Sabtu, 08 November 2025
Beranda / Berita / Nasional / KontraS Aceh Tolak Keras Gelar Pahlawan untuk Soeharto

KontraS Aceh Tolak Keras Gelar Pahlawan untuk Soeharto

Sabtu, 08 November 2025 16:00 WIB

Font: Ukuran: - +

Reporter : Naufal Habibi

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna. Foto: Naufal Habibi/dialeksis.com.


DIALEKSIS.COM | Banda Aceh - Rencana pemerintah melalui Kementerian Sosial yang mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional menuai gelombang penolakan dari berbagai kalangan, terutama dari aktivis hak asasi manusia dan para penyintas kekerasan masa lalu. 

Bagi Aceh, nama Soeharto bukan sekadar figur sejarah, melainkan simbol dari trauma dan luka panjang akibat operasi militer yang menelan ribuan korban jiwa.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, Azharul Husna, menilai bahwa usulan tersebut adalah bentuk pengkhianatan terhadap nilai-nilai keadilan dan kemanusiaan.

“Mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan sama saja dengan menampar wajah para korban. Ia adalah tokoh utama di balik serangkaian pelanggaran HAM berat yang terjadi di berbagai daerah, termasuk Aceh,” ujar Azharul kepada Dialeksis.com, Sabtu (8/11/2025).

Usulan gelar pahlawan terhadap Soeharto disampaikan oleh Kementerian Sosial kepada Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan (GTK) pada 21 Oktober 2025. GTK yang diketuai oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon menyatakan Soeharto layak memperoleh gelar tersebut. Namun keputusan ini justru memantik kemarahan publik.

Bagi korban dan keluarga korban pelanggaran HAM, langkah pemerintah itu adalah bentuk pelupaan sejarah. 

“Sudah 27 tahun sejak Soeharto lengser, tapi yang kita dapat bukan penuntasan kasus. Negara ini seakan-akan sedang berkomedi di atas penderitaan rakyatnya,” kata Azharul Husna.

Nama Soeharto tidak bisa dilepaskan dari rentetan kekerasan yang dimulai sejak tragedi 1965. Setelah naik ke tampuk kekuasaan, rezim Orde Baru melakukan pembersihan besar-besaran terhadap mereka yang dituduh simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Buku Berkas Genosida Indonesia karya sejarawan Jess Melvin mencatat, sekitar 10.000 orang menjadi korban pembunuhan di Aceh pada masa itu. Dalam peta kematian versi militer sendiri, tercatat 1.941 korban di beberapa kabupaten seperti Aceh Besar, Pidie, Aceh Barat, Aceh Tengah, hingga Aceh Timur. Namun penelitian independen memperkirakan jumlah korban bisa mencapai 3.000-10.000 jiwa.

Azharul menjelaskan, kekerasan itu bahkan menyasar mereka yang tidak terlibat sama sekali. Keluarga Thaib Adamy, Ketua Partai Komunis Aceh, menjadi sasaran utama. Istrinya dibunuh, anak-anaknya dituduh Gerwani, dan banyak anggota keluarganya disiksa. Padahal sebagian besar belum tentu terlibat dalam politik.

Tragedi lain terjadi di Isaq, Aceh Tengah, di mana kelompok kesenian rakyat bernama Perkumpulan Ketoprak Isaq (PKI) dibantai hanya karena kesalahpahaman. Mereka dianggap bagian dari Partai Komunis Indonesia, padahal hanyalah kelompok seni. 

“Itu pembunuhan massal yang dilakukan tanpa dasar hukum dan tanpa bukti,” tambah Azharul.

Namun luka terdalam Aceh berada pada masa Daerah Operasi Militer (DOM) yang diberlakukan pada tahun 1989 hingga 1998, di bawah komando langsung rezim Soeharto. Melalui operasi Jaring Merah, militer diberi wewenang luas untuk “menumpas GAM”. Dalam praktiknya, operasi ini justru menargetkan masyarakat sipil.

“Korban bukan hanya anggota Gerakan Aceh Merdeka, tapi juga warga biasa yang dicurigai. Mereka diperkosa, disiksa, dihilangkan, bahkan dibunuh,” jelas Azharul.

Data Tim Pencari Fakta (TPF) DPR RI kala itu mencatat lebih dari 1.000 orang hilang, 5.000 terbunuh, dan total korban mencapai 10.000 jiwa sepanjang masa DOM. Di masa ini pula, kebebasan pers dibungkam dan para aktivis HAM diburu. Salah satunya adalah Musliyadi, aktivis HAM asal Aceh yang tewas dalam penanganan aparat.

“Seluruh rantai komando saat itu berujung pada Soeharto. Ia adalah presiden dan panglima tertinggi. Maka dialah yang paling bertanggung jawab atas penderitaan rakyat Aceh selama masa DOM,” tegas Azharul.

KontraS Aceh menilai, langkah memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto tidak hanya ahistoris, tapi juga anti-kemanusiaan. 

Azharul menegaskan, seharusnya pemerintah fokus pada penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu, bukan justru menghapus jejaknya.

“Yang dibutuhkan rakyat adalah keadilan dan pengakuan. Negara seharusnya meminta maaf kepada para korban, bukan memuliakan pelaku. Kalau Soeharto disebut pahlawan, lalu siapa yang jadi penjahatnya?” ujarnya.

Ia juga mengingatkan bahwa trauma Aceh terhadap kekerasan negara masih membekas hingga kini. Banyak korban DOM yang belum mendapat kompensasi, sementara keluarga korban terus menuntut kejelasan nasib orang-orang yang hilang.

Lebih dari dua dekade setelah reformasi, luka pelanggaran HAM di Aceh masih menganga. Rencana pemerintah untuk menobatkan Soeharto sebagai pahlawan nasional bukan hanya membuka luka lama, tetapi juga menunjukkan bahwa negara belum belajar dari sejarahnya sendiri.

“Memberi gelar pahlawan kepada Soeharto berarti menegaskan bahwa darah rakyat yang tumpah di Aceh, Papua, Timor Timur, dan seluruh Indonesia tidak berarti apa-apa,” tutupnya.

Keyword:


Editor :
Alfi Nora

riset-JSI