Jum`at, 15 Agustus 2025
Beranda / Berita / Nasional / 20 Tahun Damai Aceh: Murizal Hamzah Ingatkan Pentingnya Kesejahteraan dan Pemenuhan Janji HAM

20 Tahun Damai Aceh: Murizal Hamzah Ingatkan Pentingnya Kesejahteraan dan Pemenuhan Janji HAM

Jum`at, 15 Agustus 2025 09:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Murizal Hamzah, Forum Internasional Refleksi Aceh Damai di Jakarta, Kamis, 14 Agustus 2025. Foto: for Dialeksis


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Dua dekade setelah penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) Helsinki pada 15 Agustus 2005, peringatan Hari Damai Aceh tidak cukup hanya menjadi seremoni tahunan. Penulis biografi Hasan Tiro: Jalan Panjang Menuju Damai Aceh, Murizal Hamzah, menegaskan bahwa perdamaian harus memberi dampak nyata bagi kesejahteraan rakyat.

“Damai Aceh rawan runtuh jika kesejahteraan, keadilan, dan martabat rakyat belum terpenuhi. Setelah berakhir perang, warga bertanya: mereka dapat apa?” ujar Murizal dalam Forum Internasional Refleksi Aceh Damai di Jakarta, Kamis, 14 Agustus 2025.

Menurut Murizal, masuknya dana sekitar Rp90 triliun ke Aceh selama 20 tahun terakhir seharusnya mampu menurunkan angka kemiskinan dan mengatasi persoalan sosial. Namun, ia menilai, warisan buruk konflik selama hampir tiga dekade antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Republik Indonesia masih terasa mulai dari meningkatnya kemiskinan hingga pergeseran peradaban dan perubahan perilaku sosial masyarakat.

Pria yang akrab disapa MH itu mengajak semua pihak untuk beralih dari “bicara kapal perang” menuju “bicara kapal bisnis”, yakni mengoptimalkan sektor ekonomi sebagai motor penggerak perdamaian. 

Ia juga menyoroti janji penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang hingga kini belum tuntas.

Indonesia, kata Murizal, telah mengakui 12 kasus pelanggaran HAM berat, tiga di antaranya terjadi di Aceh: Pos Sattis dan Rumoh Geudong di Pidie, pembantaian di SP KKA Aceh Utara, dan peristiwa Jambo Keupok di Aceh Selatan. “Hak-hak korban dan ahli warisnya belum terpenuhi. Pemerintah pusat harus menuntaskan komitmen yang telah diakui Presiden Jokowi dan dilanjutkan Presiden Prabowo,” tegasnya.

Murizal mengingatkan bahwa MoU Helsinki bukan penutup dari seluruh agenda penyelesaian konflik. “Masih ada turunan yang memerlukan perhatian. Perdamaian Aceh harus dirawat dengan aksi nyata, bukan sekadar slogan,” ujarnya.

Forum yang diadakan ERIA (Economic Research Institute for ASEAN and East Asia) School of Government ini berlangsung selama tiga hari, 13 - 15 Agustus 2025. Menghadirkan tokoh-tokoh yang berperan dalam proses damai Aceh, antara lain Jusuf Kalla, Hamid Awaluddin, Wali Nanggroe Aceh Malik Mahmud Al Haythar, Jenderal Nipat Thonglek dari Thailand, dan Yuhki Tajima dari Georgetown University.

Hadir pula Jenderal (Purn) Bambang Darmono, Dr. Rizal Sukma dari CSIS Jakarta, Him Raksmey dari Pusat Studi Kamboja, Dr. Onanong Thippimol dari Thammasat University, sosiolog Prof. Humam Hamid, Dadang Trisasongko dari YLBHI, William Sabandar, dan T. Kamaruzzaman, mantan juru runding GAM di era Jeda Kemanusiaan.

ERIA School of Government, yang dipimpin Profesor Nobuhiro Aizawa, fokus pada pengembangan kapasitas pemerintahan dan penelitian kebijakan di Asia Timur dan Asia Tenggara. Forum ini menjadi wadah pertukaran pengetahuan antara praktisi, akademisi, dan pembuat kebijakan lintas negara.

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI