Sabtu, 02 Agustus 2025
Beranda / Berita / Nasional / ICJ Didorong Tegaskan Kewajiban Negara dalam Perkuat Komitmen Iklim Indonesia

ICJ Didorong Tegaskan Kewajiban Negara dalam Perkuat Komitmen Iklim Indonesia

Jum`at, 01 Agustus 2025 09:30 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Webinar yang diselenggarakan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) dengan tema Menerjemahkan Peluang Advisory Opinion (AO) International Court of Justice (IC) terhadap Penguatan Komitmen dan Implementasi NDC Indonesia. [Foto: Tangkapan layar ZOOM media dialeksis.com]


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Krisis iklim global menuntut respons yang lebih ambisius dan terkoordinasi dari seluruh negara.

Indonesia, sebagai salah satu pengemisi gas rumah kaca (GRK) terbesar dan negara rentan terhadap dampak perubahan iklim, kini berada di persimpangan penting.

Dalam sebuah webinar yang diselenggarakan oleh Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), para pakar hukum lingkungan membedah peluang yang ditawarkan oleh Advisory Opinion (AO) dari Mahkamah Internasional (International Court of Justice/ICJ) untuk memperkuat komitmen dan implementasi Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.

“ICJ dapat menjadi suar moral dan hukum dalam menentukan batas-batas tanggung jawab negara menghadapi krisis iklim,” ujar Prof. Andri Gunawan Wibisana, Guru Besar Hukum Lingkungan Universitas Indonesia, dalam pemaparannya yang diikuti media dialeksis.com, Kamis (31/7/2025).

ICJ saat ini tengah mempertimbangkan permintaan Advisory Opinion terkait kewajiban negara dalam mengatasi perubahan iklim, termasuk tanggung jawab mereka atas kerusakan lingkungan yang melintasi batas negara.

Menurut Prof. Andri, AO dapat berfungsi dalam tiga ranah yaitu ientificatory dengan menemukan prinsip-prinsip hukum internasional terkait perubahan iklim.

Interpretative yaitu menjelaskan bagaimana prinsip due diligence berlaku dalam konteks perubahan iklim dan applicatory dengan memberi panduan konkret tentang kewajiban negara, termasuk bagaimana NDC semestinya disusun dan dilaksanakan.

Prof. Andri menekankan bahwa Mahkamah kemungkinan besar akan mengacu pada target 1,5°C sebagai standar hukum global.

Hal ini tertuang dalam Paragraf 224 AO, yang menegaskan bahwa target tersebut bukan sekadar aspirasi, melainkan kewajiban yang didasarkan pada best available science.

"Hukum internasional tidak netral terhadap krisis iklim. Ia bisa dan harus berpihak pada keberlanjutan bumi," ujarnya.

Syaharani, Kepala Divisi Iklim dan Dekarbonisasi ICEL, menyoroti ketidaksesuaian antara target penurunan emisi Indonesia dan sains iklim terkini.

“Indonesia menargetkan penurunan emisi sebesar 32% (tanpa syarat) dan 43% (dengan syarat) pada 2030, tapi target ini masih belum sejalan dengan benchmark 1,5°C,” jelasnya, merujuk pada analisis Climate Action Tracker dan Emission Gap Report 2024.

Fakta mengejutkan lainnyanmeskipun sektor energi menyumbang lebih dari 50% emisi GRK sejak 2020, kebijakan nasional masih bertumpu pada sektor Forest and Other Land Use (FOLU).

Bahkan, beberapa kebijakan energi saat ini justru meningkatkan permintaan terhadap lahan dan produk kehutanan seperti wood pellet -- yang ironisnya memperbesar tekanan terhadap hutan.

Syaharani menyarankan agar pemerintah meninjau kembali kebijakan sektoral yang kontraproduktif, mengintegrasikan hasil global stocktake, dan menyesuaikan NDC dengan ilmu pengetahuan terbaru secara terukur dan terencana.

“AO bisa menjadi alat advokasi yang sangat kuat untuk mendorong revisi NDC dan memperketat carbon budget nasional,” tambahnya.

Mantan Komisioner KPK dan akademisi hukum lingkungan dari Universitas Hasanuddin, Laode M. Syarif, menyoroti dimensi lain yang jarang dibahas: implikasi AO terhadap mekanisme Investor-State Dispute Settlement (ISDS).

“Banyak investor energi fosil menggugat negara yang melakukan reformasi kebijakan iklim lewat ISDS. Ini menjadi ancaman besar,” ujar Laode.

AO dari ICJ, lanjutnya, bisa menjadi landasan kuat untuk memperkuat posisi negara termasuk Indonesiadalam menghadapi tekanan dari investor yang menghambat transisi energi.

Laode menekankan bahwa AO dapat menegaskan bahwa perlindungan investasi tidak boleh mengalahkan kepentingan hukum internasional untuk menjaga sistem iklim yang stabil.

“Ini adalah momen stocktake global dan saatnya Indonesia memperbarui NDC-nya dengan memperhatikan hasil AO dan rekomendasi IPCC,” pungkasnya. [nh]

Keyword:


Editor :
Indri

riset-JSI