Ini Hasil Kajian Tim UGM Tentang Penyebab Meninggalnya Petugas KPPS
Font: Ukuran: - +
Anggota Tim Kajian UGM, Abdul Gaffar Karim. (CNN Indonesia/Ryan Hadi Suhendra)
DIALEKSIS.COM | Yogyakarta - Tim Kajian Lintas Disiplin Universitas Gadjah Mada (UGM) menyelesaikan kajian tentang penyebab meninggalnya petugas pemilu 2019 di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hasil kajian menunjukkan penyebab utama kematian petugas Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) karena beban kerja yang tinggi dan riwayat penyakit yang dimiliki petugas.
Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum DIY, per 6 Mei 2019 tercatat 12 petugas meninggal dan 65 petugas sakit.
"Salah satu hal terpenting yang kami lihat dari proses di lapangan adalah bahwa sakit dan kematian yang terjadi itu seluruhnya disebabkan oleh sebab-sebab alamiah," kata Anggota Tim Peneliti Abdul Gaffar Karim saat konferensi pers di KPU, Jalan Imam Bonjol, Selasa (25/6).
Kajian itu sekaligus membantah rumor politik yang menyebut penyebab kematian karena dugaan keracunan.
Kesimpulan tersebut didasari pada kajian dengan menggunakan metode campuran yang meliputi survei dengan wawancara kuesioner di seluruh kabupaten-kota di DIY, observasi, studi pustaka, dan wawancara mendalam dengan menggunakan panduan wawancara pada beberapa informan kunci. Sebanyak 400 Tempat Pemungutan Suara (TPS) dipilih berdasarkan cluster random sampling.
Abdul Gaffar mengatakan, sampel tersebut berfungsi untuk memperkirakan rata-rata beban kerja petugas pemilu. Dia menambahkan, studi kasus juga digunakan untuk membandingkan kondisi kerja antara petugas yang sakit dengan petugas sehat. Sehingga, menurut dia, faktor risiko yang turut menyebabkan jatuh sakit petugas dapat terpetakan.
Abdul menuturkan, riwayat penyakit ditambah beban kerja tinggi yang dialami para petugas pemilu pada saat pra, selama, dan sesudah hari pemilihan menjadi pemicu tewasnya para petugas pemilu.
Ada pun riwayat penyakit yang ditemukan tim-nya terhadap para petugas antara lain ialah diabetes militus, jantung, dan riwayat lebih dari satu penyakit.
"Dampak beban kerja yang terlalu tinggi dan riwayat penyakit sebelumnya menjadi penyebab atau meningkatkan risiko terjadinya kematian dan kesakitan di antara petugas pemilu," ujarnya.
Terkait kematian petugas, Abdul berujar, kajian yang digunakan ialah menggunakan autopsi verbal. Autopsi verbal merupakan metode wawancara kerabat terdekat untuk mengetahui penyebab kematian para petugas. Autopsi verbal dilakukan terhadap 10 dari 12 kasus kematian di antara petugas pemilu di DIY.
Abdul mengatakan autopsi verbal tidak dilakukan pada satu petugas meninggal karena bunuh diri. Sementara, pihaknya tidak memaksakan penolakan keluarga satu petugas meninggal untuk proses wawancara.
Dia menjelaskan, seluruh kasus didiskusikan secara panel di hadapan dokter dari Departemen Kedokteran Forensik FK-KMK UGM. Hasil autopsi verbal, tambahnya, kemudian dianalisis oleh panel ahli yang beranggotakan tiga dokter spesialis forensik konsultan untuk menentukan kemungkinan penyebab kematian.
"Berdasarkan riwayat penyakit, tanda dan gejala kronologi kejadian sebelum petugas meninggal, dugaan penyebab kematian terkait dengan riwayat penyakit kardiovaskular yang diderita," ucap dia.
Tim berpendapat meninggalnya para petugas pemilu merupakan suatu kejadian luar biasa (KLB). Oleh karena itu, menurut Abdul, dibutuhkan penanganan yang luar biasa pula.
"Penyelenggaraan pemilu seharusnya tak memunculkan masalah sakit dan meninggalnya petugas. Meskipun, KLB tentu saja tidak direncanakan, tapi sebenarnya dapat diantisipasi," kata dia.
Tim, kata Abdul, menyoroti manajemen krisis yang tidak berfungsi dengan baik di lapangan. Para petugas, tutur dia, tidak memahami bagaimana cara menindaklanjuti hal di luar daripada yang direncanakan.
"Sehingga, ketika ada masalah yang di luar dari yang direncanakan, para petugas di lapangan tidak selalu tahu bagaimana cara menindaklanjuti ketika ada petugas yang sakit mendadak misalnya, yang pada akhirnya berujung kematian," katanya.
Abdul melanjutkan, pihaknya mengusulkan agar dilakukan pengecekan kondisi kesehatan (fisik & mental) saat proses rekrutmen petugas. KPU, harap dia, juga dapat memberi pelatihan yang lebih optimal kepada para petugas. Sehingga, tidak terjadi kebingungan dalam pelaksanaan tugas yang dapat menjadi tambahan beban kerja bagi para petugas.
Untuk jangka dekat, Abdul menawarkan agar mahasiswa ke depannya dapat dilibatkan sebagai bagian dari tenaga penyelenggara pemilu. Sistemnya, ujar dia, dengan memanfaatkan mekanisme Kuliah Kerja Nyata (KKN) dan magang untuk menyuplai tenaga pemilu di lapangan.
Abdul menilai, anak muda, terutama mahasiswa, bisa bekerja lebih efisien dalam waktu yang lebih singkat. Perihal keterbatasan pengalaman, jelas dia, pihaknya akan mencoba bekerja sama dengan KPU untuk mencari formulasi yang tepat guna.
Selain itu, kata dia, keterlibatan mahasiswa tidak membutuhkan tambahan biaya karena sudah diatur dalam program KKN dan magang tersendiri.
"Kami akan mencoba menjajaki segala kemungkinan rekomendasi itu dengan menerapkannya di Pilkada serentak tahun 2020 sebagai uji coba sebelum diterapkan di pemilu yang lebih luas," imbuh dia.
"Untuk memudahkan, kami akan memulai di lingkup DIY. Hal itu dilakukan untuk dapat kesimpulan apa sebetulnya pola-pola pelibatan agar masalah serupa (jatuh sakit & meninggal para petugas) tidak terjadi lagi ke depan," sambungnya. (imd/CNNIndonesia)