Draf Omnibus Law Cipta Kerja, Jokowi Hapus Cuti Panjang
Font: Ukuran: - +
DIALEKSIS.COM | Jakarta - Jokowi memutuskan untuk menghapus aturan pemberian waktu istirahat panjang atau cuti panjang bagi pekerja yang masa kerjanya di sebuah perusahaan sudah lebih dari 6 tahun. Penghapusan tersebut tertuang dalam RUU Cipta Lapangan Kerja.
Dalam draf RUU yang didapat CNNIndonesia.com, perusahaan bisa memberikan cuti atau istirahat panjang kepada karyawan mereka. Cuti panjang tersebut diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Bila dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan yang berlaku sekarang, aturan tersebut berbeda jauh. Dalam UU Ketenagakerjaan, pemberian cuti panjang diatur secara khusus dalam Pasal 79 ayat 2 huruf (d).
Pokok aturannya, pengusaha wajib memberikan waktu istirahat atau cuti kepada buruh, termasuk istirahat panjang. Untuk istirahat panjang, waktu yang diberikan sekurang-kurangnya dua bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 bulan bagi pekerja yang sudah bekerja selama 6 tahun secara terus menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja atau buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 tahun.
Pelaksanaan waktu istirahat panjang tersebut diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
CNNIndonesia.com mencoba meminta penjelasan dari Sekretaris Menko Perekonomian Susiwijono atas kebenaran isi draf ruu tersebut. Tapi sampai berita ini diturunkan, yang bersangkutan belum memberikan responsnya.
Sebagai informasi, pemerintah memang berencana menerbitkan Omnibus Law UU Cipta Lapangan Kerja. Klaim pemerintah, aturan tersebut diterbitkan untuk memacu investasi.
Namun, rencana tersebut mendapatkan tentangan dari buruh. Mereka khawatir keberadaan UU Cipta Kerja tersebut nantinya akan mengganggu hak buruh.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal beberapa waktu lalu mengatakan hak buruh yang berpotensi diganggu melalui penerbitan beleid tersebut adalah pesangon dan upah.
"Pengenalan upah per jam akan mengakibatkan upah minimum bakal terdegredasi bahkan hilang. Buruh akan dihitung per jam dalam jam kerjanya. Kalau dia bekerja dalam satu bukan hanya 2 minggu, maka dapat dipastikan upahnya hanya sepertiga atau paling tinggi setengah dari nilai upah minimum yang berlaku di satu daerah tertentu," kata dia, Senin (20/1). (Im/CNNIndinesia)