Bulog Dijadikan Benteng Ketahanan Pangan Nasional
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - 'Pangan adalah hidup mati sebuah bangsa' Pernyataan Bung Karno yang diucapkannya pada 1952 tersebut bisa menjadi rujukan betapa vitalnya ketahanan pangan bagi eksistensi sebuah negara.
Secara sederhana pesan yang bisa ditangkap dari ungkapan sang proklamator tersebut kurang lebih adalah: Bangsa kuat salah satunya ditopang oleh kekuatan pangan. Sebaliknya bangsa akan lemah salah satunya karena ketahanan pangan yang rapuh.
Pangan adalah energi tubuh manusia. Tanpa pangan, manusia tak akan mampu beraktivitas dan akhirnya punah. Pangan menjadi isu krusial pada masa depan seiring peningkatan permintaan karena bertambahnya jumlah populasi manusia.
Sebagai kebutuhan dasar dan salah satu hak asasi manusia, pangan mempunyai arti dan peran penting bagi peradaban manusia. Dalam konteks itulah, peran Perum Badan Urusan Logistik (Bulog) sangat vital. Bersama para petani, Bulog merupakan stakeholders penyokong utama ketahanan pangan nasional.
Sejak dibentuk pada 10 Mei 1967 dan disahkan sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) pada 21 Januari 2003, secara historis Bulog telah menjadi garda terdepan dan pilar penting terkait pasang surut kebijakan ketahanan pangan nasional khususnya beras. Dari Orde Baru hingga orde Reformasi, peran Bulog tidak bisa dinegasikan dan selalu mewarnai kebijakan politik pangan Indonesia.
Terlebih sebagai negara agraris, secara sosial kultural bangsa Indonesia memiliki ketergantungan signifikan terhadap komoditas beras dimana Bulog menjadi penyangganya. Merujuk data BPS tahun 2018, konsumsi beras masyarakat Indonesia mencapai 29,57 juta ton.
Dengan penduduk sekitar 271,4 juta, angka konsumsi tersebut terhitung sangat besar dalam kancah perberasan dunia. Sementara pengadaan beras yang dilakukan Bulog pada 2019 sebesar 1.201.264 ton. Melihat besarnya konsumsi dan besarnya jumlah penduduk Indonesia maka peran Bulog sebagai lembaga stabilisator perberasan Nasional sangatlah krusial.
Cakupan Tugas dan Peran Bulog
Secara umum tugas Bulog adalah menjaga stabilnya harga dan meratanya penyebaran bahan pangan terutama beras sebagai komoditi sosial yang dapat memengaruhi keadaan perekonomian, politik, bahkan pertahanan keamanan. Berdasarkan undang-undang, cakupan bidang usaha yang dilayani Perum Bulog terbagi menjadi dua kategori besar yaitu Kegiatan Pelayanan Publik dan Kegiatan Komersial.
Untuk pelayanan publik, Bulog mendapat penugasan Pelayanan Publik (PP) atau Public Service Obligation (PSO) dari Pemerintah berupa stabilisasi harga dan pasokan berbagai komoditas pangan utama terintegrasi dari sisi hulu hingga ke hilir di seluruh wilayah Indonesia. Komoditas penugasan Pelayanan Publik yang ditangani Bulog antara lain, beras, gula pasir, daging sapi dan kerbau, jagung pakan ternak, dan serta kedelai.
Khusus untuk komoditas kedelai dan jagung, berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 58 Tahun 2018 tentang Penetapan Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen, dijelaskan Bulog dalam melakukan pembelian dan penjualan untuk jagung, dan kedelai mengacu pada harga acuan ditetapkan oleh Menteri Perdagangan. Selain itu pengelolaan kedelai yang dilakukan Bulog sampai saat ini hanya perdagangan komersial, yaitu bersifat jual beli. Bulog membeli kedelai sesuai dengan kebutuhan pelanggan.
Distribusi jagung dan kedelai secara nasional selama ini juga masih diserahkan pada mekanisme pasar. Artinya pemerintah tidak banyak melakukan intervensi pasar pada pasar jagung dan kedelai nasional. Hal ini berbeda dengan komoditas beras dimana Bulog bisa melakukan intervensi.
Kalau pun ada intervensi tata niaga jagung dan kedelai melalui Bulog, sifatnya ad hoc dan tidak berkelanjutan, sebagaimana pada komoditas beras. Kondisi tersebut tercermin dengan belum adanya turunan kebijakan dari Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016 yang secara teknis mengatur dan menugaskan Bulog untuk menjaga ketersediaan pasokan dan harga komoditas jagung dan kedelai.
Selain tugas pelayanan publik, Bulog juga melaksanakan usaha-usaha lain berupa kegiatan komersial. Berdasarkan cakupan kegiatannya, Komersial terbagi menjadi 3, yaitu: Perdagangan, Unit Bisnis dan Anak Perusahaan. Meski komersial, kegiatan perdagangan komoditi oleh Bulog dilaksanakan bukan semata untuk menghasilkan laba namun juga mengemban misi mulia dalam kerangka stabilitas harga pangan pokok.
Berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2016 tentang Penugasan kepada Perusahaan Umum (Perum) Bulog dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional di mana Bulog mengemban tugas menjaga ketersediaan pangan dan stabilisasi harga pangan pada tingkat konsumen dan produsen untuk jenis pangan pokok beras, jagung, dan kedelai.
Sedangkan merujuk UU No 18/2012 tentang Pangan, konsep ketahanan pangan di mana Bulog menjadi bagian penting dari misi tersebut terbagi dalam 3 pilar. Pertama, pilar ketersediaan berfungsi menjamin pasokan pangan untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk dari segi kualitas, kuantitas, keragaman dan keamanannya.
Kedua, pilar keterjangkauan berfungsi menjamin masyarakat memiliki akses secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang merata. Dan ketiga, pilar stabilitas berfungsi menjamin masyarakat mendapatkan bahan pangan kapan pun dan dimana pun.
Dari segi ketersediaan, Bulog mengutamakan produksi dalam negeri dalam hal pengadaan. Namun, apabila produksi dalam negeri tidak mencukupi maka akan dipenuhi dari produksi luar negeri (impor).
Dalam melakukan penyerapan gabah/beras hasil produksi petani Bulog tidak melakukan semaunya dan mengacu pada Permendag 24/2020, terutama pada panen raya saat harga gabah/beras cenderung jatuh akibat tingginya pasokan.
Dalam tugasnya menjaga stabilisasi harga di tingkat produsen, Bulog selama ini telah melakukan penyerapan gabah/beras produksi dalam negeri secara maksimal terutama pada daerah-daerah produsen. Menurut data, rata-rata penyerapan gabah/beras dalam lima tahun terakhir oleh Bulog sekitar 1,9 juta ton setara beras.
Kemudian dalam kurun lima tahun terakhir, realisasi pengadaan dalam negeri Bulog terbesar terjadi pada 2016 yakni sebesar 2,96 juta ton setara beras dan terendah adalah pada 2019 yakni sekitar sebesar 1,2 juta ton setara beras. Sementara terkait stok beras, pada 2018 BPS menghitung bahwa stok Bulog dapat memenuhi sekitar 8% dari total kebutuhan konsumsi beras sebesar 29,57 juta ton. Sedangkan kapasitas daya tampung Gudang Bulog mencapai 4 juta ton.
Kemudian dari sisi keterjangkauan, Bulog juga ditugaskan mengelola volume CBP (cadangan beras pemerintah) sebesar 1–1,5 juta ton yang tersebar di seluruh Indonesia, melaksanakan pemerataan stok, penyaluran Bansos Rastra (Bantuan Sosial Beras Sejahtera), Ketersediaan Pasokan dan Stabilisasi Harga (KPSH), dan Penanggulangan Bencana Alam.
Menurut data, selama ini penyaluran untuk Rastra bagi masyarakat berpendapatan rendah merupakan penyaluran stok beras pemerintah paling besar (captive market sebesar 2,5 juta–2,8 juta ton setiap tahun) dibanding dengan operasi pasar dan bantuan sosial bencana alam.
Pengadaan beras tahun 2015-2019 (ton setara beras)
2015 1.966.503
2016 2.961.505
2017 2.161.225
2018 1.488.584
2019 1.201.264
Total penyaluran Bulog selama 2015-2019 (ton)
2015 3.445
2016 3.209
2017 2.715
2018 1.861
2019 975
Sumber: Perum Bulog 2019
Tantangan Bulog
Kendala utama yang harus diatasi dalam upaya pengelolaan pangan nasional adalah pertumbuhan permintaan pangan yang lebih cepat dari pertumbuhan penyediaanya (Suryana, 2002). Dalam hal pengelolaan komoditas beras, kendala yang dihadapi Bulog juga tak lepas dari hukum ekonomi tersebut.
Rusono (2019) merinci sejumlah problematika Bulog menjalankan tugasnya antara lain: kurang efektifnya stabilisasi pasokan dan harga beras melalui mekanisme serta penyaluran beras yang diakibatkan jumlah beras harus dikelola sangat kurang, kesulitan dalam melakukan pengadaan beras dalam negeri akibat Harga Pembelian Pemerintah (HPP) cenderung di bawah harga pasar, sehingga insentif petani/pelaku usaha untuk menjual gabah/beras ke Bulog relatif rendah.
Kemudian kebijakan penghapusan program Raskin/ Rastra menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) yang berdampak signifikan terhadap kebijakan perberasan nasional dan pengelolaan stok beras pemerintah oleh Bulog. Penghapusan program Rastra tersebut mengganggu kebijakan perberasan nasional yang selama ini terintegrasi dari hulu sampai hilir, serta menyebabkan ketidakpastian pengadaan stok beras pemerintah yang dikelola oleh Bulog.
Di luar problem internal Bulog, secara umum ketahanan pangan nasional juga tidak bisa dilepaskan dari sifat produksi komoditi pangan yang bersifat musiman dan berfluktuasi karena dipengaruhi oleh iklim/cuaca. Perilaku produksi yang sangat dipengaruhi iklim tersebut sangat memengaruhi ketersediaan pangan nasional.
Apabila perilaku produksi yang rentan terhadap perubahan iklim tersebut tidak dilengkapi dengan kebijakan pangan tangguh maka akan sangat merugikan, baik untuk produsen maupun konsumen.
Permasalahan distribusi juga tak kalah pelik. Stok pangan yang tersedia sebagian besar di daerah produksi harus didistribusikan antar daerah/antar pulau dimana membutuhkan strategi distribusi yang tak mudah. Tidak jarang sarana dan prasarana distribusi masih terbatas dan kadang lebih mahal daripada distribusi dari luar negeri.
Dari sisi tata niaga, sudah menjadi rahasia umum panjangnya rantai pasokan mengakibatkan perbedaan harga tingkat produsen dan konsumen yang cukup besar dengan penguasaan perdagangan pangan pada kelompok tertentu (monopoli, kartel dan oligopoli).
Sedangkan dari sisi konsumsi, pangan merupakan pengeluaran terbesar bagi rumah tangga (di atas 50% dari jumlah pengeluaran) sehingga memerlukan ketersediaan yang mencukupi. Faktor-faktor itulah kedepan harus diantisipasi Bulog yang sudah kadung ditahbiskan sebagai salah satu benteng lumbung pangan nasional.
Kedepan proses revitalisasi menjadi langkah strategis yang perlu dilakukan Bulog. Sebaiknya Bulog tetap bekerja mandiri dan lepas dari berbagai kepentingan politik.
Mari kita beri waktu dan kepercayaan seluas-luasnya kepada Bulog untuk menjalankan dan merevitalisasi perannya tanpa terbebani ‘dosa-dosa’ Bulog masa lalu. Berhasil atau tidaknya proses revitalisasi yang dilakukan, biarlah waktu yang menjawabnya sembari jangan bosan kita terus melakukan evaluasi dan otokritik terhadap ‘stabilisator pangan’ yang per Desember 2018 ini tercatat telah memiliki 4.642 karyawan, 1.574 unit gudang dan total 26 kantor Divisi Regional. Dirgahayu Bulog ke-54. (Sindonews)
- Libur Nasional 2021, Gubernur Aceh Keluarkan Surat Edar Larangan Cuti Bagi ASN
- Vaksinasi Covid untuk Anak Dimulai, Pulau Jawa Menjadi Prioritas Saat Ini
- Pemerintah Aceh Ikuti Peringatan Harganas Secara Virtual Bersama Wapres
- Pada Kuartal I, Medco Energi (MEDC) Berhasil Membukukan Laba Bersih US$ 5,11 Juta