DIALEKSIS.COM | Kolom - Banda Aceh sedang tidak baik-baik saja. Banjir bandang dan tanah longsor yang menyapu banyak wilayah di Aceh juga ikut berdampak ke ibukota provinsi paling barat NKRI. Bencana akhir November lalu juga menghantam Sumatera Utara dan Sumatera Barat.
Namun, warga Banda Aceh punya cara sendiri dalam menghadapi duka. Bukan karena banjir lumpur. Penyebab utamanya adalah janji petinggi Perusahaan Listrik Negara (PLN) yang kerap mengingkarinya. Warga melawannya dengan humor sedikit getir.
Sekarang, sapaan lazim di setiap sudut Banda Aceh sudah berubah. Ia menjadi tanya kabar penuh horor. Kalimat "Apa kabar?" atau "Sudah makan?" tidak laku lagi sejak beberapa pekan lalu. Di kedai kopi, di selasar masjid, hingga di lorong pasar, kalimat pembukanya sama.
Semua orang bertanya hal yang satu ini. "Peue na udep lampu?" (Apa ada hidup listrik?). Pertanyaan itu laksana harapan kode rahasia. Jika dijawab "ada", senyum akan merekah. Jika dijawab "mati", tentu helaan napas panjang akan terdengar.
Listrik seperti telah menjadi kasta sosial baru. Siapa yang rumahnya menyala, oho dialah pemenang hari itu. Tetapi, jangan senang dulu. Tanpa pemberitahuan, eee tiba-tiba listrik mati setelah beberapa jam menyala.
Kondisinya memang unik. PLN sepertinya tidak lagi melakukan pemadaman bergilir. Warga menyebutnya dengan istilah baru: "penghidupan bergilir". Listrik menyala hanya beberapa jam saja. Setelah itu, ia akan mati berhari-hari. Listrik bagaikan tamu agung yang datang sebentar, lalu pergi tanpa pamit.
Drama paling seru dalam fenomena baru ini terjadi di rumah tangga. Para ibu muda, dan tentu saja emak-emak, kini seolah punya naluri bertahan hidup yang luar biasa. Begitu saklar lampu menyala, suasana rumah berubah jadi medan tempur.
Hal pertama yang mereka lakukan bukan memasak. Mereka akan langsung menarik air ke bak mandi sampai penuh. Mesin pompa air meraung keras di setiap sudut gang. Lalu, cepat-cepat masak nasi pakai rice cooker.
Sambil menunggu air penuh dalam bak, tugas berikutnya adalah ritual cas baterai ponsel. Ini bagian paling menggelitik. Para ibu, dan bapak-bapak juga, tak akan tenang jika baterai HP belum 100 persen. Padahal baterai masih di angka 80 persen.
Warga kota dan mungkin juga daerah lain di Aceh, tetap buru-buru mencari kabel cas. Bahkan, asik maen HP sambil ngecas. Mereka takut bila tiba-tiba listrik padam saat angka baterai masih 99 persen. Bagi mereka, kehilangan daya satu persen adalah ancaman besar bagi komunikasi.
Kehidupan luar ruang pun tak kalah lucu. Warga kini menjadi pemburu genset. Kedai kopi atau cafe yang memiliki mesin genset akan penuh sesak. Bukan hanya karena kopinya yang enak. Tetapi karena ada stop kontak yang mengalirkan arus listrik.
Anda akan melihat pemandangan super aneh bin ajaib di kedai kopi yang penuh sesak. Satu meja bisa dipenuhi beberapa HP yang sedang dicas. Kabel-kabel berseliweran seperti mi Aceh dalam piring. Pemilik ponsel duduk dengan sabar di dekatnya, sambil sesekali baca pesan WhatsApp atau sekadar scroll Facebook, IG atau TikTok.
Mereka rela menunggu berjam-jam hanya untuk menambah daya baterai hingga 100 persen, meski hanya pesan kupi pancong. Ada yang sekadar browsing internet, untuk cari janji baru pejabat PLN. Ada juga yang hanya ingin memastikan mereka masih terhubung dengan dunia luar.
Listrik sudah menjadi kebutuhan primer, melebihi beras. Saat malam tiba, Banda Aceh sering gelap gulita. Hanya suara raungan genset dari kedai kopi dan cafe yang memecah kesunyian. Di tengah kegelapan itu, warga masih sempat tertawa. Mereka menertawakan nasib yang sedang tidak bersahabat, sambil menyeruput kopi pahit.
Banjir dan longsor memang membawa duka mendalam bagi bansa tseuneubeh. Namun, warga Aceh punya daya tahan yang hebat. Mereka mengolah rasa sulit menjadi candaan di meja kopi. Krisis listrik ini memang melelahkan. Tapi setidaknya, pertanyaan "Peue na udep lampu?" telah menyatukan semua orang dalam nasib yang sama.
Kita tidak pernah tahu kapan listrik akan benar-benar normal meski bunda walikota dan pak ketua dewan sudah "marah-marah" ke petinggi PLN. Kita hanya bisa berharap mesin-mesin pembangkit segera pulih. Sampai waktu itu tiba, pastikan saja baterai HP Anda selalu penuh. Jangan tunggu sampai sisa 20 persen. Karena di Aceh saat ini, listrik menyala adalah kemewahan yang harus disyukuri dengan segera. Udah cukup ya, mau cas HP soalnya baterai tinggal 67 persen.[]
Penulis: Nurdin Hasan | Jurnalis Freelance
