Rabu, 20 Agustus 2025
Beranda / Berita / Nasional / Benang Merah Logika Mistika Tan Malaka dan Kepercayaan Sufistik dalam Islam

Benang Merah Logika Mistika Tan Malaka dan Kepercayaan Sufistik dalam Islam

Selasa, 19 Agustus 2025 18:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Pengamat kajian publik sekaligus alumni Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Ar-Raniry, Arif Zakiyul M. [Foto: Dokumen untuk dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Indonesia memiliki keunikan dalam kemajemukan, mulai dari adat istiadat hingga sistem kepercayaan.

Namun, di balik kekayaan itu, terdapat pula tantangan berupa keyakinan yang tidak realistis atau bahkan terjebak pada takhayul dan khurafat. Fenomena inilah yang sejak lama dikritisi oleh Tan Malaka dalam karya-karyanya, terutama Madilog (Materialisme, Dialektika, dan Logika).

Menurut pengamat kajian publik sekaligus alumni Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir UIN Ar-Raniry, Arif Zakiyul M, kritik Tan Malaka mengenai logika mistika justru bisa ditarik benang merahnya dengan kepercayaan sufistik dalam Islam, terutama dalam hal bagaimana menempatkan nalar dan rasa secara seimbang.

“Dalam ilmu tauhid saja, argumen harus didasari dengan dua burhan (bukti), yaitu dalil naqli yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis, serta dalil aqli yang bisa dibuktikan secara realita atau ilmiah. Nah, Tan Malaka mengkritisi masyarakat Indonesia pada masanya yang masih terjebak pada kepercayaan irasional. Tapi kalau kita cermati, semangat ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan apa yang ditekankan kaum sufistik: kepercayaan tetap harus punya basis akal dan pengalaman rasa,” ujarnya kepada media dialeksis.com Selasa (19/8/2025).

Ia menjelaskan, Sufisme memang sering disalahpahami. Banyak orang menganggap kaum sufi hanya mengajarkan hal-hal ghaib yang di luar nalar. Padahal, kata Zakiyul, sufistik mengajarkan ilmu rasa yang hanya bisa dipahami melalui pengalaman spiritual.

“Ada ungkapan, man lam yazuq lam yadri -- barangsiapa yang belum merasakan, maka dia belum mengetahui. Sama halnya membedakan rasa manis gula dengan madu. Bagi yang belum pernah merasakan madu, tentu akan menganggap manisnya sama. Padahal hakikatnya berbeda. Inilah cara kaum sufi menjelaskan rasa spiritual. Jadi, tidak cukup dengan teori, tapi melalui pengamalan atau imtihan,” jelasnya.

Arif Zakiyul menambahkan, meskipun Tan Malaka tidak secara eksplisit menyetujui kepercayaan sufistik, ada titik temu dalam pandangan keduanya.

Tan Malaka menolak logika mistika yang bersifat feodal dan kolonial misalnya ramalan Ratu Adil atau keyakinan animisme-dinamisme yang melahirkan mental pasif. Namun, ia juga tidak meniadakan sepenuhnya aspek metafisik.

“Dalam Madilog, Tan Malaka menolak mistik sebagai alat kekuasaan yang membodohi rakyat. Tapi bukan berarti ia menolak keberadaan hal ghaib. Justru Islam sendiri mewajibkan kita mengimani hal-hal ghaib sebagaimana disebut dalam QS Al-Baqarah ayat 3. Bedanya, Tan menekankan agar kepercayaan tidak menjadi penghambat kemajuan bangsa,” kata Zakiyul.

Menurutnya, di titik ini relevansi pemikiran Tan Malaka terasa hingga kini. Banyak masyarakat masih beranggapan kemiskinan adalah takdir yang tidak bisa diubah, padahal dalam tauhid dijelaskan bahwa takdir selalu beriringan dengan ikhtiar.

“Mayoritas masyarakat kita masih menjawab: kami sudah ditakdirkan miskin. Padahal, Allah menciptakan takdir sekaligus membuka jalan ikhtiar. Maka yang salah bukan takdir, tapi cara kita memahami takdir. Di sinilah kritik Tan Malaka dan juga pemikir Muslim seperti Nurcholish Madjid menjadi penting: bahwa takdir bukan alasan untuk pasrah, melainkan tantangan untuk diperbaiki,” tegasnya.

Ia menilai, Tan Malaka sejatinya mengajak bangsa Indonesia untuk merdeka secara utuh, bukan hanya secara politik, tetapi juga dalam pola pikir. Selama masyarakat masih terbelenggu oleh kepercayaan takhayul, bangsa ini akan sulit maju.

“Tan Malaka ingin membebaskan masyarakat dari mental budak, takut berpikir, pasif, dan menunggu ramalan. Tapi ini bukan berarti menolak keyakinan ghaib yang diajarkan Islam. Justru kita perlu menegaskan batasnya: ada hal ghaib yang wajib diimani berdasarkan dalil naqli, dan ada pula kepercayaan mistik warisan kolonial-feodal yang perlu ditinggalkan,” tutupnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI