DIALEKSIS.COM | Jakarta - Aceh memiliki peluang besar untuk melompat jauh meninggalkan citra sebagai daerah tertinggal. Demikian pandangan Kuntjoro Pinardi, pengajar Institut Sains dan Teknologi Nasional, yang menilai bahwa provinsi ujung barat Sumatra itu sesungguhnya menyimpan tiga modal utama pembangunan yang jarang dimiliki wilayah lain: kemandirian energi, mineral tanah jarang, dan lahan luas yang berpotensi menjadi hutan energi bernilai ekonomi tinggi.
Dalam opini yang dipublikasikan CNBC Indonesia berjudul “PDRB Aceh Rp1.000 T, Saatnya Mengubah Cara Kita Membaca Masa Depan” pada 28 November 2025, Kuntjoro menggambarkan sebuah skenario yang selama ini nyaris tak pernah dibayangkan banyak orang.
“Bayangkan sebuah provinsi yang selama ini dipandang tertinggal, tiba-tiba muncul sebagai pusat energi hijau, pengolahan mineral berteknologi tinggi, dan produsen karbon premium terbesar di Asia Tenggara. Gambaran ini terdengar seperti fiksi. Namun bila melihat potensi Aceh secara utuh, skenario ini bukan mimpi, ini peluang yang selama ini belum disentuh,” ujar Kuntjoro.
Menurutnya, kunci utama transformasi ekonomi Aceh berada pada ketersediaan energi murah dan stabil. Aceh memiliki akses pada teknologi waste-to-energy, biomassa cepat tumbuh seperti kaliandra dan bambu, hingga peluang besar produksi Dimethyl Ether (DME) sebagai substitusi LPG.
“Tidak ada transformasi industri tanpa energi murah dan stabil. Dengan memanfaatkan sampah dan biomassa sebagai sumber utama steam dan listrik, Aceh dapat menciptakan struktur biaya energi yang jauh lebih rendah dibanding provinsi lain. Industri berat akan mengikuti energi murah, itu hukum ekonomi,” tulisnya.
Energi yang kompetitif inilah, lanjut Kuntjoro, yang menjadi pintu masuk bagi industrialisasi besar-besaran.
Begitu fondasi energi terbentuk, sektor kedua yang akan menjadi mesin pertumbuhan adalah mineral tanah jarang atau rare earth elements (REE). Selama ini, potensi REE Aceh belum dieksplorasi maksimal karena masih diperlakukan sebagai komoditas mentah.
Padahal, bila diproses hingga menjadi NdPr oxide, magnet permanen, atau komponen motor kendaraan listrik, nilainya melonjak puluhan kali lipat.
“Dengan teknologi leaching dan solvent extraction yang sudah tersedia, pengolahan penuh REE dapat dilakukan di Aceh. Nilai tambah dari sektor ini saja dapat menyumbang ratusan triliun rupiah per tahun,” jelasnya.
Sumber pertumbuhan ketiga adalah pengembangan hutan energi melalui pemanfaatan lahan kritis Aceh. Kuntjoro menilai, tanaman seperti kaliandra dan bambu dapat dibudidayakan pada lahan 50 - 70 ribu hektare sebagai sumber biomassa maupun bahan baku charcoal berkualitas tinggi.
Produk turunan seperti medical-grade charcoal, activated carbon, hingga biochar premium telah memiliki pasar global dengan nilai ekonomi tinggi. Selain memberikan kontribusi ekonomi puluhan hingga ratusan triliun rupiah, sektor ini juga memperbaiki kondisi ekologis Aceh.
Meski peluang industrialisasi besar sangat terbuka, Kuntjoro mengingatkan agar transformasi ekonomi Aceh tidak hanya bertumpu pada industri skala besar. Pelibatan masyarakat adalah syarat mutlak agar pertumbuhan bersifat inklusif.
Ia menawarkan model “blok keluarga” seluas 5 - 8 hektare yang mengintegrasikan hutan energi, peternakan ayam petelur free-range, budidaya jagung pakan, sayuran, serta produksi pupuk alami. Sistem ini, menurutnya, mampu menumbuhkan ribuan rumah tangga produktif yang terhubung langsung dengan rantai pasok industri hijau.
Kuntjoro menegaskan bahwa seluruh gagasan mulai dari biomassa, teknologi REE, agroforestry, hingga desain kawasan industri hijau bukanlah ide spekulatif. Semuanya telah tersedia dan dapat diimplementasikan dalam waktu singkat.
“Yang dibutuhkan adalah keberanian memulai dengan satu klaster, di Aceh Timur, sebagai pusat energi, mineral, dan hutan produktif,” tegasnya.
Dari klaster tersebut, Aceh dapat membangun koridor industri ke Langsa dan Aceh Tamiang sebelum berkembang ke wilayah lainnya.
Kuntjoro menilai bahwa Aceh bukan kekurangan potensi, melainkan kekurangan cara melihat masa depan. Dengan desain ekonomi yang tepat dan keberanian memulai, Aceh memiliki peluang tidak sekadar mengejar ketertinggalan, tetapi melompat setara dengan wilayah industri maju.
“Dengan desain yang tepat, Aceh dapat melompat bukan lima tahun, tetapi lima dekade ke depan. PDRB Rp1.000 triliun bukan mimpi; itu rencana yang sedang menunggu untuk diwujudkan,” tutup ahli Manajerial dan Tata Kelola Sistem Kebijakan Energi dan Sumber Daya Mineral serta Kebijakan Pembelajaran Individu untuk Generasi Emas Indonesia ini.