kip lhok
Beranda / Berita / Nasional / BNPB Siapkan Strategi Pembiayaan Risiko untuk Mitigasi Krisis Iklim

BNPB Siapkan Strategi Pembiayaan Risiko untuk Mitigasi Krisis Iklim

Selasa, 08 Oktober 2024 17:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB, Raditya Jati. [Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Di tengah meningkatnya frekuensi bencana di Indonesia, Deputi Bidang Sistem dan Strategi BNPB, Raditya Jati, menekankan pentingnya inovasi dalam pembiayaan risiko bencana.

Raditya menyampaikan bahwa Indonesia sebagai negara kepulauan yang rentan terhadap bencana alam, membutuhkan pendekatan baru untuk menghadapi risiko-risiko yang kian kompleks.

"Negara kita terbentuk dari fenomena alam, termasuk aktivitas tektonik dan vulkanik di sepanjang Ring of Fire. Fenomena-fenomena ini berpotensi menjadi bencana jika berdampak pada korban jiwa, kerusakan infrastruktur, dan kerugian ekonomi. Pada tahun 2023 saja, BNPB mencatat lebih dari 5.000 kejadian bencana, di mana 95% disebabkan oleh bencana hidrometeorologi seperti banjir dan kekeringan," ungkap Raditya di Banda Aceh, Selasa (8/10/2024).

Fenomena alam ini, lanjut Raditya, menuntut adanya inovasi pembiayaan risiko yang mampu menghadapi tantangan ke depan, terutama dengan risiko yang bersifat sistemik. 

Ini tidak bisa hanya bicara tentang satu jenis bencana. Ada dampak berantai atau cascading impact yang disebabkan oleh kombinasi bencana. Misalnya, letusan gunung berapi yang diikuti hujan lebat bisa menyebabkan longsor dan banjir bandang, yang dampaknya jauh lebih besar.

Raditya juga mengingatkan pentingnya belajar dari bencana tsunami Aceh yang terjadi 20 tahun lalu, di mana lebih dari 127.000 orang meninggal dan hilang.

"Bencana tsunami di Aceh adalah wake-up call bagi kita. Setelah dua dekade, kita harus bertanya, apakah kita sudah memiliki inovasi yang memadai untuk mencegah korban jiwa sebanyak itu di masa depan," ujarnya. 

Menurutnya, salah satu kunci dalam menghadapi risiko bencana di masa depan adalah dengan memperkuat ketahanan berkelanjutan (sustainable resilience), yang telah diusung oleh Presiden Joko Widodo pada forum internasional Global Platform for Disaster Reduction tahun 2022.

"Resiliensi berkelanjutan ini mencakup empat elemen utama: budaya kesiapsiagaan, inovasi teknologi, pembangunan infrastruktur yang tahan bencana, dan pengintegrasian antara mitigasi perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan," ujarnya.

Salah satu inovasi yang tengah digodok oleh BNPB bersama Kementerian Keuangan adalah skema pooling fund untuk menghadapi pembiayaan risiko bencana. 

Skema ini memungkinkan pemerintah memiliki dana cadangan yang dapat diakses dengan cepat ketika bencana terjadi. 

"Akses terhadap pembiayaan risiko ini sangat penting karena bencana seringkali bersifat tak terduga dan penuh ketidakpastian. Gempa bumi, misalnya, sampai saat ini masih sulit diprediksi kapan dan di mana akan terjadi," jelasnya.

Raditya menambahkan bahwa pembiayaan risiko ini juga penting untuk menjaga investasi publik. 

"Saat bencana terjadi, kerugian yang dialami tidak hanya berupa korban jiwa, tetapi juga kerugian ekonomi yang besar. Di Aceh, misalnya, dibutuhkan waktu empat tahun dan biaya yang sangat besar untuk membangun kembali wilayah yang hancur akibat tsunami," tambahnya. 

Dengan latar belakang ini, BNPB bersama Kementerian Keuangan berharap inovasi dalam pembiayaan risiko bisa memberikan solusi jangka panjang yang lebih berkelanjutan. 

"Kami tidak hanya bicara tentang apa yang terjadi 20 tahun lalu, tapi juga bagaimana mempersiapkan diri untuk menghadapi tantangan di tahun 2045 dan seterusnya," tegas Raditya.

Raditya juga mengingatkan bahwa tantangan yang dihadapi Indonesia di masa depan akan semakin kompleks, terutama terkait dengan krisis iklim. 

"Perubahan iklim akan memperparah frekuensi dan intensitas bencana di Indonesia. Inilah yang kita sebut sebagai future crisis, di mana risiko-risiko baru akan muncul dan kita harus siap menghadapi kompleksitas tersebut," tambahnya. 

Untuk itu, pembiayaan risiko menjadi salah satu langkah penting dalam strategi mitigasi. Raditya menegaskan bahwa pembiayaan risiko tidak hanya berfungsi untuk menanggulangi bencana setelah terjadi, tetapi juga sebagai bagian dari upaya pencegahan (prevention).

"Pembiayaan risiko harus mencakup langkah-langkah preventif sebelum bencana terjadi, seperti memperkuat infrastruktur dan kesiapsiagaan masyarakat."

Dengan skema pooling fund yang tengah dirancang, pemerintah berharap dapat mengurangi beban keuangan negara saat terjadi bencana. "Saat ini, dana siap pakai sudah ada untuk penanganan darurat bencana, tetapi kita perlu sumber dana yang lebih berkelanjutan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana," tambahnya.

Raditya juga menekankan bahwa keberhasilan inovasi pembiayaan risiko ini membutuhkan kolaborasi lintas sektor, baik di tingkat nasional maupun daerah. 

"Kami sangat berterima kasih atas dukungan Kementerian Keuangan dalam merancang solusi pembiayaan risiko ini. Kami berharap dengan adanya inovasi seperti pooling fund, kita dapat menghadapi tantangan bencana ke depan dengan lebih baik," ungkapnya. 

Ke depan, Raditya berharap masyarakat dan pemerintah daerah semakin memahami pentingnya kesiapsiagaan bencana dan peran penting pembiayaan risiko dalam menjaga ketahanan bangsa. 

"Tantangan kita tidak akan semakin mudah, tetapi dengan inovasi dan kolaborasi, kita bisa memastikan bahwa Indonesia siap menghadapi risiko-risiko bencana di masa depan," tutupnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI
Komentar Anda