Kamis, 13 Maret 2025
Beranda / Kolom / Puasa dalam Perspektif Neurosains

Puasa dalam Perspektif Neurosains

Rabu, 12 Maret 2025 14:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Taruna Ikrar

Kepala BPOM Taruna Ikrar. [Foto: dok. BPOM]


DIALEKSIS.COM | Kolom - Banyak orang mengeluh bahwa puasa membuat mereka lemas, sulit fokus, atau emosi tidak stabil. Namun, ilmu pengetahuan modern justru mengungkap fakta sebaliknya: puasa, khususnya di bulan Ramadan, adalah latihan holistik yang mengasah otak, memperkuat mental, dan menyucikan jiwa. 

Bagaimana mungkin menahan lapar dan dahaga justru menjadi katalisator untuk meningkatkan kualitas hidup?

Mitos vs. Sains: Puasa sebagai "Nutrisi" bagi Otak

Kepala BPOM sekaligus ilmuwan neurosains, Prof. Taruna Ikrar menegaskan bahwa puasa tidak hanya sekadar ritual keagamaan. Melalui perspektif neurosains, ia menjelaskan tiga mekanisme utama puasa dalam mengoptimalkan fungsi otak:

Pertama, Neurosinaptik: Puasa melatih otak membentuk koneksi saraf baru melalui kebiasaan berpikir positif. Saat berpuasa sebulan penuh, struktur otak diarahkan untuk lebih sabar dan mengurangi emosi negatif.

Kedua, Neurogenesis: Puasa memicu regenerasi sel saraf. Sel otak yang rusak atau tua digantikan dengan sel baru melalui proses autofagi, membuat otak lebih segar dan meningkatkan daya ingat.

Ketiga, Neurokompensasi: Puasa melatih plastisitas otak, terutama seiring penuaan. Dengan pembiasaan puasa, otak belajar mengompensasi penurunan fungsi, sehingga kinerjanya tetap optimal.

Temuan ini membantah anggapan bahwa puasa melemahkan kinerja kognitif. Justru, otak yang “diberi jeda” dari rutinitas metabolisme harian mendapatkan kesempatan untuk memperbarui diri, seperti reset yang menyegarkan sistem saraf.

Puasa: Pelatihan Mental dan Ujian Kesadaran Spiritual

Tak hanya berdampak pada otak, puasa adalah ujian kesabaran yang melatih disiplin diri. Dari sudut pandang psikologis, menahan diri dari makan, minum, dan perilaku negatif selama 12-14 jam membentuk self-control yang kuat. Kebiasaan ini, jika konsisten, dapat menurunkan impulsivitas dan meningkatkan ketahanan dalam menghadapi stres.

Lebih dalam lagi, esensi puasa tertuang dalam QS. Al-Baqarah:183, yang menegaskan tujuan akhir ibadah ini: menjadi insan bertakwa. Taruna Ikrar menekankan bahwa ayat ini bukan sekadar perintah agama, melainkan undangan untuk bertransformasi. Puasa adalah sarana meningkatkan kualitas diri secara spiritual, mental, dan fisik sekaligus-

Di sini, sains dan agama berjalan beriringan. Jika Al-Quran menyebut puasa sebagai jalan ketakwaan, neurosains membuktikan bahwa ketakwaan itu tidak abstrak. Ia terlihat dari perubahan struktur otak, peningkatan kesehatan mental, dan kedisiplinan yang terukur.

Ramadan sebagai Laboratorium Pengembangan Diri

Bayangkan Ramadan sebagai bulan di mana seluruh umat Muslim menjalani “pelatihan intensif” bersama. Selama 30 hari, mereka tidak hanya menahan lapar, tetapi juga mengasah empati, mengelola emosi, dan meregenerasi sel-sel tubuh. Hasilnya, menurut Taruna, adalah pribadi yang “lebih sehat, lebih baik, dan lebih mulia", sesuai tujuan puasa dalam Islam.

Fakta ini seharusnya mengubah cara kita memandang ibadah puasa. Ia bukan sekadar kewajiban yang melelahkan, melainkan investasi untuk versi diri yang lebih tangguh. 

Sayangnya, masyarakat kerap terjebak pada ritual tanpa makna, seperti berbuka berlebihan atau begadang tanpa produktivitas. Padahal, momentum puasa akan optimal jika diimbangi dengan pola hidup sehat, refleksi spiritual, dan pembiasaan berpikir positif.

Penutup: Dari Rahim Ramadan Lahir Manusia Paripurna

Puasa dalam persepsi neurosains dan kesehatan memiliki manfaat besar untuk membentuk pribadi cerdas, disiplin, dan bertakwa.

Puasa Ramadan adalah contoh sempurna bagaimana ritual keagamaan bisa selaras dengan temuan sains modern. Ia bukan hanya tentang menahan diri, tetapi tentang membentuk manusia utuh: cerdas secara kognitif, tangguh secara mental, dan mulia secara spiritual. [ti]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
ultah dialektis
bank Aceh
dpra
bank Aceh pelantikan
pers