Beda Persepsi Presiden dan Mendikti Soal Pendirian Fakultas Kedokteran, Ini Respons Akademisi
Font: Ukuran: - +
Reporter : Nora
Pengamat Politik dan Kebijakan Publik dari Universitas 17 Agustus 1945 (UTA 45), Dr. Firman. Foto: for Dialeksis
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan visi dan misinya dalam dunia kesehatan dan pendidikan, dengan tujuan untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas layanan kesehatan di Indonesia. Salah satu langkah yang ia tawarkan adalah mendirikan 300 fakultas kedokteran serta memberikan 20 ribu beasiswa kuliah di bidang kedokteran dan STEM (Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika).
"Kita kekurangan sekitar 140 ribu dokter di Indonesia, dan itu akan segera kita atasi dengan cara, kita akan menambah fakultas kedokteran di Indonesia. Dari yang sekarang ada 92 fakultas kedokteran, kita akan membangun 300 fakultas kedokteran," jelas Prabowo dalam Debat Capres terakhir yang digelar di Jakarta Convention Center (JCC), Senayan, pada Minggu (4/2/2024).
Namun, visi misi Prabowo tersebut bertolak belakang dengan rencana Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, Satryo Soemantri Brodjonegoro. Satryo mengusulkan untuk menghentikan pembukaan Fakultas Kedokteran (FK) baru di Indonesia.
Menurutnya, meskipun banyak kampus membuka FK sebagai upaya memperoleh pendanaan, hal tersebut bukanlah solusi terbaik untuk mengatasi kekurangan dokter.
"Kita stop dulu aja penambahannya (FK) itu," ujar Satryo saat wawancara dengan detikedu di Kantor Kemendiktisaintek, Jl. Jenderal Sudirman, Jakarta, Jumat (10/1/2024).
Satryo berpendapat, solusi untuk memenuhi kebutuhan dokter lebih baik dilakukan dengan menambah kuota mahasiswa di fakultas kedokteran yang sudah ada, terutama di kawasan 3T (tertinggal, terdepan, terluar).
Menanggapi perbedaan pandangan ini, Pengamat Politik dan Kebijakan Publik dari Universitas 17 Agustus 1945 (UTA 45), Dr. Firman, menilai bahwa kebijakan Menteri Satryo harus sejalan dengan visi dan misi Presiden yang telah ditetapkan.
Menurut Firman, meskipun penambahan jumlah fakultas kedokteran memerlukan kajian mendalam, penting bagi kebijakan pemerintah untuk tetap mendukung perkembangan pendidikan kesehatan yang berkelanjutan demi menciptakan pemerataan layanan kesehatan di seluruh Indonesia.
"Sebagai seorang pemimpin, Presiden dan Menteri Pendidikan harus berada di jalur yang sama. Jangan sampai kebijakan yang ada justru membuat stabilitas dunia pendidikan kacau dan merugikan kemajuan sektor kesehatan kita," tegas Firman kepada Dialeksis, Sabtu (11/1/2025).
Lebih lanjut, Firman juga menekankan bahwa membangun lebih banyak fakultas kedokteran, terutama di daerah-daerah yang membutuhkan tenaga medis, bukan hanya akan membantu meningkatkan jumlah dokter, tetapi juga memberikan kesempatan bagi generasi muda di seluruh Indonesia untuk mengakses pendidikan kedokteran.
"Pemerataan pendidikan kedokteran sangat penting untuk menciptakan sistem kesehatan yang inklusif. Jika kita hanya mengandalkan kuota di fakultas kedokteran yang sudah ada, akan ada banyak calon dokter yang terhalang akses, khususnya di wilayah 3T. Selain itu, pembukaan fakultas kedokteran baru juga dapat menciptakan lapangan pekerjaan bagi tenaga pengajar dan tenaga medis lainnya," tambahnya.
Menurutnya, meskipun ada kekhawatiran mengenai kualitas pendidikan yang mungkin menurun jika terlalu banyak fakultas kedokteran dibuka, hal tersebut dapat diatasi dengan memastikan adanya standar kualitas yang ketat dan pengawasan yang lebih baik terhadap kurikulum serta fasilitas pendidikan.
"Peningkatan kualitas pendidikan kedokteran harus tetap menjadi prioritas, namun kita tidak bisa mengabaikan fakta bahwa Indonesia membutuhkan lebih banyak dokter, khususnya di daerah-daerah yang kesulitan mengakses layanan kesehatan," pungkasnya.