kip lhok
Beranda / Berita / Nasional / Diskusi KSP Soal Keppres Tim PPHAM, Disebut ‘Jalan Tol’ Pemenuhan Hak Korban

Diskusi KSP Soal Keppres Tim PPHAM, Disebut ‘Jalan Tol’ Pemenuhan Hak Korban

Selasa, 25 Oktober 2022 20:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Akhyar

Diskusi KSP soal Keppres PPHAM bersama dengan Komnas HAM, perwakilan tim PPHAM, keluarga korban dan lain-lain, Kamis (20/10/2022). [Foto: for Dialeksis] 

DIALEKSIS.COM | Jakarta - Wakil Ketua Komnas HAM Amiruddin Al Rahab mengatakan, Keputusan Presiden (Keppres) No. 17/2022 tentang Pembentukan Tim Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu (PPHAM) merupakan bypass (jalan elak) atas kebuntuan upaya penyelesaian pelanggaran HAM berat dan ‘jalan tol’ bagi komitmen pemenuhan hak korban yang telah bertahun-tahun belum terealisasi. 

Sebagaimana ditegaskan oleh Presiden Joko Widodo pada Pidato Kenegaraan di Sidang Tahunan MPR pada tanggal 16 Agustus 2022 bahwa Keppres tentang Tim Penyelesaian HAM Berat telah ditandatangani.

Pada tahun 2022 ini, pemerintah akhirnya berhasil memulai menangani pelanggaran HAM yang berat dan melalui proses yang rumit dan mengalami kebuntuan. Penanganan Non Yudisial tersebut dilakukan secara paralel dan komplementer terhadap penyelesaian yudisial yang dimulai dengan proses peradilan di Pengadilan HAM kasus di Paniai terjadi tahun 2014 yang digelar di Pengadilan Negeri Makassar.

Untuk pertama kali, penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu Non Yudisial dibahas secara terbuka dan komprehensif guna menjawab berbagai spekulasi publik terkait landasan hukumnya.

Pembahasan tersebut dilaksanakan oleh Kantor Staf Presiden (KSP) dalam forum yang diprakarsai bersama Komnas HAM dan INFID pada Konferensi Pengarusutamaan Kabupaten/Kota HAM, Kamis (20/10/2022).

Pembahasan tersebut dihadiri oleh wakil ketua Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Berat Non Yudisial (PPHAM), Deputi V Kantor Staf Kepresidenan, Wakil Ketua Komnas HAM dan wakil dari Koalisi untuk Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran (KKPK) serta wakil keluarga korban penghilangan paksa.

Deputi V Kantor Staf Kepresidenan Jaleswari Pramodhawardani mengatakan, pembentukan tim PPHAM ini adalah bentuk komitmen serius presiden untuk menyelesaikan pelanggaran HAM Berat Masa Lalu melalui jalur luar pengadilan (non-yudisial) yang melengkapi mekanisme yudisial yang sedang berjalan di Makassar.

“Kedua jalur penyelesaian ini sesuai dengan UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM” tegas Jaleswari Pramodhawardani.

Pembicara lainnya, Wakil Ketua Tim Pelaksana PPHAM Ifdhal Kasim mengatakan, Keppres tentang PPHAM ini merupakan jawaban atas kebuntuan proses penyelesaian pelanggaran HAM yang berat yang terjadi di masa lalu.

“Keppres ini merupakan langkah tepat yang diambil oleh pemerintah untuk melaksanakan tanggung jawab negara untuk mengingat, memulihkan dan menjamin ketidakberulangan sebagaimana diatur dalam Prinsip-prinsip Pemajuan dan Perlindungan HAM melalui Aksi-Aksi Melawan Impunitas yang dikeluarkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 2005,” jelas Ifdhal Kasim.

Di samping itu, perwakilan dari keluarga korban, Paian Siahaan, orangtua dari Ucok Munandar, korban dari kasus penghilangan paksa pada kasus 1997-1998 yang sampai saat ini belum diketahui keberadaannya mengatakan, pihaknya sudah lelah dan lebih banyak kecewa semenjak kasus ini terjadi. Karena hasilnya selalu kosong setiap kali pergi audiensi meminta pertanggungjawaban pengungkapan kasus penghilangan paksa 1997-1998.

Pernyataan Paian juga mewakili perasaan korban dan keluarga korban yang berharap agar Keppress yang memuat rekomendasi DPR tahun 2009 tentang kasus penghilangan paksa, yaitu tentang pencarian korban, pemberian kompensasi untuk keluarga korban dan ratifikasi konvensi anti penghilangan paksa bisa berhasil.

"Kalau memang (korban) sudah tidak ada, dapat dinyatakan secara administrasi negara dengan dinyatakan meninggal, sampai saat ini menjadi beban moral bagi kami dan menjadi sumber penyakit bagi saya,"

"Apakah ini (Keppres) bisa direalisasikan dalam waktu singkat? Keppres ini memberikan ketenangan bagi kami, paling tidak kami diberi perhatian oleh pemerintah," tambah Paian.

Sementara itu, terkait kekhawatiran bahwa PPHAM ini akan menutup jalur penyelesaian melalui Pengadilan HAM, Wakil Ketua Tim PPHAM Ifdhal Kasim memberi penegasan bahwa tuntutan pidana terhadap orang yang bersalah tetap menjadi tanggungjawab Jaksa Agung, sebagaimana diatur dalam UU Pengadilan HAM. Hasil kerja Tim PPHAM bukan merupakan substitusi dari Kejaksaan Agung.

Identifikasi Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu

- Laporan Komnas HAM hanya digunakan oleh PPHAM untuk mengidentifikasi kasus mana saja yang dikategorikan sebagai pelanggaran HAM Berat Masa Lalu.

- Laporan Pro Yustisia Komnas HAM tetap ditangani oleh Jaksa Agung untuk disidik dan dibawa ke Pengadilan HAM.

- PPHAM tidak menutup pintu proses yudisial (Pengadilan HAM), tetapi untuk melengkapi.

- PPHAM ini justru upaya untuk mempercepat pemenuhan hak korban pelanggaran HAM berat masa lalu.

KontraS Aceh Tanggapi Diskusi KSP

Menanggapi diskusi KSP di atas, Koordinator KontraS Aceh Azharul Husna mengatakan, soal pernyataan tidak menutup jalur pengadilan (yudisial), sejauh ini pengadilan pun belum ada yang memberi keadilan kepada korban.

“Itu menunjukkan bahwa negara sendiri yang bilang kasus pelanggaran HAM berat ini mandek. Seolah-olah negara ini lemah dan nggak punya jalan lain. Ini sebenarnya menunjukkan ketidakmauan negara untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu,” ujar Azharul Husna kepada reporter Dialeksis.com, Banda Aceh, Selasa (25/10/2022).

Menurut Husna, ketidakseriusan negara juga terlihat dari masa kerja yang nggak masuk akal. Harusnya, secara logika jika sudah tahu sulit proses penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu, persiapannya pasti jauh lebih matang. “Lah, ini malah cuman beberapa bulan saja,” ungkapnya.

Koordinator KontraS Aceh itu menegaskan bahwa secara aturan perundang-undangan, mekanisme penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu tidak ada menyebut dengan mekanisme non-yudisial, yang ada adalah dengan mekanisme Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

“Kalau negara mau serius, berarti segera bentuk KKR. Jangan cuman wacana,” pungkas Husna.(Akh)


Keyword:


Editor :
Akhyar

riset-JSI
Komentar Anda