagi berbasis pada kebutuhan nyata. Kondisi ini jelas tidak boleh terjadi di daerah mana pun di Indonesia, termasuk Aceh, yang saat ini tengah memilih kepala daerah melalui mekanisme pilkada langsung.

Aceh dan Tantangan Politik Uang

Sebagai daerah otonomi khusus yang berkomitmen mengejar ketertinggalan pembangunan dengan penerapan syariat Islam, Aceh sangat membutuhkan pemimpin daerah yang ideal. Pemimpin yang ideal harus mampu memahami Aceh sebagai wilayah syariat Islam dengan prioritas pembangunan yang jelas, memperkuat daya saing sumber daya manusia, dan mengoptimalkan sektor unggulan yang memberikan nilai tambah ekonomi. 

Visi Pemerintah Aceh dalam RPJM 2023-2026, yaitu "Aceh yang Islami, Maju, Damai, dan Sejahtera," perlu diwujudkan dalam kebijakan pembangunan yang mencerminkan keislaman sekaligus berdampak pada kesejahteraan masyarakat.

Visi tersebut juga perlu diadopsi oleh calon kepala daerah di kabupaten/kota, yang harus bersinergi dengan Pemerintah Aceh dan memanfaatkan potensi lokal. Namun, praktik politik uang dalam perebutan suara pemilih menghilangkan esensi pembangunan yang seharusnya menjadi fokus kebijakan publik. 

Dalam perspektif ekonomi kelembagaan, praktik politik uang menciptakan kegagalan pemerintah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemilih yang telah "dibeli" suaranya akan sulit menuntut tanggung jawab dari kepala daerah, karena hubungan yang terbentuk bersifat transaksional dan hanya sesaat.

Dampak lebih jauh dari politik uang terlihat pada hilangnya kerangka pembangunan dan program kebijakan yang telah dijanjikan. Jika dikaitkan dengan kajian 'Why Nations Fail', kegagalan ini menunjukkan ketidakmampuan institusi pemerintahan Aceh untuk mengoptimalkan pembangunan akibat kesalahan dalam memilih pemimpin melalui transaksi uang. 

Bahaya laten kebijakan publik akibat politik uang akan melahirkan regulasi, program, dan penganggaran yang kehilangan makna pembangunan.

Oleh karena itu, pemikiran ekonomi kelembagaan dalam tulisan ini mengajak masyarakat Aceh untuk menggunakan rasionalitas dan hati nurani dalam memilih kepala daerah. 

Komitmen terhadap proses demokrasi yang sehat”bebas dari politik uang”serta memperluas gagasan dalam memilih pemimpin akan membawa Aceh menuju masa depan yang Islami, maju, damai, dan sejahtera. Insya Allah.

Penulis: Hafiizh Maulana (Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Ar-Raniry / Direktur Riset Pola Data / Alumni Magister Ekonomi Perencanaan dan Kebijakan Publik Universitas Indonesia)

Keyword:


Editor :
Redaksi

riset-JSI
Komentar Anda