kip lhok
Beranda / Berita / Nasional / Beban hidup Petani Kian Berat

Beban hidup Petani Kian Berat

Kamis, 01 April 2021 11:00 WIB

Font: Ukuran: - +


DIALEKSIS.COM | Jakarta - Ketika para elit politik dan pejabat sibuk bersilat lidah soal impor beras, para petani harus berjuang melawan beban hidup. Perjuangan berat terutama harus dilalui petani di sektor pangan dan peternakan, karena standar hidupnya cenderung merosot.

Hingga Agustus 2020, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pekerja di sektor pertanian 38,2 juta orang atau 29,8 persen dari total penduduk yang bekerja. Upah yang mereka terima per bulan masih di bawah standar, yaitu Rp1,91 juta. Posisinya paling buncit dari seluruh rata-rata upah di sektor lain, yang rata-ratanya Rp2,76 juta per bulan.

Indikator buruknya kehidupan petani tanaman pangan dan peternakan terlihat dari indeks nilai tukar petani yang berada di bawah 100 pada Februari 2021. Nilai tukar petani merupakan perbandingan antara harga yang diterima –dari penjualan hasil produksi- dengan indeks yang harus dibayar, meliputi biaya produksi dan biaya kehidupan sehari-hari.

Untuk petani di sektor peternakan, posisi indeks di bawah 100 berarti petani mengalami defisit. Kenaikan harga produksi, jika ada, lebih kecil dari biaya yang harus dikeluarkan. Sebaliknya, jika di atas 100 berarti petani surplus dan posisi 100 bermakna impas.

Dari data BPS, petani paling sejahtera adalah mereka yang mengusahakan sektor perkebunan rakyat. Indeks nilai tukarnya 112,67, pada Februari 2021. Bahkan sepanjang tahun lalu di saat krisis, indeksnya tetap di atas 100, kecuali Mei dan Juni.

Tekanan terhadap kehidupan petani, terutama datang dari biaya produksi dan penambahan barang modal (BPPMBM), seperti pupuk, herbisida atau peralatan produksi. Indeks harganya secara konsisten terus naik, berbeda dengan biaya konsumsi yang berfluktuasi, meski umumnya lebih tinggi.

Ini berbeda dengan harga jual hasil produksi yang ditunjukkan dengan indeks harga yang diterima petani. Pergerakannya lebih bergejolak. Ini menandakan bahwa posisi petani begitu lemah dalam mengontrol harga. Selain itu, pada periode Maret-Mei adalah masa harga sedang turun, boleh jadi karena baru saja ada panen raya.

Pertanian merupakan sektor usaha yang tahan banting, bahkan di tengah krisis yang begitu dalam seperti tahun lalu. Sektor ini termasuk yang tumbuh positif, walaupun kehidupan para petani terus terimpit kenaikan harga barang.

Sayangnya, hingga saat ini nyaris belum terdengar upaya pemerintah merawat kesejahteraan petani, misalnya melalui stabilisasi harga jual. Justru yang nyaring terdengar adalah upaya untuk menekan harga produksi petani, misalnya dengan impor pangan yang tak pernah putus, setiap tahun.[Lokadata]

Keyword:


Editor :
M. Agam Khalilullah

riset-JSI
Komentar Anda